Akibat Pandemi, Kondisi Ekonomi Indonesia Mundur 35 Tahun
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wabah Corona telah memukul sektor ekonomi. Indonesia pun berpeluang besar masuk dalam jurang resesi. Jika saja di kuartal II tahun ini pertumbuhan ekonomi lebih kecil dari pertumbuahn ekonomi di kuartal I (2,97%), maka sah, secara hukum ekonomi Indonesia masuk dalam fase resesi.
Tanda-tanda ke arah sana memang cukup terlihat. Dari prediksi yang dikatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani, hingga akhir tahun nanti pertumbuan ekonomi bisa mencapai 0% atau bahkan lebih rendah dari itu alias negatif.
Jika pada akhirnya Indonesia benar-benar masuk dalam resesi, maka seberapa parah kondisinya jika dibandingkan dengan resesi ekonomi di tahun 1998. Banyak kalangan menilai, di tahun itu merupakan kondisi terkelam dalam perekonomian Indonesia. Sebab bukan hanya ekonomi yang terpukul akibat rersesi, pemerintahan Orde Baru pun ikut tumbang.
Jadi lebih parah mana resesi ekonomi 1998 atau 2020? Jawaban mengejutkan disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto. Ia menyatakan, kondisi saat ini memang lebih berat ketimbang badai ekonomi yang menyapu Indonesia dan juga dunia pada 1998.
Sebagai gambaran, di 1998 sektor UMKM (Usaha Mikro, Kecil, Menengah) menjadi motor penggerak untuk membangkitkan ekonomi. Saat ini, sebaliknya UMKM yang jadi hero di 1998, malah menjadi sektor usaha yang paling terpuruk terhempas pandemic Virus Cofid 19.
Berdasarkan data indikator ekonomi, apa yang disampaikan oleh Menteri Airlangga ada benarnya. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian memprediksi angka kemiskinan maupun pengangguran tahun ini dapat bertambah masing-masing lebih dari 5 juta orang.
Sehingga angka kemiskinan yang semula 24,79 juta (September 2019), akan bertambah menjadi sekitar 30 juta orang. Angka kemsikinan sebanyak itu hampir sama dengan angka kemiskinan yang dicatat BPS pada 2010 sebesar 31,02 juta dan pada 2011 sebanyak 29,9 juta. Dilihat dari angka kemiskinan, Indonesia mundur 10 tahun.
Demikian pula dengan angka pengangguran terbuka yang sebelumnya mencapai 4,99 juta (Februari 2020), diprediksi akan bertambah 5 juta, menjadi sekitar 10 juta. Angka ini mirip dengan angka pengangguran terbuka yang terjadi pada 2008, sebanyak 9,39 juta. Dilihat dari angka pengangguran maka kondisi ekonomi di negeri ini mundur 11 tahun.
Bagaimana dengan pertumbuhan ekonomi? Katakanlah angka pertumbuhan ekonomi di kuartal I tahun ini, yang sebesar 2,97% dijadikan acuan. Dari data yang ada, angka pertumbuhan itu mendekati angka pertumbuhan ekonomi pada tahun 1966, sebesar 2,79% dan pertumbuhan ekonomi pada 1985 sebesar 2,46%. Jika demikian, dari sisi pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini mirip dengan kondisi 35 tahun yang lalu.
Menurut Menteri Airlangga, meski dilihat dari indikator makro ekonomi, kondisinya merosot jauh, namun masih ada kabar baiknya. Saat ini lembaga keuangan, khususnya perbankan punya ketahanan yang kuat.
Indikasinya jika pada 1998 banyak bank yang tumbang akibat dana masyarakat yang di tarik besar-besaran dalam waktu yang bersamaan. Maka, sebaliknya, saat ini jumlah dana masyarakat yang disimpan di bank alias Dana Pihak Ketiga (DPK) bertambah.
Kabar baik selanjutnya adalah stabilitas politik yang tetap terjaga. Tidak ada demontrasi antipemerintah besar-besaran yang terjadi. Kerusuhan pun hampir bisa dikatakan tidak ada. Antrian sembako yang dibagikan pemerintah untuk membantu penduduk yang terdampak akibat wabah ini juga berjalan tertib dan aman.
