Kontroversi Perusahaan Lumpur Lapindo: Susahnya Membuang Perusahaan yang Kini Menyimpan Harta Karun Dunia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Lapindo Brantas Inc (LBI) masih menjadi buah bibir masyarakat hingga saat ini. Pasalnya perusahaan ini kerap membetot perhatian publik terkait dengan luapan lumpur lapindo di Sidoardjo, Jawa Timur, sejak 2006 lalu.
Juni 2019, ketika pemerintah menagih utang Lapindo Rp773,382 miliar, perusahaan ini justru menagih balik utang kepada pemerintah. Tak tanggung-tanggung utang yang ditagih LBI kepada pemerintah besarnya lebih dari dua kali lipat, Rp1,9 triliun.
Menurut pihak LBI, utang pemerintah itu berasal dari dana talangan kepada pemerintah melalui aset kedua perusahaan. Piutang tersebut diklaim juga telah diketahui oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) saat melakukan audit keuangan kepada kedua perusahaan tersebut pada Juni 2018.
LBI sendiri berutang kepada pemerintah karena adanya pinjaman yang diberikan pemerintah kepada perusahaan itu untuk melunasi pembelian tanah dan bangunan warga terdampak luapan lumpur lapindo yang diteken 10 Juli 2015. Pemerintah sendiri sudah memberikan dana talangan untuk LBI lebih dari Rp11 triliun sejak 2006 hingga 2017.
Jauh sebelum itu, LBI juga kerap mengundang kontroversi. Setelah gagal dijual kepada Lyte Limited seharga USD2 atau Rp18.400 (kurs kala itu), PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) sebagai pemilik Lapindo Brantas Inc, terus mencari siasat lain untuk membuang perusahaan pembuat malapetaka itu.
Pada 14 November 2006, ENRG mengumumkan bahwa mereka telah menjual Lapindo Brantas Inc kepada Freehold Group Limited (FGL) senilai USD1 juta. Freehold adalah perusahaan milik warga Amerika Serikat yang berkedudukan di British Virgin Island.
"ENRG telah memutuskan mendivestasi kepemilik ENRG di Kalila Energy Ltd dan Pan Asia Enterprise Ltd yang keduanya memiliki saham 100 persen saham LBI kepada Freehold Group Limited, pihak ketiga yang tidak terafiliasi dengan kelompok usaha Bakrie," kata Direktur ENRG Norman Harahap ketika itu, seperti dikutip dari Antara.
Tak dinyana. Selang berapa hari kemudian, penjualan itu juga mengalami kegagalan. Pada 28 November 2006, lewat keterbukaan informasi BEJ (sekarang BEI), ENRG mengumumkan pembatalan penjualan itu.
Pemicunya, otoritas pasar modal kala itu, Bappepam-LK, merasa dilangkahi karena penjualan itu tanpa seizin mereka. Apalagi, otoritas juga menegaskan, sebelum ada kejelasan siapa pihak yang bertanggung jawab terhadap semburan lumpur lapindo, penjualan LBI haram dilakukan.
Selain itu juga terungkap bawah bos Freehold merupakan kawan Aburizal Bakrie, bos kelumpok usaha Bakrie, termasuk ENRG. Alhasil, penjualan itu juga masih memiliki konflik kepentingan seperti halnya dengan penjualan kepada Lytte, perusahaan yang juga masih memiliki kaitan dengan Bakrie.
Lapindo Brantas kini kembali jadi buah bibir, usai Badan Geologi Kementerian ESDM menemukan kandungan rare earth atau logam tanah jarang. Jenis logam itu sangat dibutuhkan sejumlah industri strategis, termasuk industri mobil listrik.
Logam ini disebut sebagai harta karun dunia karena diburu sejumlah industri dan memiliki harga yang fantastis. Untuk jenis tertentu harganya mencapai USD178.378 per metrik ton. Bandingkan dengan harga batu bara yang hanya USD200 per metrik ton.
