Keberlanjutan Lingkungan di Mata Sejumlah Perusahaan Besar

Selasa, 16 November 2021 - 16:12 WIB
loading...
Keberlanjutan Lingkungan di Mata Sejumlah Perusahaan Besar
Setiap perusahaan punya cara pandang tersendiri terhadap keberlanjutan lingkungan. Foto/Ist
A A A
JAKARTA - Isu keberlanjutan menjadi isu krusial dan teramat penting saat ini. Bagi dunia usaha , isu keberlanjutan bukan hanya menciptakan proses bisnis yang memastikan keberlanjutan lingkungan, tetapi juga sekaligus memastikan keberlanjutan bisnis perusahaan.

Arif Mujahidin, Communication Director Danone Indonesia, menyatakan pihaknya memiliki satu slogan unik yang menggambarkan betapa pentingnya keberlanjutan, yakni One Planet, One Health. “Kita hanya punya satu planet, dan kita hanya hidup di bumi ini satu kali. Sehingga apa pun yang dilakukan, kita tidak boleh melakukan sesuatu yang merusak planet dan merusak kesehatan,” ucap Arif dalam CEO Live Series #3: Ekonomi Sehat 2022 Powered by East Ventures.

Arif melanjutkan, inisiatif-insiatif yang dilakukan DanoneEkonomi Sehat 2022 Powered by East Ventures Indonesia, selain juga menempatkan lingkungan alam sebagai bagian yang penting, juga menempatkan manusia sebagai sesuatu yang tak kalah penting.



“Danone Indonesia memastikan bahwa walaupun tujuan utama perusahaan memproduksi produk kesehatan manusia, namun dalam proses produksinya tidak boleh merusak planet. Apa pun yang dilakukan Danone Indonesia adalah memastikan operasi dari hulu ke hilir tidak merusak planet,” papar Arif.

Apa yang disampaikan Arif sejalan dengan pandangan Daniel S. Purba, SVP Strategy & Investment PT Pertamina (Persero). Menurut Daniel, bagi institusi usaha migas seperti Pertamina, yang memang padat modal dan mengandung risiko tinggi, menjalankan prinsip-prinsip sustainability dengan sendirinya berarti memberikan kepastian usaha bagi perusahaan itu sendiri.

“Isu-isu sustainbility bagi perusahaan seperti Pertamina menjadi isu yang superkritikal bagi perusahaan, apalagi di mata investor,” papar Daniel.

Di Pertamina, sambung Daniel, concern terhadap keberlanjutan ini tertuang dalam perilaku dan keputusan bisnis sehari-hari. Pertamina bahkan mengundang lembaga luar dengan reputasi internasional dalam mengevaluasi dan mengukur pelaksanaan prinsip-prinsip keberlanjutan di lingkungan Pertamina.

Untuk renewable energy, secara portofolio bisnis (Pertamina) masih sekitar 1%, masih sangat kecil sekali. Tapi Pertamina sudah rencanakan dalam 10 tahun ke depan sampai ke 17%.

"Ini adalah cara merespons energi transisi. Mengapa, karena ini bagian dari kita memastikan sustainability perusahaan ini,” tutur Daniel.

Apa yang dipaparkan Daniel mengenai energi baru dan terbarukan juga menjadi perhatian dari PT PLN (Persero). Disampaikan Edwin Nugraha Putra, EVP Electricity System Planning PT PLN (Persero), PLN melakukan dua pendekatan konseptual terkait penggunaan energi dalam pembangkitan listrik.

Kedua konsep ini, disampaikan Edwin, sangat tergantung dengan perkembangan teknologi. Pendekatan pertama ialah terhadap pembangkit-pembangkit listrik bertenaga fosil yang telah dibangun oleh PLN. Bila PLN melakukan pembangunan pembangkit dengan energi fosil yang memang diperlukan demi pemenuhan kebutuhan listrik, langkah itu bisa dipahami mengingat banyaknya sumber energi dari batu bara dan gas yang dimiliki Indonesia.

Yang PLN lakukan kemudian ialah menerapkan teknologi-teknologi terkini yang dapat mereduksi tingkat emisi sehingga keberadaan pembangkit tersebut tidak berkontribusi besar terhadap pencemaran lingkungan.

Kemudian pendekatan kedua, Edwin mengatakan, PLN tidak mungkin menafikan kehadiran sumber-sumber energi baru dan terbarukan sebagai energi pembangkit listrik. Ke depan, PLN justru melihat masa depan akan mengandalkan penuh sumber energi terbarukan ini. Terkait hal ini, PLN dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL)-nya telah memasukkan energi baru dan terbarukan ke dalam RUPTL tersebut.

Hal senada juga disampaikan oleh Bernard A. Riedo, Director Sustainability and Stakeholder Relations Asian Agri. Terlebih bagi industri sawit. Menurut Bernard, industri sawit termasuk industri yang heavy regulated. Ada banyak standar-standar yang harus diterapkan, yang bahkan lebih banyak bila dibandingkan dengan industri minyak nabati lainnya.

“Di satu sisi kita harus berbangga bahwa memang kenapa kita diperlakukan standar seperti itu, karena kita punya daya saing yang cukup tinggi. Competitive advantages kita tinggi, produktivitas kita tinggi, sehingga ini menjadi suatu persaingan dagang di mana sawit diharapkan lebih sustainable,” ucap Bernard.

Asian Agri, disampaikan Bernard, memandang sustainability sebagai bagian yang tak terpisahkan. Terlebih hal tersebut menjadi salah satu pilar Asian Agri selain Operational Excellence dan Smallholder Partnership, yang menjadi ruang Asian Agri untuk berkolaborasi dengan masyarakat di sekitar wilayah operasinya.

“Asian Agri itu bisa dibilang telah 30 tahun memiliki pengalaman dalam hal bermitra, dimulai dari program PIR-Trans (Perkebunan Inti Rakyat) dan sekarang kemitraan itu sudah masuk ke generasi kedua. Yang harus kita persiapkan bersama bagaimana ke depannya tidak hanya berhenti di generasi kedua, tapi berlanjut ke generasi ketiga, keempat, dan seterusnya,” papar Bernard.

Pemaparan yang disampaikan sejumlah pelaku usaha mengenai sustainability action disambut baik oleh Bayu Krisnamurthi, Ketua Tim Ahli Kementerian Perdagangan RI. Bayu mengatakan setiap industri tentu memiliki standardisasinya sendiri-sendiri. Standar-standar dan praktik terbaik masing-masing industri ini sangat diharapkan tercipta melalui voluntary based dari industri.



“Karena standardisasi untuk sawit jelas berbeda dengan listrik, beda dengan migas. Salah satu yang jadi semangat Sustainable Development Goals (SDGs) ini bukan regulasi. Yang ditetapkan itu tujuan, caranya kembali ke pelaku industri sesuai dengan karakteristik masing-masing industri,” paparnya.

Pemerintah sendiri, menurut Bayu, bisa dilihat melalui regulasi-regulasi yang ada. Setidaknya ada dua hal yang disebutkan Bayu mengenai komitmen pemerintah terkait sustainability yang bisa disebut. “Yang pertama, kita sudah memiliki Rencana Aksi Nasional (RAN) SDGs yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo. Itu jadi pegangan kita semua," kata Bayu.

Yang kedua, disampaikan Bayu, saat ini telah ada yang disebut Green Economy Initiative. “Ini low carbon development process yang juga sudah diterapkan oleh pemerintah. Dan ini bahkan menjadi bagian dari kerja sama internasional dalam menyusunnya,” terang Bayu.
(uka)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1781 seconds (0.1#10.140)