Industri Influencer Marketing RI Senilai Rp14 Triliun Masih Didominasi Kalangan Atas
loading...
A
A
A
JAKARTA - Influencer Marketing Hub (2022) memperkirakan total nilai pasar influencer marketing di dunia mencapai USD104 miliar atau setara dengan Rp1.493 triliun (Kurs Rp14.359 per USD) pada 2022. Sementara, nilai bisnis industri influencer marketing di Indonesia sekitar Rp14 triliun.
Sayangnya nominal tersebut tidak terbagi rata baut setiap segmen lantaran influencer atau konten kreator kalangan atas masih mendominasi pembagian kue di industri ini. Makanya, harus upaya-upaya tertentu agar influencer kalangan bawah bisa sedikit menikmatinya.
Salah satunya yang dilakukan oleh CUIT Indonesia. Startup yang berusaha memberikan kesempatan kepada influencer ataupun konten kreator kalangan bawah ini menyatakan bahwa teknologi memungkinkan pemerataan pendapatan di industri influencer marketing.
Menurut Jennifer Ang, founder CUIT Indonesia, influencer kalangan bawah atau yang lazim disebut dengan hyper micro influencer (memiliki followers di bawah 10 ribu) mempunyai kelebihan, yakni, persona yang menarik. Influencer di kategori ini mempunyai ciri khas yang unik, ekspresif, dan asli. Hasil postingan mereka pun mempunyai kategori yang beragam mulai dari kuliner, fesyen, musik, game, dan sebagainya, bahkan pertanian.
"Tapi memang selama belum banyak dilirik oleh merek atau brand, mereka belum mendapat kesempatan banyak untuk mengakses kue industri influencer marketing,” kata Jennifer, Rabu (27/4/2022).
Dengan persona unik orang-orang biasa, hyper micro influencer ini, menurut Jennifer, sebenarnya terdapat banyak opsi bagi brand untuk bekerja sama dalam kegiatan marketing sesuai kebutuhannya. Namun, untuk bisa memungkinkan kerja sama tersebut, brand perlu mendapat dukungan data yang akurat terkait hyper micro influencer sehingga bisa melakukan proses seleksi yang tepat dalam kegiatan influencer marketing mereka.
Jennifer Ang, founder CUIT Indonesia
Dukungan data sangat penting untuk menemukan solusi sehingga menghasilkan simbiosis mutualisme antara brand dan hyper micro influencer.
"Dan teknologi memungkinkan untuk menghasilkan data yang akurat sebagai bahan pertimbangan bagi brand untuk optimasi dana marketing mereka,” jelas Jennifer.
Bayangkan jika nominal Rp14 triliun di industri influencer marketing ini juga diperoleh oleh kalangan bawah, maka akan terjadi pemerataan pendapatan di Indonesia.
Data Statista menunjukkan jumlah pengguna sosial media di Indonesia sebanyak 204 juta jiwa dari total populasi pada tahun 2022. Dan akan mengalami kenaikan menuju angka 236 juta jiwa pada tahun 2026. Pengguna medsos sebanyak itu menjadikan Indonesia masuk dalam 10 besar negara di dunia yang kecanduan sosial media.
Tren jumlah pengguna medsos yang terus meningkat itu juga terjadi di seluruh dunia dan telah diadopsi oleh pemilik brand dengan spending iklan influencer marketing (medsos) yang terus meningkat.
Ekonom Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira, mengatakan penetrasi digital yang makin masif tersebut ternyata justru membuat jurang ketimpangan makin lebar.
Bhima mengutip hasil survey dari Bank Dunia yang menemukan bahwa penetrasi digital di era pandemi hanya memberi kenaikan pendapatan untuk kalangan bawah sebesar 1%, sedangkan bagi kalangan atas kenaikan pendapatan jauh di angka 24%.
"Isu kita bukan hanya soal seberapa cepat ekonomi Indonesia pulih, tetapi isu yang lebih fundamental lagi adalah ternyata pascapandemi ini ketimpangan semakin melebar. Yang kaya tambah kaya, yang miskin tambah miskin. Ini menjadi salah satu isu karena digitalisasi,” kata Bhima Yudhistira dalam webinar bertajuk "Masihkan Pandemi Akan Mengganggu Pertumbuhan Ekonomi 2022", beberapa waktu lalu.
