Utang Garuda Indonesia Pelik, Erick Thohir Berjibaku dengan Tuntutan di 3 Negara

Kamis, 11 November 2021 - 12:37 WIB
loading...
Utang Garuda Indonesia...
Kementerian BUMN yang dipimpin Erick Thohir dihadapkan dengan perkara hukum (legal formal) yang pelik akibat utang jumbo yang melilit maskapai Garuda Indonesia yang tercatat mencapai Rp139 Triliun. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Kementerian BUMN yang dipimpin Erick Thohir dihadapkan dengan perkara hukum (legal formal) yang pelik akibat utang PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, sebesar USD 9,8 miliar atau setara Rp139 Triliun. Untuk mencapai kesepakatan perdamaian antara manajemen Garuda Indonesia dengan sejumlah kreditur global, pemerintah harus menempuh jalur hukum melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di tiga negara dengan proses hukum yang berbeda-beda.



Wakil Menteri BUMN II, Kartika Wirjoatmodjo menyebut, yurisdiksi atas perkara utang emiten dengan kode saham GIAA akan ditempuh melalui pengadilan di Indonesia, Inggris, dan Singapura.

"Secara legal, yuridiksinya ada di London, ada di Indonesia, dan sebagian ada di Singapura. Tapi kami akan menggunakan beberapa yurisdiksi utama untuk menyelesaikan isu legalnya," ujar Kartika, dikutip Kamis (11/11/2021).

Meski kesepakatan perdamaian restrukturisasi utang di pengadilan Indonesia sudah diputuskan, pemegang saham dan manajemen tetap dihadapkan dengan perkara hukum yang sama di negara lain. Tiko, sapaan akrab Kartika, mencatat sekalipun kreditur asing tunduk pada ketentuan hukum di dalam negeri. Namun, hasil putusannya harus didaftarkan kembali di pengadilan Inggris.

"Navigasinya tantangan karena kita juga harus memastikan kalau masuk ke PKPU di Indonesia, maka para kreditur di luar negeri harus mendaftarkan diri. Mereka harus tunduk pada yurisdiksi di Indonesia, walaupun kita harus mendaftarkan lagi hasilnya di pengadilan di London," kata dia.

Kementerian BUMN selaku pemegang saham sendiri sudah menetapkan opsi out of court dan in court dalam proposal restrukturisasi utang Garuda Indonesia. Opsi tersebut akan ditempuh melalui PKPU di pengadilan. Meski begitu, pemegang saham mendorong opsi in court menjadi pilihan utama.

In court bertujuan untuk mencapai homologasi atau persetujuan perdamaian, meski ada resiko pailit yang harus diterima, manakalah mayoritas kreditur tidak menerima proposal perdamaian yang diajukan. Karena itu, pilihan in court pun diperkuat melalu negosiasi yang rumit.

"Ada di situ resiko, ternyata pada waktu voting gak setuju mayoritasnya maka menuju pailit, tapi kami tekankan bahwa kami ingin mencari solusi restrukturisasi dan memang yang bisa efektif untuk mendapatkan homologasi," katanya.

Pengadilan Inggris akan menjadi forum legal yang menentukan proposal perdamaian ihwal restrukturisasi utang Garuda Indonesia akan ditolak atau disetujui. Keputusan itu akan memberikan dua kemungkinan yang nantinya diterima manajemen maskapai penerbangan pelat merah itu yakni, homologasi dan resiko pailit.



Homologasi terkait dengan pengesahan perdamaian oleh hakim atas persetujuan antara debitor dengan kreditor untuk mengakhiri kepailitan. Perdamaian dalam tahapan PKPU ini merupakan tahapan yang paling penting, karena dalam perdamaian tersebut debitur akan menawarkan rencana perdamaiannya kepada kreditor.

"Memang, ini situasi yang pelik secara legal karena masalahnya ada time yang harus kita percepat, tidak mungkin kita nego one on one dengan 60 kreditur, bisa 2 tahun gak selesai gitu ya. Tapi kita juga bisa menghadapi yurisdiksi yang berbeda-beda proses hukumnya. Kita akan update seminggu, sebulan ke depan arahnya akan kemana. Tapi preferensi saat ini kita masuk ke in court sehingga mendapatkan homologasi yang bisa mengikat semua pihak secara hukum," tutur Tiko.
(akr)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1120 seconds (0.1#10.140)