Krisis Batu Bara, DPR: Alarm bagi Pemerintah untuk Dorong EBT

Rabu, 05 Januari 2022 - 14:49 WIB
loading...
Krisis Batu Bara, DPR:...
Krisis batu bara untuk pembangkit listrik dinilai sebagai alarm untuk mendorong pengembangan EBT serta memperbaiki tata kelola sumber daya alam. Foto/Ilustrasi
A A A
JAKARTA - Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto memandang krisis pasokan batu bara untuk pembangkit listrik PT PLN (Persero) yang terjadi saat ini sebagai alarm bagi pemerintah untuk mendorong penerapan energi baru dan terbarukan (EBT) sejak dini di Indonesia. Krisis ini juga dinilai menjadi bukti adanya kesalahan dalam tata kelola sumber daya alam.

"Krisis batu bara ini menjadi pengingat bahwa energi fosil sangat rentan. Maka kita perlu segera masuk ke energi baru terbarukan. Dengan semakin terbatasnya energi fosil ini, pasti akan fluktuatif dalam supply and demand. Kalau tidak imbang, pasti akan terjadi disparitas harga, ada distorsi," paparnya di Jakarta, Rabu (5/1/2022).

Politisi NasDem ini mengakui batu bara masih menjadi salah satu sumber energi utama dan juga penyumbang terbesar pendapatan negara bukan pajak. Namun demikian, dia mewanti-wanti adanya risiko semakin terbatasnya ketersediaan di masa mendatang.



Terlebih, sambung dia, saat ini Indonesia sudah menandatangani Perjanjian Paris dan meratifikasi dalam hukum nasional melalui UU Nomor 16 Tahun 2016. "Batu bara sangat rentan karena menjadi komoditas yang semakin terbatas, apalagi sudah semakin dibatasi karena polutif. Kita juga sudah meratifikasi perjanjian Paris. Hal ini menjadi dasar bahwa EBT sebuah keharusan dilakukan mitigasi. Kalau tidak kita mengalami turbulensi," ujarnya.

Seperti diketahui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif saat Conference of Parties (COP) ke-26 di Glasgow, UK, Oktober 2021 lalu menekankan komitmen kuat Indonesia untuk berperan dalam menanggulangi perubahan iklim tengah diperkuat dengan perumusan sejumlah kebijakan, khususnya di sektor energi.

Upaya nyata dipastikannya tengah ditempuh Indonesia demi mencapai target penurunan emisi maupun Net Zero Emission (netralitas karbon) yang ditargetkan akan tercapai di tahun 2060 atau lebih awal.

Dalam menjalankan misi tersebut, Menteri ESDM menekankan daya dukung transisi energi sehingga membuka ruang pemanfaatan energi baru dan terbarukan yang optimal. Guna menciptakan iklim investasi yang kondusif pemerintah menyederhanakan dan merampingkan kerangka peraturan. Salah satunya melalui pengesahan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030 dimana porsi sumber energi berbasis EBT melebihi porsi energi fosil, yaitu sebesar 51,6% atau setara dengan 20,9 Giga Watt (GW).



Di bagian lain, Sugeng menilai larangan ekspor yang diberlakukan pemerintah hingga akhir Januari 2022 adalah sebuah langkah yang terpaksa diambil di tengah kondisi yang merugikan semua pihak. Dalam hal ini, dia juga mengkritik semua pihak, baik pemerintah selaku pembuat regulasi, PLN maupun perusahaan batu bara.

"Kalau semuanya strict terhadap Pasal 33 UUD 45, semestinya tidak boleh terjadi keputusan ini. Akhirnya semua dirugikan, satu pihak karena ketidakpatuhan penambang batu bara memenuhi DMO disebabkan adanya disparitas harga yang sangat jauh dengan internasional," kata Sugeng.

Mengantisipasi fluktuasi harga batu bara, ucap Sugeng, pemerintah seharusnya mempersiapkan rentang harga DMO yang dinamis. Di sisi lain, dirinya mengakui akan adanya peningkatan biaya pokok penyediaan (BPP) listrrik oleh PLN bila harga batu bara naik. "Tapi ada pintu lain, ada namanya pajak ekspor batu bara. Apabila (harga ekspor) melampaui harga DMO, maka dinaikkan pajak ekspor," cetusnya.



Guna mengantisipasi krisis bahan bakar pembangkit PLN ke depan, Sugeng menyarankan pemerintah menggenjot kapasitas PT Bukit Asam (Persero) Tbk sebagai BUMN penyedia kebutuhan energi primer. Di sisi lain, kewajiban DMO oleh pihak swasta harus diawasi dengan tegas. Namun, pemerintah menurutnya juga harus memberikan kemudahan bagi perusahaan batu bara yang memenuhi kewajiban itu.

"Beberapa perusahaan memenuhi DMO 25 persen. Sementara sebagian memilih membayar denda yang hanya USD3 per ton. Moral hazard pengusaha batu bara seharusnya juga ada. Efeknya ke semua pengusaha, bagi perusahaan batu bara yang komitmen terhadap ekspor, pasti akan ada penalti akibat larangan dari pemerintah saat ini, tetapi ada hal lain yang jauh lebih penting adalah kepentingan nasional," tandasnya.
(fai)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1947 seconds (0.1#10.140)