Simpanan Dana di Bank Makin Banyak
Dari pantuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) penghimpunan dana masyarakat, dana pihak ketiga (DPK) perbankan tumbuh sebesar 8,08 persen yoy pada April 2020. Sementara, pada Maret 2020 DPK bank tumbuh sebesar 9,54 persen yoy. Diketahui pada Maret 2020 DPK yang masuk ke perbankan mencapai Rp 5.979,3 triliun.
Dari laporan bank papan atas di negeri ini, juga terlihat adanya pertumbuhan DPK di kuartal I 2020. Total DPK yang tercatat di bank milik negara atau Himbara per Maret 2020 sebesar Rp 2.611,45 triliun atau tumbuh dua digit 10,23% yoy.
Terbaru, Bank Mandiri baru saja merilis laporan keuangan di tiga bulan pertama tahun ini (8/6/2020). Bank dengan kode saham BMRI ini mencatatkan pertumbuhan DPK sebesar 13,72% atau menjadi Rp 941,3 triliun. Diantara bank anggota Himbara, DPK bank Mandiri tumbuh paling besar. Baja juga: Bank Mandiri Raup Laba Rp7,92 Triliun di Kuartal I/2020.
DPK yang melonjak itu terdiri dari, tabungan yang tumbuh 4,47% menjadi Rp 306,3 triliun. Giro tumbuh 35,79% menjadi Rp 237 triliun dan deposito tumbuh 7,08% menjadi Rp 276,7 triliun. Sementara dari kontribusi anak perusahaan tumbuh 19,42% menjadi Rp 121,4 triliun. Secara umum Mandiri mampu membukukan laba sebesar Rp 7,92 triliun di kuartal I 2020 atau tumbuh 9,44% (yoy). Demikian juga dengan pendapatan yang naik 23,95% menjadi Rp 7,74 triliun.
Sementara itu Bank BRI mampu mengunpulkan DPK lebih dari Rp 1. 000 triliun. Sepanjang kuartal I 2020, Direktur Utama Bank BRI Sunarso menjelaskan, DPK BRI 0 sebesar Rp 1.029 triliun, naik 9,93% dibanding kuartal I 2019. DPK BRI mayoritas berasal dari deposito senilai Rp 422,09 triliun, lalu disusul oleh simpanan tabungan senilai Rp 387,64 triliun, dan giro senilai Rp 168,59 triliun.
Saudara BRI lainnya, yakni Bank BNI juga mencatatakan pertumbuhan DPK. Total DPK yang berhasil dihimpun bank pelat merah ini pada kuartal 1 2020 sebesar Rp 635 triliun, naik sebesar 10,4% yoy. Angka ini masih di atas pertumbuhan DPK industri perbankan nasional pada bulan Maret 2020 sebesar 9,54%.
DPK BNI ini didukung oleh pertumbuhan dana giro sebesar 29,9% dan tabungan sebesar 8,1%, alhasil porsi Dana murah (Current Account Savings Account/CASA) pada periode ini adalah 64,9%.
Untuk diketahui semakin tinggi presentasi dana murah ini berarti maka semakin tinggi pula kepercayaan masyarakat terhadap bank tersebut. Peningkatan dana murah menyebabkan biaya dana (cost of fund) BNI turun menjadi 2,9% dari 3,2% di 2019.
Bank BTN mencatatkan peningkatan DPK paling mini dibandingkan saudara-saudaranya yang lain sesma bank pelat merah, yakni sebesar 2,73% yoy. Perseroan mampu menghimpun DPK Rp221,719 triliun selama kuartal I/2020 , naik 2,7%. Pertumbuhan DPK paling signifikan berasal dari Batara reguler yang tumbuh 6,8 persen. Sementara itu, selama kuartal 1/2020, penghimpunan tabungan justru tercatat menurun 8,7% menjadi Rp39,496 miliar.
