INGTA Gelar FGD Harmonisasi Aturan Kegiatan Usaha Niaga Gas Bumi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Asosiasi Perdagangan Gas Alam Indonesia (Indonesian Natural Gas Trader Association/INGTA)menyelenggarakan forum group discussion (FGD) terkait harmonisasi peraturan perundangan gas bumi (HPPGB). Dalam acara yang digelar di Bali pada Kamis (24/3) itu, dibahas beberapa peraturan perundangan yang terkait dengan kegiatan usaha niaga dan pengangkutan gas bumi.
"Ditengarai bahwa beberapa peraturan perundangan dianggap tumpang tindih," ungkap Ketua Umum INGTA Eddy Asmanto dalam siaran pers, Selasa (29/3/2022).
Dia mencontohkan Permen ESDM No 06/2016 dimana salah satu isinya adalah melarang terjadinya trading bertingkat karena disinyalir menjadi salah satu penyebab tingginya harga jual gas bumi yang dibeli oleh konsumen akhir. Sementara, pada Permen ESDM No. 58/2017, harga jual gas bumi diatur dan dibatasi oleh pemerintah melalui formula harga tertentu, dimana biaya niaga gas dibatasi sebesar 7% dari harga gas hulu, ditambah 11% IRR pengembalian investasi.
"Hal tersebut menjadi tumpang tindih karena tujuan untuk mengurangi harga gas sudah dapat diwujudkan dari Permen No. 58/2017 tersebut meskipun trading bertingkat tetap diperbolehkan," jelasnya.
Trading bertingkat dirasa masih diperlukan diantara para trader guna mengatasi kesulitan dalam penyaluran gas bumi, karena semakin sulitnya mendapatkan pasokan, kesiapan dalam penyaluran gas, dinamika konsumen akhir, serta optimalisasi infrastruktur yang sudah ada saat ini. Tentunya, kata Eddy, hal ini harus dibatasi dengan beberapa ketentuan seperti kewajiban para trader untuk memiliki faslitas penyaluran gas bumi sendiri.
Masih terkait dengan Permen 6/2016, lanjut dia, pada Permen tersebut juga diatur mengenai alokasi gas bumi kepada BUMN, BUMD dan badan usaha swasta. Hal ini juga tumpang tindih dengan Permen ESDM No. 4/2018 yang mengatur alokasi gas bumi melalui mekanisme lelang Wilayah Jaringan Distribusi (WJG) dan Wilayah Niaga Tertentu (WNT).
Eddy menambahkan, pada FGD tersebut juga dibahas mengenai aturan PBPH No. 34 yang dianggap masih perlu disesuaikan dengan kondisi sekarang. Tingginya biaya pengangkutan (toll fee) di beberapa ruas pipa open acces disinyalir menjadi salah satu pemicu tingginya harga gas bumi.
Padahal, kata dia, banyak ruas pipa saat ini merupakan pipa yang dibangun dan beroperasi sejak lama dan sudah melewati masa depresiasinya. "Sehingga seyogianya apabila mengikuti formula toll fee dari BPH Migas, fee tersebut seharusnya jauh lebih kecil," katanya.
Ditambah lagi adanya beberapa biaya-biaya tambahan di luar toll fee yang seharusnya sudah menjadi bagian dari toll fee tersebut. Sebut saja biaya sewa lahan yang dipatok sangat tinggi berdasarkan nilai NJOP lahan tersebut.
Padahal, jika mengikuti ketentuan yang dikeluarkan oleh DJKN, tarif pokok sewa BMN (Barang Milik Negara) berupa tanah dan/atau bangunan merupakan nilai wajar atas sewa, sehingga apabila dibandingan sangat jauh dengan tarif sewa lahan yang dipatok oleh BUMN hingga sampai 60% per tahun dari harga NJOP.
"Belum lagi adanya biaya Operational & Maintenance, discrepancy dan sebagainya yang juga ditagihkan terpisah dari toll fee," imbuhnya.
Melalui FGD yang dihadiri oleh seluruh anggota INGTA tersebut, jelas Eddy, diharapkan tumpang tindih peraturan itu bisa segera ditindaklanjuti oleh pihak terkait. Dengan demikian, karut marut usaha niaga gas dapat diperbaiki.