Hebatnya, meski pernah bermasalah, Lapindo Brantas Inc resmi mengelola kembali Blok Brantas di Jawa Timur. Kontrak bagi hasil gross split untuk wilayah kerja minyak dan gas bumi Brantas ditandatangani Agustus 2018). Kontrak baru itu akan berlaku selama 20 tahun, efektif mulai April 2020.
Juni 2019, ketika pemerintah menagih utang Lapindo Rp773,382 miliar, perusahaan ini justru menagih balik utang kepada pemerintah. Tak tanggung-tanggung utang yang ditagih LBI kepada pemerintah besarnya lebih dari dua kali lipat, Rp1,9 triliun.
Menurut pihak LBI, utang pemerintah itu berasal dari dana talangan kepada pemerintah melalui aset kedua perusahaan. Piutang tersebut diklaim juga telah diketahui oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) saat melakukan audit keuangan kepada kedua perusahaan tersebut pada Juni 2018.
LBI sendiri berutang kepada pemerintah karena adanya pinjaman yang diberikan pemerintah kepada perusahaan itu untuk melunasi pembelian tanah dan bangunan warga terdampak luapan lumpur lapindo yang diteken 10 Juli 2015. Pemerintah sendiri sudah memberikan dana talangan untuk LBI lebih dari Rp11 triliun sejak 2006 hingga 2017.
Jauh sebelum itu, LBI juga kerap mengundang kontroversi. Setelah gagal dijual kepada Lyte Limited seharga USD2 atau Rp18.400 (kurs kala itu), PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) sebagai pemilik Lapindo Brantas Inc, terus mencari siasat lain untuk membuang perusahaan pembuat malapetaka itu.
Pada 14 November 2006, ENRG mengumumkan bahwa mereka telah menjual Lapindo Brantas Inc kepada Freehold Group Limited (FGL) senilai USD1 juta. Freehold adalah perusahaan milik warga Amerika Serikat yang berkedudukan di British Virgin Island.
"ENRG telah memutuskan mendivestasi kepemilik ENRG di Kalila Energy Ltd dan Pan Asia Enterprise Ltd yang keduanya memiliki saham 100 persen saham LBI kepada Freehold Group Limited, pihak ketiga yang tidak terafiliasi dengan kelompok usaha Bakrie," kata Direktur ENRG Norman Harahap ketika itu, seperti dikutip dari Antara.
Tak dinyana. Selang berapa hari kemudian, penjualan itu juga mengalami kegagalan. Pada 28 November 2006, lewat keterbukaan informasi BEJ (sekarang BEI), ENRG mengumumkan pembatalan penjualan itu.
Pemicunya, otoritas pasar modal kala itu, Bappepam-LK, merasa dilangkahi karena penjualan itu tanpa seizin mereka. Apalagi, otoritas juga menegaskan, sebelum ada kejelasan siapa pihak yang bertanggung jawab terhadap semburan lumpur lapindo, penjualan LBI haram dilakukan.
Selain itu juga terungkap bawah bos Freehold merupakan kawan Aburizal Bakrie, bos kelumpok usaha Bakrie, termasuk ENRG. Alhasil, penjualan itu juga masih memiliki konflik kepentingan seperti halnya dengan penjualan kepada Lytte, perusahaan yang juga masih memiliki kaitan dengan Bakrie.
Lapindo Brantas kini kembali jadi buah bibir, usai Badan Geologi Kementerian ESDM menemukan kandungan rare earth atau logam tanah jarang. Jenis logam itu sangat dibutuhkan sejumlah industri strategis, termasuk industri mobil listrik.
Logam ini disebut sebagai harta karun dunia karena diburu sejumlah industri dan memiliki harga yang fantastis. Untuk jenis tertentu harganya mencapai USD178.378 per metrik ton. Bandingkan dengan harga batu bara yang hanya USD200 per metrik ton.
Hebatnya, meski pernah bermasalah, Lapindo Brantas Inc resmi mengelola kembali Blok Brantas di Jawa Timur. Kontrak bagi hasil gross split untuk wilayah kerja minyak dan gas bumi Brantas ditandatangani Agustus 2018). Kontrak baru itu akan berlaku selama 20 tahun, efektif mulai April 2020.
(uka)