Kejar Target Produksi 1,8 Juta Ton di 2025, PTPN III Restrukturisasi Bisnis Gula
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketahanan gula nasional menjadi fokus utama Holding Perkebunan Nusantara atau PTPN III (Persero) . Untuk itu, PTPN melakukan restrukturisasi bisnis gula.
Direktur Utama Holding Perkebunan Nusantara M Abdul Ghani mengatakan, restrukturisasi bisnis gula menjadi bagian dari 88 program strategis Kementerian BUMN. Program ini diharapkan menjawab tantangan ketahanan gula nasional.
Perseroan ditugaskan pemegang saham melipatgandakan produksi gula menjadi 1,8 juta ton guna mendukung swasembada gula konsumsi pada 2025 mendatang. Langkah itu sekaligus menjadi program kesejahteraan para petani tebu rakyat.
Ghani mencatat, langkah strategis yang dilakukan Holding Perkebunan Nusantara adalah membentuk PT Sinergi Gula Nusantara (SGN) pada 17 Agustus 2021 lalu.
SGN merupakan gabungan tujuh anak perusahaan pengelola perkebunan tebu yaitu PTPN II di Sumatera Utara, PTPN VII di Lampung, PTPN IX di Jawa Tengah, PTPN X, PTPN XI, dan PTPN XII di Jawa Timur, serta PTPN XIV di Sulawesi Selatan.
Pembentukan PT SGN, kata Ghani, memiliki tiga inisiatif utama yaitu modernisasi pabrik gula, Intensifikasi melalui peningkatan produktivitas, serta ekstensifikasi lahan dengan cara sinergi BUMN dan program kemitraan dengan petani tebu.
“Dengan demikian, persoalan disparitas kinerja pabrik gula PTPN dapat terselesaikan. Tahun 2021, sebelum transformasi bisnis gula dilakukan, sebenarnya beberapa pabrik gula kami sudah memiliki kinerja optimum dengan harga pokok produksi sekitar Rp8.000,” urai Ghani, Jumat (14/1/2022).
Kondisi ini menyebabkan tingginya beban pokok petani tebu rakyat dan pada akhirnya berpengaruh terhadap pendapatan petani tebu.
Untuk itu, pada roadmap gula ke depannya, BUMN melalui PTPN dan BUMN pangan dituntut meningkatkan kesejahteraan petani melalui pendampingan dan pendanaan untuk meningkatan produktivitas, serta minat petani dalam menanam tebu.
Ghani berhitung, peningkatan kesejahteraan petani dilakukan melalui optimalisasi masa tanam, penataan komposisi dan penggunaan varietas unggul baru, perbaikan water management, dan aplikasi pemupukan tepat waktu dan dosis.
Dengan demikian, produktivitas tebu dapat ditingkatkan di atas 80 ton tebu/ha dan rendemen di atas 8%. Target itu dipandang mampu menekan beban pokok produksi tebu petani dan meningkatkaan pendapatan sisa hasil usaha.
Ghani menjelaskan, penetapan harga gula sebesar Rp10.500/kg pada dasarnya dilakukan dalam upaya melindungi petani yang produktivitasnya masih rendah atau sekitar 5 ton GKP/ha.
Seiring dengan perbaikan yang terus dilakukan, produktivitas tebu yang terus meningkat, maka harga gula di tingkat nasional dapat diturunkan dengan tetap meningkatkan pendapatan petani.
Dengan dukungan dari PTPN, Ghani meyakini dalam kurun waktu 3-4 tahun produktivitas petani tebu rakyat akan meningkat di atas 7 ton GKP/ha.
“Dari hasil simulasi kami, pada tingkat produktivitas 7 ton GKP/ha, maka beban pokok petani turun menjadi Rp8.300/kg. Dengan demikian, usaha tani tebu rakyat akan kompetitif dengan petani padi,” pungkasnya.
Direktur Utama Holding Perkebunan Nusantara M Abdul Ghani mengatakan, restrukturisasi bisnis gula menjadi bagian dari 88 program strategis Kementerian BUMN. Program ini diharapkan menjawab tantangan ketahanan gula nasional.
Perseroan ditugaskan pemegang saham melipatgandakan produksi gula menjadi 1,8 juta ton guna mendukung swasembada gula konsumsi pada 2025 mendatang. Langkah itu sekaligus menjadi program kesejahteraan para petani tebu rakyat.
Ghani mencatat, langkah strategis yang dilakukan Holding Perkebunan Nusantara adalah membentuk PT Sinergi Gula Nusantara (SGN) pada 17 Agustus 2021 lalu.
SGN merupakan gabungan tujuh anak perusahaan pengelola perkebunan tebu yaitu PTPN II di Sumatera Utara, PTPN VII di Lampung, PTPN IX di Jawa Tengah, PTPN X, PTPN XI, dan PTPN XII di Jawa Timur, serta PTPN XIV di Sulawesi Selatan.
Pembentukan PT SGN, kata Ghani, memiliki tiga inisiatif utama yaitu modernisasi pabrik gula, Intensifikasi melalui peningkatan produktivitas, serta ekstensifikasi lahan dengan cara sinergi BUMN dan program kemitraan dengan petani tebu.
“Dengan demikian, persoalan disparitas kinerja pabrik gula PTPN dapat terselesaikan. Tahun 2021, sebelum transformasi bisnis gula dilakukan, sebenarnya beberapa pabrik gula kami sudah memiliki kinerja optimum dengan harga pokok produksi sekitar Rp8.000,” urai Ghani, Jumat (14/1/2022).
Baca Juga
Kondisi ini menyebabkan tingginya beban pokok petani tebu rakyat dan pada akhirnya berpengaruh terhadap pendapatan petani tebu.
Untuk itu, pada roadmap gula ke depannya, BUMN melalui PTPN dan BUMN pangan dituntut meningkatkan kesejahteraan petani melalui pendampingan dan pendanaan untuk meningkatan produktivitas, serta minat petani dalam menanam tebu.
Ghani berhitung, peningkatan kesejahteraan petani dilakukan melalui optimalisasi masa tanam, penataan komposisi dan penggunaan varietas unggul baru, perbaikan water management, dan aplikasi pemupukan tepat waktu dan dosis.
Dengan demikian, produktivitas tebu dapat ditingkatkan di atas 80 ton tebu/ha dan rendemen di atas 8%. Target itu dipandang mampu menekan beban pokok produksi tebu petani dan meningkatkaan pendapatan sisa hasil usaha.
Ghani menjelaskan, penetapan harga gula sebesar Rp10.500/kg pada dasarnya dilakukan dalam upaya melindungi petani yang produktivitasnya masih rendah atau sekitar 5 ton GKP/ha.
Seiring dengan perbaikan yang terus dilakukan, produktivitas tebu yang terus meningkat, maka harga gula di tingkat nasional dapat diturunkan dengan tetap meningkatkan pendapatan petani.
Dengan dukungan dari PTPN, Ghani meyakini dalam kurun waktu 3-4 tahun produktivitas petani tebu rakyat akan meningkat di atas 7 ton GKP/ha.
“Dari hasil simulasi kami, pada tingkat produktivitas 7 ton GKP/ha, maka beban pokok petani turun menjadi Rp8.300/kg. Dengan demikian, usaha tani tebu rakyat akan kompetitif dengan petani padi,” pungkasnya.
(ind)