Turut hadir pada acara tersebut narasumber dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Direktorat Pembinaan Usaha Hilir Migas dan juga Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas).
"Ditengarai bahwa beberapa peraturan perundangan dianggap tumpang tindih," ungkap Ketua Umum INGTA Eddy Asmanto dalam siaran pers, Selasa (29/3/2022).
Dia mencontohkan Permen ESDM No 06/2016 dimana salah satu isinya adalah melarang terjadinya trading bertingkat karena disinyalir menjadi salah satu penyebab tingginya harga jual gas bumi yang dibeli oleh konsumen akhir. Sementara, pada Permen ESDM No. 58/2017, harga jual gas bumi diatur dan dibatasi oleh pemerintah melalui formula harga tertentu, dimana biaya niaga gas dibatasi sebesar 7% dari harga gas hulu, ditambah 11% IRR pengembalian investasi.
"Hal tersebut menjadi tumpang tindih karena tujuan untuk mengurangi harga gas sudah dapat diwujudkan dari Permen No. 58/2017 tersebut meskipun trading bertingkat tetap diperbolehkan," jelasnya.
Trading bertingkat dirasa masih diperlukan diantara para trader guna mengatasi kesulitan dalam penyaluran gas bumi, karena semakin sulitnya mendapatkan pasokan, kesiapan dalam penyaluran gas, dinamika konsumen akhir, serta optimalisasi infrastruktur yang sudah ada saat ini. Tentunya, kata Eddy, hal ini harus dibatasi dengan beberapa ketentuan seperti kewajiban para trader untuk memiliki faslitas penyaluran gas bumi sendiri.
Masih terkait dengan Permen 6/2016, lanjut dia, pada Permen tersebut juga diatur mengenai alokasi gas bumi kepada BUMN, BUMD dan badan usaha swasta. Hal ini juga tumpang tindih dengan Permen ESDM No. 4/2018 yang mengatur alokasi gas bumi melalui mekanisme lelang Wilayah Jaringan Distribusi (WJG) dan Wilayah Niaga Tertentu (WNT).
Eddy menambahkan, pada FGD tersebut juga dibahas mengenai aturan PBPH No. 34 yang dianggap masih perlu disesuaikan dengan kondisi sekarang. Tingginya biaya pengangkutan (toll fee) di beberapa ruas pipa open acces disinyalir menjadi salah satu pemicu tingginya harga gas bumi.
Padahal, kata dia, banyak ruas pipa saat ini merupakan pipa yang dibangun dan beroperasi sejak lama dan sudah melewati masa depresiasinya. "Sehingga seyogianya apabila mengikuti formula toll fee dari BPH Migas, fee tersebut seharusnya jauh lebih kecil," katanya.
Ditambah lagi adanya beberapa biaya-biaya tambahan di luar toll fee yang seharusnya sudah menjadi bagian dari toll fee tersebut. Sebut saja biaya sewa lahan yang dipatok sangat tinggi berdasarkan nilai NJOP lahan tersebut.
Padahal, jika mengikuti ketentuan yang dikeluarkan oleh DJKN, tarif pokok sewa BMN (Barang Milik Negara) berupa tanah dan/atau bangunan merupakan nilai wajar atas sewa, sehingga apabila dibandingan sangat jauh dengan tarif sewa lahan yang dipatok oleh BUMN hingga sampai 60% per tahun dari harga NJOP.
"Belum lagi adanya biaya Operational & Maintenance, discrepancy dan sebagainya yang juga ditagihkan terpisah dari toll fee," imbuhnya.
Melalui FGD yang dihadiri oleh seluruh anggota INGTA tersebut, jelas Eddy, diharapkan tumpang tindih peraturan itu bisa segera ditindaklanjuti oleh pihak terkait. Dengan demikian, karut marut usaha niaga gas dapat diperbaiki.
Turut hadir pada acara tersebut narasumber dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Direktorat Pembinaan Usaha Hilir Migas dan juga Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas).
(fai)