3 Opsi Restrukturisasi Utang Garuda, Risiko Pailit Masih Menganga
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kementerian BUMN membagi tiga opsi restrukturisasi utang maskapai penerbangan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk senilai USD9,8 miliar atau setara Rp139 triliun. Opsi tersebut diklasifikasikan sejak April 2021.
Adapun ketiga opsi restrukturisasi utang adalah out of court dan in court. Dalam mekanismenya, restrukturisasi out of court mendorong manajemen maskapai nasional tersebut untuk memberikan penawaran yang berbeda kepada setiap lessor. Hal itu seiring dengan jumlah lessor emiten yang mencapai 32 perusahaan. Poin rekomendasi lain adalah tidak ada jangka waktu pelunasan utang yang harus dipenuhi Garuda, hingga ketiadaan biaya pengadilan.
Di lain sisi, manajemen emiten berkode saham GIAA itu perlu mengajukan moratorium kepada kreditur, lalu melakukan negosiasi dengan masing-masing kreditur, hingga perlakuan tidak setara (unequal treatment) antara kreditur potensial. Namun, poin terakhir ini berisiko pada tuntutan hukum di kemudian hari.
Untuk mekanisme restrukturisasi in court, di mana Garuda mampu mengikat seluruh krediturnya, lalu memberikan kemampuan Garuda untuk mengakhiri atau melakukan negosiasi ulang perjanjian sewa yang memberatkan, kemudian adanya rencana perdamaian yang tidak perlu disetujui oleh seluruh kreditur.
Opsi kedua ini membutuhkan biaya cukup besar, hingga potensi risiko pailit. Meski begitu, pemegang saham cenderung lebih memilih opsi in court. "Kami cenderung mendorong ini menjadi restrukturisasi in court. Ini kita sedang diskusikan, apakah opsi utamanya menjadi restrukturisasi in court," ujar Wakil Menteri BUMN II, Kartika Wirjoatmodjo, Rabu (10/11/2021).
Satu dari kedua opsi tersebut tetap diputuskan melalui Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di pengadilan. Tiko, sapaan akrab Kartika menyebut, PKPU akan dilakukan melalui pengadilan Inggris, di mana dalam forum legal tersebut akan menentukan proposal restrukturisasi utang Garuda Indonesia akan ditolak atau disetujui.
Keputusan ini juga memberikan dua kemungkinan yang nantinya diterima manajemen maskapai penerbangan pelat merah itu yakni homologasi dan resiko pailit.
Homologasi atau pemberian persetujuan dicapai bila proposal restrukturisasi perusahaan diterima. Sebaliknya, opsi kepailitan Garuda Indonesia akan terjadi bila proposal ditolak.
"Kalau votingnya setuju dengan proposal perdamaian, akan jadi homologasi, mengikat semua pihak. Kalau gagal, kreditur tidak setuju, akan pailit," bebernya.
Adapun ketiga opsi restrukturisasi utang adalah out of court dan in court. Dalam mekanismenya, restrukturisasi out of court mendorong manajemen maskapai nasional tersebut untuk memberikan penawaran yang berbeda kepada setiap lessor. Hal itu seiring dengan jumlah lessor emiten yang mencapai 32 perusahaan. Poin rekomendasi lain adalah tidak ada jangka waktu pelunasan utang yang harus dipenuhi Garuda, hingga ketiadaan biaya pengadilan.
Di lain sisi, manajemen emiten berkode saham GIAA itu perlu mengajukan moratorium kepada kreditur, lalu melakukan negosiasi dengan masing-masing kreditur, hingga perlakuan tidak setara (unequal treatment) antara kreditur potensial. Namun, poin terakhir ini berisiko pada tuntutan hukum di kemudian hari.
Untuk mekanisme restrukturisasi in court, di mana Garuda mampu mengikat seluruh krediturnya, lalu memberikan kemampuan Garuda untuk mengakhiri atau melakukan negosiasi ulang perjanjian sewa yang memberatkan, kemudian adanya rencana perdamaian yang tidak perlu disetujui oleh seluruh kreditur.
Opsi kedua ini membutuhkan biaya cukup besar, hingga potensi risiko pailit. Meski begitu, pemegang saham cenderung lebih memilih opsi in court. "Kami cenderung mendorong ini menjadi restrukturisasi in court. Ini kita sedang diskusikan, apakah opsi utamanya menjadi restrukturisasi in court," ujar Wakil Menteri BUMN II, Kartika Wirjoatmodjo, Rabu (10/11/2021).
Satu dari kedua opsi tersebut tetap diputuskan melalui Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di pengadilan. Tiko, sapaan akrab Kartika menyebut, PKPU akan dilakukan melalui pengadilan Inggris, di mana dalam forum legal tersebut akan menentukan proposal restrukturisasi utang Garuda Indonesia akan ditolak atau disetujui.
Keputusan ini juga memberikan dua kemungkinan yang nantinya diterima manajemen maskapai penerbangan pelat merah itu yakni homologasi dan resiko pailit.
Homologasi atau pemberian persetujuan dicapai bila proposal restrukturisasi perusahaan diterima. Sebaliknya, opsi kepailitan Garuda Indonesia akan terjadi bila proposal ditolak.
"Kalau votingnya setuju dengan proposal perdamaian, akan jadi homologasi, mengikat semua pihak. Kalau gagal, kreditur tidak setuju, akan pailit," bebernya.
(ind)