Garuda Bisa Contoh Duniatex Grup yang Selamat dari Ancaman Pailit
loading...
A
A
A
JAKARTA - Rencana pemerintah melakukan restrukturisasi utang PT Garuda Indonesia Tbk (Persero) melalui jalur hukum di pengadilan atauin court, mendapat respons positif dari sejumlah kalangan. Salah satunya dari Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI).
Jimmy Simanjuntak, Ketua Umum AKPI, menilai setiap debitor korporasi berhak memanfaatkan fasilitasin courtuntuk bisa melakukan penyehatan keuangan perusahaan. Artinya, jika debitur ingin mencapai hasil yang cepat dalam melakukan restrukturisasi utang, caranya memang harus ditempuh melalui proses penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).
Menurut Jimmy, fasilitas restrukturisasi utang melalui jalur in court, tertuang di dalam Pasal 222 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Pasal itu menyebutkan upaya debitur merestrukturisasi utangnya lewat PKPU bertujuan untuk mencapai suatu kesepakatan atau perdamaian.
"Lewat PKPU, debitur diberikan kesempatan untuk mengajukan proposal perdamaian sesuai dengan skema restrukturisasi. Proses restrukturisasi utang lewat PKPU lebih efisien dan efektif dibandingkan penyelesaian melalui mekanisme di luar pengadilan," kata Jumat (12/11/2021).
Pasalnya, melalui proses PKPU, para kreditur lokal maupun asing harus tunduk kepada yurisdiksi atau ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Sebab, keputusan PKPU itu mengikat untuk semua kreditur. Tapi, jika ingin ikut dalam proses restrukturisasi utang lewat PKPU, kreditur asing harus mendafatarkan diri terlebih dahulu ke pengadilan niaga di Indonesia.
Meskipun, hasil keputusan dari PKPU tersebut harus didaftarkan kembali ke pangadilan di London, Inggris. Dan, bukan mustahil, jika kreditur tidak menyetujui proposal perdamaian di PKPU, maka akan ada gugatan lanjutan di London Court International Arbitration (LCIA).
Namun, menurut Jimmy, jika proses restrukturisasi in court disertai dengan niat dan iktikad baik dari Garuda sebagai debitur untuk mencapai homologasi atau perdamaian dengan kreditur, maka proses PKPU akan berjalan dengan mulus.
"Jadi, kesepakatan homologasi akan bergantung pada proposal perdamaian yang ditawarkan Garuda," kata Jimmy, Jumat (12/11/2021).
Dalam proposal perdamaian, selain meminta keringanan utang, Garuda bisa mengajukan permintaan konversi utang menjadi saham dengan periode selama 10 tahun.
Dengan proposal seperti itu, kreditur akan yakin bahwa Garuda bisa diselamatkan. Sebab, barang-barang atau utang yang diberikan kreditur kepada Garuda bukan sebagai barang jaminan, melainkan barang modal punya kreditur yang sewaktu-waktu bisa ditarik kembali.
Tentu, proposal perdamaian yang diajukan Garuda harus mempertimbangkan beberapa faktor.Pertama, melihat kondisi ekuitas atau keuangan pihak debitur, baik dari sisi pendapatan maupun beban operasional Garuda per bulan.
Kedua, melihat faktor keberadaan pihak investor. Dengan kata lain, apakah ada bantuan atau dukungan dari pihak ketiga, dalam hal ini baik pemerintah maupun swasta. Ketiga, adanya aset-aset debitur yang bisa dijadikan jaminan untuk pembayaran utang kepada kreditur.
Persoalannya, jika dari ketiga faktor tersebut tidak bisa memenuhi keinginan kreditur, maka hal ini akan menjadi kendala bagi Garuda dalam melakukan restrukturisasi utang melalui jalur PKPU. Tak hanya itu, pihak kreditur bisa saja tidak mau disodorkan pembayaran cicilan utang Garuda tanpa ada jaminan yang diberikan dari pemerintah atau investor.
"Jadi siapa yang mau menjamin pembayaran utang Garuda? Kalau tidak ada yang menjamin, sulit bagi Garuda mencapai perdamaian dengan kreditur. Bila tidak tercapai perdamaian di PKPU, maka Garuda bisa pailit," kata Jimmy.
Karena itu, sambung Jimmy, dalam proses penyelesaian di PKPU, Garuda harus tetap memiliki fresh moneyalias uang tunai. Tujuannya adalah untuk memberikan keyakinan penuh, terutama kepada kreditur di dalam negeri bahwa Garuda memiliki dana untuk membayar kewajibannya tepat waktu, meskipun harus dengan cara mencicil.
