Harga Minyak Meroket, Pengamat: Naikkan BBM secara Selektif, Tapi Jangan Pertalite

Senin, 07 Maret 2022 - 09:38 WIB
loading...
Harga Minyak Meroket,...
Pemerintah memutuskan harga Pertalite dalam 5-6 bulan ke depan tidak akan naik. FOTO/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Harga minyak mentah dunia belakangan ini terus melonjak akibat efek invasi Rusia ke Ukraina dan naiknya permintaan seiring dengan pemulihan ekonomi global. Di tengah situasi ini, keputusan pemerintah dan Pertamina menahan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite dinilai sangat positif.

Sebelumnya, Deputi III Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Montty Girianna dalam diskusi virtual menegaskan bahwa harga Pertalite dalam 5-6 bulan ke depan tidak akan naik. Keputusan itu diambil kendati harga jual Pertalite saat ini lebih rendah dibandingkan harga keekonomiannya.

"Kebijakan menahan harga jual Pertalite ini merupakan bentuk kepedulian pemerintah dan Pertamina dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang masih tertekan akibat kenaikan harga-harga dan kelangkaan beberapa komoditas kebutuhan pokok," ungkap Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, Senin (7/2/2022).



Pergerakan harga minyak dunia sejatinya menempatkan harga keekonomian Pertalite di atas Rp10.000 per liter. Namun, Pertamina hingga kini masih menjual Pertalite dan Pertamax masing-masing di harga Rp7.650 per liter dan Rp9.000 per liter. Pertalite dan Pertamax saat ini merupakan BBM yang paling banyak dikonsumsi secara nasional.

Perusahaan energi pelat merah itu pada awal Maret tercatat hanya menaikkan harga BBM jenis Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamina Dex, mengikuti naiknya harga minyak mentah dunia. Menurut Komaidi, dinaikkannya harga BBM secara selektif itu merupakan keputusan tepat dan cermat untuk mengurangi beban APBN, tanpa memicu inflasi dan memperburuk daya beli rakyat.

Lebih lanjut, Komaidi mengatakan bahwa saat ini sulit memprediksikan puncak harga minyak dunia. Pasalnya, faktor pendorong kenaikan harga minyak saat ini lebih pada psikologis. "Dasar pengambilan keputusan bukan pada ukuran fundamental ekonomi tetapi lebih pada faktor kepanikan jika dalam konteks perang," ujarnya.

Doktor ekonomi lulusan Universitas Trisakti itu menambahkan jika kepanikan terus meluas dan masif, harga minyak akan dengan mudah melampaui level USD120 per barel. Bahkan, katanya, ada potensi harga komoditas ini menyentuh angka USD150 per barel.

Sementara, kata dia, Indonesia sebagai pricetaker tidak memiliki kemampuan untuk mengintervensi harga minyak sehingga berapa pun angka yang terbentuk harus tetap diambil. Menurut dia, dalam hal ini tentu ada risiko fiskal dan moneter terkait dengan harga jual BBM yang akan menyertai fenomena tersebut "Dalam jangka pendek Indonesia relatif tidak memiliki pilihan," tandasnya.

Dalam situasi harga minyak dunia seperti saat ini, kata dia, adalah wajar jika Pertamina atau badan usaha lain menyesuikan harga BBM nonsubsidi. Terlebih, keputusan menaikkan harga BBM dengan nilai RON tinggi serta LPG nonsubsidi merupakan kewenangan badan usaha.

Namun, imbuh Komaidi, bagi Pertamina keputusan untuk menentukan harga Pertalite dan Pertamax yang merupakan produk nonsubsidi relatif sulit karena perusahaan harus mendapat restu dari pemegang saham yakni pemerintah. "Jika pemegang saham belum memberi restu saya kira Pertamina tidak dapat melakukan aksi korporasi dalam bentuk penyesuaian harga BBM," katanya.

Dalam perspektif pemisahan administrasi negara dan administrasi usaha, lanjut dia, hal tersebut sebenarnya merupakan praktik yang tidak baik. Pemberian subsidi merupakan wilayah administrasi negara sehingga menjadi tanggung jawab pemerintah bukan badan usaha. Sedangkan tugas Pertamina sebagai badan usaha adalah mencari keuntungan untuk kemudian dikembalikan kepada seluruh rakyat Indonesia.

"Perlu ada penataan ulang mengenai pembagian peran tersebut. Menurut saya tugas melindungi daya beli masyarakat bukan menjadi tupoksi Pertamina tetapi domain negara yang dalam hal ini dilaksanakan oleh pemerintah," ucapnya.

Menurut Komaidi, pemerintah dan Pertamina perlu lebih proporsional dalam mengambil kebijakan. Dia mencontohkan BBM dengan RON 90 merupakan nonsubsidi yang tidak diberikan subsidi di APBN. Maka, semua pihak yang terkait dengan penentuan harga perlu konsisten jika BBM dengan kategori nonsubsidi, pemerintah tidak bisa menetapkan harganya karena harus mengacu pada mekanisme pasar.

"Maksimal yang dapat dilakukan adalah menetapkan batasan harga tertinggi dan harga terendah untuk melindungi kepentingan produsen dan konsumen. Jika, memang tidak dibolehkan untuk disesuaikan harganya saya kira perlu konsisten saja yaitu dijadikan RON 90 sebagai BBM subsidi," katanya.

Sementara, pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan, sebagai negara net importer Indonesia sangat dirugikan dengan kenaikan harga minyak dunia saat ini yang telah mencapai USD110 per barel. Kenaikan harga minyak tersebut akan sangat memberatkan berban APBN.

"Beban APBN itu untuk memberikan kompensasi pada saat Pertamina menjual BBM di bawah harga keekonomian. Kalau tidak ada kenaikkan harga BBM di dalam negeri beban APBN semakin berat," katanya.

Kendati demikian, ujar dia, apabila ada kebijakan kenaikan harga hal itu dilematis bagi Pemerintah. Pasalnya, kenaikan harga BBM berpontensi menaikkan inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat. Maka, pada saat harga minyak dunia di atas USD100 per barel, Fahmy menilai pemerintah perlu naikkan harga BBM secara selektif. "Naikkan harga Pertamax dan hapus Premium, tapi jangan naikkan harga Pertalite," kata dia.



Fahmy menilai, kenaikan harga Pertamax tidak akan berpengaruh terhadap inflasi dan tidak menurunkan daya beli masyarakat. Alasannya, proporsi konsumsi masih relatif kecil dan Pertamax tidak digunakan untuk tranportasi umum sehingga tidak secara langsung menaikkan biaya distribusi yang memicu kenaikan harga-harga kebutuhan pokok yang memicu inflasi dan memperpuruk daya beli rakyat.

Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman sebelumnya mengatakan, Pertamina terus mencermati kenaikan harga minyak mentah dunia dan dampak-dampak strategisnya. "Yang pasti, Pertamina akan terus menjaga pasokan dan menjamin distribusi BBM dan LPG nasional di tengah tantangan harga minyak mentah dunia yang terus melambung," tandasnya.

(nng)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1694 seconds (0.1#10.140)