Sayangnya nominal tersebut tidak terbagi rata baut setiap segmen lantaran influencer atau konten kreator kalangan atas masih mendominasi pembagian kue di industri ini. Makanya, harus upaya-upaya tertentu agar influencer kalangan bawah bisa sedikit menikmatinya.
Salah satunya yang dilakukan oleh CUIT Indonesia. Startup yang berusaha memberikan kesempatan kepada influencer ataupun konten kreator kalangan bawah ini menyatakan bahwa teknologi memungkinkan pemerataan pendapatan di industri influencer marketing.
Menurut Jennifer Ang, founder CUIT Indonesia, influencer kalangan bawah atau yang lazim disebut dengan hyper micro influencer (memiliki followers di bawah 10 ribu) mempunyai kelebihan, yakni, persona yang menarik. Influencer di kategori ini mempunyai ciri khas yang unik, ekspresif, dan asli. Hasil postingan mereka pun mempunyai kategori yang beragam mulai dari kuliner, fesyen, musik, game, dan sebagainya, bahkan pertanian.
"Tapi memang selama belum banyak dilirik oleh merek atau brand, mereka belum mendapat kesempatan banyak untuk mengakses kue industri influencer marketing,” kata Jennifer, Rabu (27/4/2022).
Dengan persona unik orang-orang biasa, hyper micro influencer ini, menurut Jennifer, sebenarnya terdapat banyak opsi bagi brand untuk bekerja sama dalam kegiatan marketing sesuai kebutuhannya. Namun, untuk bisa memungkinkan kerja sama tersebut, brand perlu mendapat dukungan data yang akurat terkait hyper micro influencer sehingga bisa melakukan proses seleksi yang tepat dalam kegiatan influencer marketing mereka.
Jennifer Ang, founder CUIT Indonesia
Dukungan data sangat penting untuk menemukan solusi sehingga menghasilkan simbiosis mutualisme antara brand dan hyper micro influencer.
"Dan teknologi memungkinkan untuk menghasilkan data yang akurat sebagai bahan pertimbangan bagi brand untuk optimasi dana marketing mereka,” jelas Jennifer.
Bayangkan jika nominal Rp14 triliun di industri influencer marketing ini juga diperoleh oleh kalangan bawah, maka akan terjadi pemerataan pendapatan di Indonesia.
Data Statista menunjukkan jumlah pengguna sosial media di Indonesia sebanyak 204 juta jiwa dari total populasi pada tahun 2022. Dan akan mengalami kenaikan menuju angka 236 juta jiwa pada tahun 2026. Pengguna medsos sebanyak itu menjadikan Indonesia masuk dalam 10 besar negara di dunia yang kecanduan sosial media.
Tren jumlah pengguna medsos yang terus meningkat itu juga terjadi di seluruh dunia dan telah diadopsi oleh pemilik brand dengan spending iklan influencer marketing (medsos) yang terus meningkat.
Ekonom Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira, mengatakan penetrasi digital yang makin masif tersebut ternyata justru membuat jurang ketimpangan makin lebar.
Bhima mengutip hasil survey dari Bank Dunia yang menemukan bahwa penetrasi digital di era pandemi hanya memberi kenaikan pendapatan untuk kalangan bawah sebesar 1%, sedangkan bagi kalangan atas kenaikan pendapatan jauh di angka 24%.
"Isu kita bukan hanya soal seberapa cepat ekonomi Indonesia pulih, tetapi isu yang lebih fundamental lagi adalah ternyata pascapandemi ini ketimpangan semakin melebar. Yang kaya tambah kaya, yang miskin tambah miskin. Ini menjadi salah satu isu karena digitalisasi,” kata Bhima Yudhistira dalam webinar bertajuk "Masihkan Pandemi Akan Mengganggu Pertumbuhan Ekonomi 2022", beberapa waktu lalu.
(uka)