Harga BBM RI Seharusnya Lebih Murah? Ekonom Ini Bongkar Faktanya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Setelah sekian lama, masyarakat Indonesia awal bulan April ini dihadapkan pada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) non subsidi jenis Pertamax RON 92 seiring melonjaknya harga minyak dunia di atas USD100 per barel. Beragam reaksi lantas muncul mengiringi kenaikan tersebut, sebagian maklum dan lainnya sulit menerima.
Bahkan, muncul klaim yang menyebutkan bahwa harga BBM harusnya tak semahal itu. Ada yang membandingkan dengan harga BBM subsidi di Negeri Jiran yang lebih murah. Belakangan, muncul pula klaim bahwa harga Pertamax yang kini dijual Rp12.500 per liter, seharusnya hanya Rp3.772 per liter, tanpa memperhitungkan pajak.
Menyikapi hal tersebut, dalam sebuah diskusi bersama media, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro membedah fakta-faktanya. Menurut Komaidi, komponen penyusun harga BBM secara umum adalah harga minyak mentah, biaya kilang, biaya distribusi, pajak dan margin usaha.
"Jadi itu dulu yang harus dipahami. Komponen-komponen itu tentu akan berbeda-beda di setiap negara," tuturnya, Selasa (19/4/2022).
Menurut Komaidi, anggapan bahwa harga BBM harusnya murah kemungkinan berangkat dari kenangan bahwa di tahun 1980-an Indonesia kaya minyak dan harga bahan bakar pun murah. Saat itu, kata dia, Indonesia memang mampu memproduksi minyak sekitar 1,1 juta barel per hari (bph), dengan konsumsi dalam negeri di bawah 400 ribu.
"Sehingga saat itu kita mampu mengekspor minyak, makanya Indonesia masuk dalam OPEC. Rupanya, kenangan itu masih sulit terhapus hingga saat ini," ujar Doktor Ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trisakti itu.
Sementara saat ini, kenyataannya produksi minyak Indonesia hanya sekitar 700 ribu bph. Sedangkan konsumsinya mencapai 1,6 juta bph. "Alhasil, kita sekarang ini adalah net importer, dan karena itu sejak 2008 kita bukan lagi anggota OPEC," jelasnya.
Komaidi menambahkan, dengan status sebagai negara pengimpor, kenaikan harga minyak di pasar global jelas sangat memengaruhi harga BBM di dalam negeri. Hanya saja, kata dia, selama ini pemerintah dengan berbagai pertimbangan menjaga harga BBM melalui skema subsidi.
Tetapi, seiring harga minyak yang semakin tinggi dan konsumsi yang semakin besar, subsidi pun makin membebani. Karena itu, kata dia, harga BBM harus disesuaikan demi menjaga kemampuan fiskal. Belum lama ini, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif memperkirakan, jika harga minyak bertahan di level saat ini, subsidi BBM dan LPG berpotensi bengkak menjadi Rp320 triliun.
Terkait klaim bahwa harga BBM seharusnya jauh murah yang beredar di media sosial, Komaidi mengatakan bahwa asumsi yang digunakan salah kaprah. Klaim yang beredar adalah bahwa harga Pertamax tanpa pajak seharusnya hanya Rp3.772 per liter, karena biaya produksi minyak mentah Pertamina hanya Rp1.772 per liter.
Menurut Komaidi, klaim itu muncul dari biaya produksi minyak mentah sebesar USD19,5 per barel dari salah satu lapangan Pertamina, bukan harga jual minyak mentah. Padahal, kata dia, acuannya sudah jelas, yakni Indonesia Crude Price (ICP) yang per Maret 2022 adalah USD113 per barel.
"Tidak semua produksi minyak mentah nasional berasal dari lapangan Pertamina. Sebagian adalah produksi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dan lainnya dari impor. Semuanya itu mesti dibeli Pertamina dengan harga market sehingga biaya produksi BBM akan meningkat seiring kenaikan harga minyak mentah global," tandasnya.
Selanjutnya, kalaupun tidak memperhitungkan pajak, Komaidi mengingatkan bahwa distribusi BBM di Indonesia sangat kompleks terkait kondisi geografisnya sebagai negara kepulauan. Dari sisi itu saja, kata dia, biaya BBM Indonesia akan lebih mahal.Untuk diketahui, saat ini badan usaha swasta menjual BBM dengan RON 92 (setara Pertamax) bervariasi dari Rp12.900 hingga Rp16.500 per liter, atau di atas harga jual Pertamina yang sebesar Rp12.500 per liter.