Memasuki kuartal II diperkirkaan tekanan akibat wabah corona terhadap kinerja bank akan semakin kuat. Kucuran kredit pasti akan menurun. Mudah-mudahan saja bank masih bisa menjaga kepercayaan para nasabahnya, hingga DPK mereka masih bisa dipertahankan hingga akhir tahun.
Tanda-tanda ke arah sana memang cukup terlihat. Dari prediksi yang dikatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani, hingga akhir tahun nanti pertumbuan ekonomi bisa mencapai 0% atau bahkan lebih rendah dari itu alias negatif.
Jika pada akhirnya Indonesia benar-benar masuk dalam resesi, maka seberapa parah kondisinya jika dibandingkan dengan resesi ekonomi di tahun 1998. Banyak kalangan menilai, di tahun itu merupakan kondisi terkelam dalam perekonomian Indonesia. Sebab bukan hanya ekonomi yang terpukul akibat rersesi, pemerintahan Orde Baru pun ikut tumbang.
Jadi lebih parah mana resesi ekonomi 1998 atau 2020? Jawaban mengejutkan disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto. Ia menyatakan, kondisi saat ini memang lebih berat ketimbang badai ekonomi yang menyapu Indonesia dan juga dunia pada 1998.
Sebagai gambaran, di 1998 sektor UMKM (Usaha Mikro, Kecil, Menengah) menjadi motor penggerak untuk membangkitkan ekonomi. Saat ini, sebaliknya UMKM yang jadi hero di 1998, malah menjadi sektor usaha yang paling terpuruk terhempas pandemic Virus Cofid 19.
Berdasarkan data indikator ekonomi, apa yang disampaikan oleh Menteri Airlangga ada benarnya. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian memprediksi angka kemiskinan maupun pengangguran tahun ini dapat bertambah masing-masing lebih dari 5 juta orang.
Sehingga angka kemiskinan yang semula 24,79 juta (September 2019), akan bertambah menjadi sekitar 30 juta orang. Angka kemsikinan sebanyak itu hampir sama dengan angka kemiskinan yang dicatat BPS pada 2010 sebesar 31,02 juta dan pada 2011 sebanyak 29,9 juta. Dilihat dari angka kemiskinan, Indonesia mundur 10 tahun.
Demikian pula dengan angka pengangguran terbuka yang sebelumnya mencapai 4,99 juta (Februari 2020), diprediksi akan bertambah 5 juta, menjadi sekitar 10 juta. Angka ini mirip dengan angka pengangguran terbuka yang terjadi pada 2008, sebanyak 9,39 juta. Dilihat dari angka pengangguran maka kondisi ekonomi di negeri ini mundur 11 tahun.
Bagaimana dengan pertumbuhan ekonomi? Katakanlah angka pertumbuhan ekonomi di kuartal I tahun ini, yang sebesar 2,97% dijadikan acuan. Dari data yang ada, angka pertumbuhan itu mendekati angka pertumbuhan ekonomi pada tahun 1966, sebesar 2,79% dan pertumbuhan ekonomi pada 1985 sebesar 2,46%. Jika demikian, dari sisi pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini mirip dengan kondisi 35 tahun yang lalu.
Menurut Menteri Airlangga, meski dilihat dari indikator makro ekonomi, kondisinya merosot jauh, namun masih ada kabar baiknya. Saat ini lembaga keuangan, khususnya perbankan punya ketahanan yang kuat.
Indikasinya jika pada 1998 banyak bank yang tumbang akibat dana masyarakat yang di tarik besar-besaran dalam waktu yang bersamaan. Maka, sebaliknya, saat ini jumlah dana masyarakat yang disimpan di bank alias Dana Pihak Ketiga (DPK) bertambah.
Kabar baik selanjutnya adalah stabilitas politik yang tetap terjaga. Tidak ada demontrasi antipemerintah besar-besaran yang terjadi. Kerusuhan pun hampir bisa dikatakan tidak ada. Antrian sembako yang dibagikan pemerintah untuk membantu penduduk yang terdampak akibat wabah ini juga berjalan tertib dan aman.