Yang penting, dalam proses pembayaran utang tersebut, Garuda harus mendapatkan grace periode (jangka waktu) dari pihak kreditur. Misalnya, grace periode itu diberikan dalam jangka waktu tiga tahun. Grace periode ini akan membantu Garuda untuk memperbaiki terlebih dahulu kinerja keuangannya.
Dengan adanya grace periode, Garuda tidak ditagih dulu untuk membayar utangnya. Dengan begitu, Garuda punya napas yang lega untuk fokus membenahi kondisi keuangannya.
"Nah, setelah grace periode berakhir, dan operasionalnya mulai running, baru Garuda mulai membayar cicilan utangnya kepada kreditur," imbuh Jimmy.
Jimmy optimistis, penyelesaian utang Garuda melalui jalur PKPU bisa berujung damai. Keyakinan Jimmy itu becermin dari kasus serupa yang pernah dialami raksasa tekstil nasional asal Solo, Jawa Tengah, yakni Duniatex Group. Ketika itu, Duniatex Grup memiliki utang sebanyak Rp22,36 triliun yang tersebar di 58 kreditur.
Pada Juni 2020, Majelis Hakim Pengadilan Niaga Semarang telah mengesahkan perjanjian perdamaian konglomerasi bisnis pertekstilan di Jawa Tengah itu dengan para krediturnya. Para kreditur Duniatex memberikan persetujuan atas rencana perdamaian Duniatex Group. Alhasil, Duniatex bisa menjalankan usahanya, tanpa lagi dibayang-bayangi sanksi pailit.
Sebelumnya, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi VI DPR, Selasa (9/11), Wakil Menteri II BUMN Kartika Wirjoatmodjo menegaskan bahwa pemerintah tengah mengkaji opsi restrukturisasi keuangan Garuda melalui jalur pengadilan atauin court.Opsi ini dipilih lantaran jumlah kreditur Garuda sangat banyak, yakni berkisar 60 kreditur.
Dari jumlah kreditur sebanyak itu, menurut Kartika, sekitar 70% merupakan kreditur asing. "Tidak mungkin Garuda melakukan negosiasi satu persatu dengan 60 kreditur. Waktunya bisa 2 tahun tak selesai," kata pria yang akrab disapat Tiko tersebut.
Jimmy Simanjuntak, Ketua Umum AKPI, menilai setiap debitor korporasi berhak memanfaatkan fasilitasin courtuntuk bisa melakukan penyehatan keuangan perusahaan. Artinya, jika debitur ingin mencapai hasil yang cepat dalam melakukan restrukturisasi utang, caranya memang harus ditempuh melalui proses penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).
Menurut Jimmy, fasilitas restrukturisasi utang melalui jalur in court, tertuang di dalam Pasal 222 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Pasal itu menyebutkan upaya debitur merestrukturisasi utangnya lewat PKPU bertujuan untuk mencapai suatu kesepakatan atau perdamaian.
"Lewat PKPU, debitur diberikan kesempatan untuk mengajukan proposal perdamaian sesuai dengan skema restrukturisasi. Proses restrukturisasi utang lewat PKPU lebih efisien dan efektif dibandingkan penyelesaian melalui mekanisme di luar pengadilan," kata Jumat (12/11/2021).
Pasalnya, melalui proses PKPU, para kreditur lokal maupun asing harus tunduk kepada yurisdiksi atau ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Sebab, keputusan PKPU itu mengikat untuk semua kreditur. Tapi, jika ingin ikut dalam proses restrukturisasi utang lewat PKPU, kreditur asing harus mendafatarkan diri terlebih dahulu ke pengadilan niaga di Indonesia.
Meskipun, hasil keputusan dari PKPU tersebut harus didaftarkan kembali ke pangadilan di London, Inggris. Dan, bukan mustahil, jika kreditur tidak menyetujui proposal perdamaian di PKPU, maka akan ada gugatan lanjutan di London Court International Arbitration (LCIA).
Namun, menurut Jimmy, jika proses restrukturisasi in court disertai dengan niat dan iktikad baik dari Garuda sebagai debitur untuk mencapai homologasi atau perdamaian dengan kreditur, maka proses PKPU akan berjalan dengan mulus.
"Jadi, kesepakatan homologasi akan bergantung pada proposal perdamaian yang ditawarkan Garuda," kata Jimmy, Jumat (12/11/2021).