"Logikanya sederhana saja, kalau memang harga BBM semurah seperti klaim itu, silakan bikin perusahaan dan jual di harga tersebut, pasti untung karena paling murah! Regulasinya terbuka kok kalau ada badan usaha yang mau masuk ke bisnis BBM," tuturnya.
Bahkan, muncul klaim yang menyebutkan bahwa harga BBM harusnya tak semahal itu. Ada yang membandingkan dengan harga BBM subsidi di Negeri Jiran yang lebih murah. Belakangan, muncul pula klaim bahwa harga Pertamax yang kini dijual Rp12.500 per liter, seharusnya hanya Rp3.772 per liter, tanpa memperhitungkan pajak.
Menyikapi hal tersebut, dalam sebuah diskusi bersama media, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro membedah fakta-faktanya. Menurut Komaidi, komponen penyusun harga BBM secara umum adalah harga minyak mentah, biaya kilang, biaya distribusi, pajak dan margin usaha.
"Jadi itu dulu yang harus dipahami. Komponen-komponen itu tentu akan berbeda-beda di setiap negara," tuturnya, Selasa (19/4/2022).
Menurut Komaidi, anggapan bahwa harga BBM harusnya murah kemungkinan berangkat dari kenangan bahwa di tahun 1980-an Indonesia kaya minyak dan harga bahan bakar pun murah. Saat itu, kata dia, Indonesia memang mampu memproduksi minyak sekitar 1,1 juta barel per hari (bph), dengan konsumsi dalam negeri di bawah 400 ribu.
"Sehingga saat itu kita mampu mengekspor minyak, makanya Indonesia masuk dalam OPEC. Rupanya, kenangan itu masih sulit terhapus hingga saat ini," ujar Doktor Ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trisakti itu.
Sementara saat ini, kenyataannya produksi minyak Indonesia hanya sekitar 700 ribu bph. Sedangkan konsumsinya mencapai 1,6 juta bph. "Alhasil, kita sekarang ini adalah net importer, dan karena itu sejak 2008 kita bukan lagi anggota OPEC," jelasnya.
Komaidi menambahkan, dengan status sebagai negara pengimpor, kenaikan harga minyak di pasar global jelas sangat memengaruhi harga BBM di dalam negeri. Hanya saja, kata dia, selama ini pemerintah dengan berbagai pertimbangan menjaga harga BBM melalui skema subsidi.
Tetapi, seiring harga minyak yang semakin tinggi dan konsumsi yang semakin besar, subsidi pun makin membebani. Karena itu, kata dia, harga BBM harus disesuaikan demi menjaga kemampuan fiskal. Belum lama ini, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif memperkirakan, jika harga minyak bertahan di level saat ini, subsidi BBM dan LPG berpotensi bengkak menjadi Rp320 triliun.
Terkait klaim bahwa harga BBM seharusnya jauh murah yang beredar di media sosial, Komaidi mengatakan bahwa asumsi yang digunakan salah kaprah. Klaim yang beredar adalah bahwa harga Pertamax tanpa pajak seharusnya hanya Rp3.772 per liter, karena biaya produksi minyak mentah Pertamina hanya Rp1.772 per liter.
Menurut Komaidi, klaim itu muncul dari biaya produksi minyak mentah sebesar USD19,5 per barel dari salah satu lapangan Pertamina, bukan harga jual minyak mentah. Padahal, kata dia, acuannya sudah jelas, yakni Indonesia Crude Price (ICP) yang per Maret 2022 adalah USD113 per barel.
"Tidak semua produksi minyak mentah nasional berasal dari lapangan Pertamina. Sebagian adalah produksi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dan lainnya dari impor. Semuanya itu mesti dibeli Pertamina dengan harga market sehingga biaya produksi BBM akan meningkat seiring kenaikan harga minyak mentah global," tandasnya.
Selanjutnya, kalaupun tidak memperhitungkan pajak, Komaidi mengingatkan bahwa distribusi BBM di Indonesia sangat kompleks terkait kondisi geografisnya sebagai negara kepulauan. Dari sisi itu saja, kata dia, biaya BBM Indonesia akan lebih mahal.Untuk diketahui, saat ini badan usaha swasta menjual BBM dengan RON 92 (setara Pertamax) bervariasi dari Rp12.900 hingga Rp16.500 per liter, atau di atas harga jual Pertamina yang sebesar Rp12.500 per liter.
"Logikanya sederhana saja, kalau memang harga BBM semurah seperti klaim itu, silakan bikin perusahaan dan jual di harga tersebut, pasti untung karena paling murah! Regulasinya terbuka kok kalau ada badan usaha yang mau masuk ke bisnis BBM," tuturnya.
(fai)