Nicke Dirut Pertamina, Pengamat: Indikasi Endorsement Politik Lebih Kuat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT Pertamina (Persero) resmi mengangkat kembali Nicke Widyawati sebagai direktur utama (dirut) BUMN migas tersebut. Namun, Pengangkatan kembali Nicke ini dinilai tidak sesuai dengan apa yang digaungkan Menteri BUMN Erick Thohir selama ini.
Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Fahmy Radhi menilai pengangkatan kembali Nicke Widyawati menguatkan indikasi bahwa endorsement kekuatan politik lebih besar ketimbang penilaian kerja. (Baca juga: Nicke Kembali Pimpin Pertamina, Direksi Dipangkas Separuh)
"Pengangkatan kembali Nicke sebagai dirut Pertamina lebih didasarkan pada kekuatan endorsers, bukan didasarkan atas kriteria dan kinerja terukur," ujar Fahmy Radhi saat berbincang dengan SINDO Media, di Jakarta, Jumat (12/6/2020).
(Baca Juga: Erick Thohir Akui Terima Banyak Masukan Nama Calon Dirut Pertamina)
Menurut dia, selama menjabat sebagai dirut, kinerja Nicke cenderung jeblok. Indikatornya, perolehan laba yang dicatatkan sebagian besar berasal dari dana kompensasi dari pemerintah, bukan dari pendapatan usaha. Selain itu, Nicke juga dinilainya gagal dalam menaikkan lifting minyak dari sumur-sumur yang dikelola Pertamina.
Bahkan, di sumur terminasi, Blok Madura Offshore dan Blok Mahakam, produksinya semakin menurun saat diambil alih oleh Pertamina. Padahal peningkatan lifting itu sangat dibutuhkan untuk menekan defisit neraca migas, yang semakin membengkak.
Di sisi lain, sambung dia, Nicke juga tak banyak menunjukkan hasil dalam melaksanakan program pembangunan kilang minyak. Menurut dia, dari 5 kilang minyak yang direncanakan hampir tidak ada progress berarti, bahkan mengalami kemunduran. (Baca juga: Erick Thohir: Nicke Masih Pilihan Terbaik untuk Dirut Pertamina)
"Seperti misalnya kerja sama Pertamina dan Aramco untuk pengembangan Kilang Cilacap justru berakhir sebelum dimulai. Demikian juga dengan Kilang Bontang, kerja sama Pertamina dengan OOG Oman, juga kandas di tengah jalan," paparnya.
Padahal, imbuhnya, pembangunan kilang merupakan perintah Presiden Joko Widodo sejak periode pertama, tetapi tidak menunjukkan progress signifikan.
Selain itu, Nicke juga dianggap tidak adil terhadap masyarakat pengguna bahan bakar minyak (BBM). Pasalnya, saat harga minyak dunia naik, Pertamina dengan sigap menaikkan harga BBM tapi pada saat harga minyak dunia terpuruk Pertamina tidak menurunkan harga BBM. "Dengan kinerja itu, pengangkatan kembali Nicke menjadi preseden buruk bagi Pertamina," cetusnya.
Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Fahmy Radhi menilai pengangkatan kembali Nicke Widyawati menguatkan indikasi bahwa endorsement kekuatan politik lebih besar ketimbang penilaian kerja. (Baca juga: Nicke Kembali Pimpin Pertamina, Direksi Dipangkas Separuh)
"Pengangkatan kembali Nicke sebagai dirut Pertamina lebih didasarkan pada kekuatan endorsers, bukan didasarkan atas kriteria dan kinerja terukur," ujar Fahmy Radhi saat berbincang dengan SINDO Media, di Jakarta, Jumat (12/6/2020).
(Baca Juga: Erick Thohir Akui Terima Banyak Masukan Nama Calon Dirut Pertamina)
Menurut dia, selama menjabat sebagai dirut, kinerja Nicke cenderung jeblok. Indikatornya, perolehan laba yang dicatatkan sebagian besar berasal dari dana kompensasi dari pemerintah, bukan dari pendapatan usaha. Selain itu, Nicke juga dinilainya gagal dalam menaikkan lifting minyak dari sumur-sumur yang dikelola Pertamina.
Bahkan, di sumur terminasi, Blok Madura Offshore dan Blok Mahakam, produksinya semakin menurun saat diambil alih oleh Pertamina. Padahal peningkatan lifting itu sangat dibutuhkan untuk menekan defisit neraca migas, yang semakin membengkak.
Di sisi lain, sambung dia, Nicke juga tak banyak menunjukkan hasil dalam melaksanakan program pembangunan kilang minyak. Menurut dia, dari 5 kilang minyak yang direncanakan hampir tidak ada progress berarti, bahkan mengalami kemunduran. (Baca juga: Erick Thohir: Nicke Masih Pilihan Terbaik untuk Dirut Pertamina)
"Seperti misalnya kerja sama Pertamina dan Aramco untuk pengembangan Kilang Cilacap justru berakhir sebelum dimulai. Demikian juga dengan Kilang Bontang, kerja sama Pertamina dengan OOG Oman, juga kandas di tengah jalan," paparnya.
Padahal, imbuhnya, pembangunan kilang merupakan perintah Presiden Joko Widodo sejak periode pertama, tetapi tidak menunjukkan progress signifikan.
Selain itu, Nicke juga dianggap tidak adil terhadap masyarakat pengguna bahan bakar minyak (BBM). Pasalnya, saat harga minyak dunia naik, Pertamina dengan sigap menaikkan harga BBM tapi pada saat harga minyak dunia terpuruk Pertamina tidak menurunkan harga BBM. "Dengan kinerja itu, pengangkatan kembali Nicke menjadi preseden buruk bagi Pertamina," cetusnya.
(fjo)