Tak Dinyana! Lahir di Bekas Kandang Ayam, Pria Ini Kini Kantongi Harta Rp47 Triliun
loading...
A
A
A
JAKARTA - Nasib manusia memang di tangan Yang Maha Kuasa. Tak Seorang pun bisa menduga perjalanan nasib seseorang. Itulah yang terjadi pada Hermanto Tanoko, pendiri dan Group CEO Tancorp Abadi Nusantara yang membawahi perusahaan cat Avian Paint.
Kalau melihat sosok Hermanto sekarang jelas banyak yang tak akan percaya. Pria dengan kekayaan USD3,3 miliar ini atau sekitar Rp47,1 triliun (kurs Rp14.300) dahulunya lahir di sebuah rumah kecil yang pernah dijadikan kandang ayam.
Fakta itu tak bisa dilepaskan dari kondisi keluarganya yang berasal dari kalangan tak berada alias miskin. Hermanto Tanoko pun harus berjuang habis-habisan untuk menghadapi masa-masa sulit bersama keluarganya.
Bermula dari diberlakukannya PP No. 10 Tahun 1960 mengenai larangan bagi orang Tionghoa untuk berdagang eceran di kabupaten ke bawah, kecuali di luar ibu kota daerah. Ditambah lagi, kewajiban mengalihkan usaha mereka kepada warga berkebangsaan Indonesia. Tak pelak, kedua orang tuanya yang masih berstatus WNA pada saat itu harus merelakan usaha, rumah, toko, dan kendaraan yang mereka miliki. Seluruh aset terpaksa dijual dengan harga murah.
Kehidupannya yang kebelangsak membuat keluarganya harus tinggal berpindah-pindah karena tak memiliki tempat tinggal. Pada September 1962, ketika orang tuanya menempati sebuah rumah berukuran kecil yang dahulunya berfungsi sebagai kandang ayam, Hermanto pun lahir. Hunian berlokasi di Kota Malang dengan ukuran 1,5 meter x 9 meter tersebut disewa oleh ayahnya.
Kesusahan yang menyelimuti keluarganya tak menyurutkan tekad sang ayah. Berkat kerja kerasa dan keuletan ayahnya, Hermanto bisa belajar. Sang ayah, Soetikno Tanoko, sempat menjadi petani palawija. Dia harus mengayuh sepeda dari Singosari ke Malang untuk menjual hasil bumi, sedangkan ibunya berjualan pakaian bekas.
Sinar kehidupan mulai menyembul tatkala ayah Hermanto mendirikan usaha kecil dengan membuka toko cat pada 1962 di Malang. Tak mau sang suami berjuang sendirian, ibunya pun membuka toko kelontong dua tahun kemudian.
Usaha cat ini yang mengantarkan Hermanto dan saudaranya sukses. Hermanto yang merupakan anak bungsu dari lima bersaudara ternyata sudah dikenalkan dengan dunia bisnis sejak dini. Sejak usia 5 tahun, angpau yang dia peroleh rutin dibelanjakan untuk membeli beberapa barang dari toko kelontong ibunya yang harganya diperkirakan akan naik seperti terigu, biskuit, telur dan sebagainya.
Sejak saat itu, Hermanto mulai kenal dengan yang namanya investasi. Dia juga diajarkan mengelola bisnia saat berusia 8 tahun dengan membantu ayahnya menjaga toko cat. Bahkan saat usianya menginjak 14 tahun, Hermanto diberikan kepercayaan oleh ayahnya untuk mengelola apotek. Pengetahuan perihal investasi emas juga diajarkan oleh kedua orang tuanya, mulai dari gram hingga 1 kg emas pada usia 15 tahun.
Kalau melihat sosok Hermanto sekarang jelas banyak yang tak akan percaya. Pria dengan kekayaan USD3,3 miliar ini atau sekitar Rp47,1 triliun (kurs Rp14.300) dahulunya lahir di sebuah rumah kecil yang pernah dijadikan kandang ayam.
Fakta itu tak bisa dilepaskan dari kondisi keluarganya yang berasal dari kalangan tak berada alias miskin. Hermanto Tanoko pun harus berjuang habis-habisan untuk menghadapi masa-masa sulit bersama keluarganya.
Bermula dari diberlakukannya PP No. 10 Tahun 1960 mengenai larangan bagi orang Tionghoa untuk berdagang eceran di kabupaten ke bawah, kecuali di luar ibu kota daerah. Ditambah lagi, kewajiban mengalihkan usaha mereka kepada warga berkebangsaan Indonesia. Tak pelak, kedua orang tuanya yang masih berstatus WNA pada saat itu harus merelakan usaha, rumah, toko, dan kendaraan yang mereka miliki. Seluruh aset terpaksa dijual dengan harga murah.
Kehidupannya yang kebelangsak membuat keluarganya harus tinggal berpindah-pindah karena tak memiliki tempat tinggal. Pada September 1962, ketika orang tuanya menempati sebuah rumah berukuran kecil yang dahulunya berfungsi sebagai kandang ayam, Hermanto pun lahir. Hunian berlokasi di Kota Malang dengan ukuran 1,5 meter x 9 meter tersebut disewa oleh ayahnya.
Kesusahan yang menyelimuti keluarganya tak menyurutkan tekad sang ayah. Berkat kerja kerasa dan keuletan ayahnya, Hermanto bisa belajar. Sang ayah, Soetikno Tanoko, sempat menjadi petani palawija. Dia harus mengayuh sepeda dari Singosari ke Malang untuk menjual hasil bumi, sedangkan ibunya berjualan pakaian bekas.
Sinar kehidupan mulai menyembul tatkala ayah Hermanto mendirikan usaha kecil dengan membuka toko cat pada 1962 di Malang. Tak mau sang suami berjuang sendirian, ibunya pun membuka toko kelontong dua tahun kemudian.
Usaha cat ini yang mengantarkan Hermanto dan saudaranya sukses. Hermanto yang merupakan anak bungsu dari lima bersaudara ternyata sudah dikenalkan dengan dunia bisnis sejak dini. Sejak usia 5 tahun, angpau yang dia peroleh rutin dibelanjakan untuk membeli beberapa barang dari toko kelontong ibunya yang harganya diperkirakan akan naik seperti terigu, biskuit, telur dan sebagainya.
Sejak saat itu, Hermanto mulai kenal dengan yang namanya investasi. Dia juga diajarkan mengelola bisnia saat berusia 8 tahun dengan membantu ayahnya menjaga toko cat. Bahkan saat usianya menginjak 14 tahun, Hermanto diberikan kepercayaan oleh ayahnya untuk mengelola apotek. Pengetahuan perihal investasi emas juga diajarkan oleh kedua orang tuanya, mulai dari gram hingga 1 kg emas pada usia 15 tahun.