Dalam proposal perdamaian, selain meminta keringanan utang, Garuda bisa mengajukan permintaan konversi utang menjadi saham dengan periode selama 10 tahun.
Dengan proposal seperti itu, kreditur akan yakin bahwa Garuda bisa diselamatkan. Sebab, barang-barang atau utang yang diberikan kreditur kepada Garuda bukan sebagai barang jaminan, melainkan barang modal punya kreditur yang sewaktu-waktu bisa ditarik kembali.
Tentu, proposal perdamaian yang diajukan Garuda harus mempertimbangkan beberapa faktor.Pertama, melihat kondisi ekuitas atau keuangan pihak debitur, baik dari sisi pendapatan maupun beban operasional Garuda per bulan.
Kedua, melihat faktor keberadaan pihak investor. Dengan kata lain, apakah ada bantuan atau dukungan dari pihak ketiga, dalam hal ini baik pemerintah maupun swasta. Ketiga, adanya aset-aset debitur yang bisa dijadikan jaminan untuk pembayaran utang kepada kreditur.
Persoalannya, jika dari ketiga faktor tersebut tidak bisa memenuhi keinginan kreditur, maka hal ini akan menjadi kendala bagi Garuda dalam melakukan restrukturisasi utang melalui jalur PKPU. Tak hanya itu, pihak kreditur bisa saja tidak mau disodorkan pembayaran cicilan utang Garuda tanpa ada jaminan yang diberikan dari pemerintah atau investor.
"Jadi siapa yang mau menjamin pembayaran utang Garuda? Kalau tidak ada yang menjamin, sulit bagi Garuda mencapai perdamaian dengan kreditur. Bila tidak tercapai perdamaian di PKPU, maka Garuda bisa pailit," kata Jimmy.
Karena itu, sambung Jimmy, dalam proses penyelesaian di PKPU, Garuda harus tetap memiliki fresh moneyalias uang tunai. Tujuannya adalah untuk memberikan keyakinan penuh, terutama kepada kreditur di dalam negeri bahwa Garuda memiliki dana untuk membayar kewajibannya tepat waktu, meskipun harus dengan cara mencicil.
Yang penting, dalam proses pembayaran utang tersebut, Garuda harus mendapatkan grace periode (jangka waktu) dari pihak kreditur. Misalnya, grace periode itu diberikan dalam jangka waktu tiga tahun. Grace periode ini akan membantu Garuda untuk memperbaiki terlebih dahulu kinerja keuangannya.
Dengan adanya grace periode, Garuda tidak ditagih dulu untuk membayar utangnya. Dengan begitu, Garuda punya napas yang lega untuk fokus membenahi kondisi keuangannya.
"Nah, setelah grace periode berakhir, dan operasionalnya mulai running, baru Garuda mulai membayar cicilan utangnya kepada kreditur," imbuh Jimmy.
Jimmy optimistis, penyelesaian utang Garuda melalui jalur PKPU bisa berujung damai. Keyakinan Jimmy itu becermin dari kasus serupa yang pernah dialami raksasa tekstil nasional asal Solo, Jawa Tengah, yakni Duniatex Group. Ketika itu, Duniatex Grup memiliki utang sebanyak Rp22,36 triliun yang tersebar di 58 kreditur.
Pada Juni 2020, Majelis Hakim Pengadilan Niaga Semarang telah mengesahkan perjanjian perdamaian konglomerasi bisnis pertekstilan di Jawa Tengah itu dengan para krediturnya. Para kreditur Duniatex memberikan persetujuan atas rencana perdamaian Duniatex Group. Alhasil, Duniatex bisa menjalankan usahanya, tanpa lagi dibayang-bayangi sanksi pailit.
Sebelumnya, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi VI DPR, Selasa (9/11), Wakil Menteri II BUMN Kartika Wirjoatmodjo menegaskan bahwa pemerintah tengah mengkaji opsi restrukturisasi keuangan Garuda melalui jalur pengadilan atauin court.Opsi ini dipilih lantaran jumlah kreditur Garuda sangat banyak, yakni berkisar 60 kreditur.
Dari jumlah kreditur sebanyak itu, menurut Kartika, sekitar 70% merupakan kreditur asing. "Tidak mungkin Garuda melakukan negosiasi satu persatu dengan 60 kreditur. Waktunya bisa 2 tahun tak selesai," kata pria yang akrab disapat Tiko tersebut.
(uka)