Simpanan Dana di Bank Makin Banyak
Dari pantuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) penghimpunan dana masyarakat, dana pihak ketiga (DPK) perbankan tumbuh sebesar 8,08 persen yoy pada April 2020. Sementara, pada Maret 2020 DPK bank tumbuh sebesar 9,54 persen yoy. Diketahui pada Maret 2020 DPK yang masuk ke perbankan mencapai Rp 5.979,3 triliun.
Dari laporan bank papan atas di negeri ini, juga terlihat adanya pertumbuhan DPK di kuartal I 2020. Total DPK yang tercatat di bank milik negara atau Himbara per Maret 2020 sebesar Rp 2.611,45 triliun atau tumbuh dua digit 10,23% yoy.
Terbaru, Bank Mandiri baru saja merilis laporan keuangan di tiga bulan pertama tahun ini (8/6/2020). Bank dengan kode saham BMRI ini mencatatkan pertumbuhan DPK sebesar 13,72% atau menjadi Rp 941,3 triliun. Diantara bank anggota Himbara, DPK bank Mandiri tumbuh paling besar. Baja juga: Bank Mandiri Raup Laba Rp7,92 Triliun di Kuartal I/2020.
DPK yang melonjak itu terdiri dari, tabungan yang tumbuh 4,47% menjadi Rp 306,3 triliun. Giro tumbuh 35,79% menjadi Rp 237 triliun dan deposito tumbuh 7,08% menjadi Rp 276,7 triliun. Sementara dari kontribusi anak perusahaan tumbuh 19,42% menjadi Rp 121,4 triliun. Secara umum Mandiri mampu membukukan laba sebesar Rp 7,92 triliun di kuartal I 2020 atau tumbuh 9,44% (yoy). Demikian juga dengan pendapatan yang naik 23,95% menjadi Rp 7,74 triliun.
Sementara itu Bank BRI mampu mengunpulkan DPK lebih dari Rp 1. 000 triliun. Sepanjang kuartal I 2020, Direktur Utama Bank BRI Sunarso menjelaskan, DPK BRI 0 sebesar Rp 1.029 triliun, naik 9,93% dibanding kuartal I 2019. DPK BRI mayoritas berasal dari deposito senilai Rp 422,09 triliun, lalu disusul oleh simpanan tabungan senilai Rp 387,64 triliun, dan giro senilai Rp 168,59 triliun.
Saudara BRI lainnya, yakni Bank BNI juga mencatatakan pertumbuhan DPK. Total DPK yang berhasil dihimpun bank pelat merah ini pada kuartal 1 2020 sebesar Rp 635 triliun, naik sebesar 10,4% yoy. Angka ini masih di atas pertumbuhan DPK industri perbankan nasional pada bulan Maret 2020 sebesar 9,54%.
DPK BNI ini didukung oleh pertumbuhan dana giro sebesar 29,9% dan tabungan sebesar 8,1%, alhasil porsi Dana murah (Current Account Savings Account/CASA) pada periode ini adalah 64,9%.
Untuk diketahui semakin tinggi presentasi dana murah ini berarti maka semakin tinggi pula kepercayaan masyarakat terhadap bank tersebut. Peningkatan dana murah menyebabkan biaya dana (cost of fund) BNI turun menjadi 2,9% dari 3,2% di 2019.
Bank BTN mencatatkan peningkatan DPK paling mini dibandingkan saudara-saudaranya yang lain sesma bank pelat merah, yakni sebesar 2,73% yoy. Perseroan mampu menghimpun DPK Rp221,719 triliun selama kuartal I/2020 , naik 2,7%. Pertumbuhan DPK paling signifikan berasal dari Batara reguler yang tumbuh 6,8 persen. Sementara itu, selama kuartal 1/2020, penghimpunan tabungan justru tercatat menurun 8,7% menjadi Rp39,496 miliar.
Memasuki kuartal II diperkirkaan tekanan akibat wabah corona terhadap kinerja bank akan semakin kuat. Kucuran kredit pasti akan menurun. Mudah-mudahan saja bank masih bisa menjaga kepercayaan para nasabahnya, hingga DPK mereka masih bisa dipertahankan hingga akhir tahun.
(eko)