Dilema BBM Subsidi, Bakalan Jebol Bila Tak Dibatasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ekonom menilai pendataan kendaraan yang mengonsumsi produk bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi solar dan Pertalite melalui digitalisasi dinilai sebagai langkah antisipatif. Upaya pembatasan melalui filtrasi menggunakan aplikasi ini perlu untuk menekan konsumsi BBM bersubsidi yang diprediksi bakal melebihi kuota.
"Mereka (Pertamina) baru membangun database monitoring yang diharapkan membentuk kesadaran masyarakat mampu yang seharusnya malu jika mengonsumsi BBM bersubsidi," kata Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov, yang dikutip Rabu (13/7/2022).
Menurut dia, apabila tidak ada pembatasan pembelian BBM bersubsidi, potensi terlampauinya kuota sangat besar. Berdasarkan kalkulasinya, untuk solar hingga akhir tahun nanti ada potensi kelebihan dari kuota 14,91 juta kiloliter (KL) sekitar 15% menjadi 17,2 juta KL. Sementara pertalite berpotensi kelebihan sekitar 24% dari alokasi 23,05 juta KL menjadi 28 juta KL. "Ini siapa yang harus menanggung selisih harga dan potensi kerugian? Badan usaha yang harus menanggung?" cetusnya.
Sementara, konsekuensi yang harus ditanggung oleh pemerintah apabila konsumsi BBM subsidi melebihi kuota cukup berat. Kelebihan ini otomatis akan menambah pengeluaran pada APBN, karena barang penugasan tersebut harus diberikan kompensasi.
Abra pun menyarankan agar pemerintah segera mengambil keputusan, apakah akan menambah kuota atau tegas dengan upaya pembatasan. Saat ini, kata dia, 'bola' penyaluran subsidi ada di tangan pemerintah. Harus ada kepastian apa upaya dalam menjaga stabilitas harga energi dan inflasi.
"Apakah all out menambah kuota BBM subsidi atau memang balanss, tetap memberikan subsidi kompensasi dibarengi pengendalian BBM subsidi," ujarnya. Abra menambahkan, agar subsidi BBM tepat sasaran, harus ada reformasi skema subsidi menjadi bersifat tertutup sehingga sasarannya langsung kepada individu atau rumah tangga.
Terpisah, pengamat ekonomi energi dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Yayan Satyakti mengatakan, apabila pemerintah masih menganggarkan subsidi, artinya pemerintah siap dengan beban APBN yang akan semakin besar. "Jika saya lihat, pemerintah dan DPR masih tetap akan mempertahankan subsidi BBM untuk menjaga konsumsi dan dan popularitas politik hingga pemerintah Jokowi berakhir," katanya.
Yayan menilai pemerintah sangat mementingkan stabilitas. Karena itu, kalau pun ekonomi terganggu, model subsidi ini menurutnya akan selalu dijaga oleh pemerintah. Akan tetapi, lanjut Yayan, kebijakan mempertahankan subsidi harus dikombinasikan dengan kebijakan moneter dari BI yang juga harus menjaga nilai tukar dan inflasi.
"Saya kira mempertahankan konsumsi (kontribusi konsumsi 50-55% dari PDB) saat ini lebih baik dari pada turun karena jika turun produktivitas akan turun," ujarnya.
Namun, imbuh Yayan, mengacu pada harga keekonomian Pertamax yang di kisaran Rp18.000-19.000 dan Pertalite di Rp16.000- 17.000 per liter, beban subsidi saat ini berat. Terlebih nilai tukar rupiah terhadap dolar AS saat ini mencapai Rp15.000.
"Mereka (Pertamina) baru membangun database monitoring yang diharapkan membentuk kesadaran masyarakat mampu yang seharusnya malu jika mengonsumsi BBM bersubsidi," kata Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov, yang dikutip Rabu (13/7/2022).
Menurut dia, apabila tidak ada pembatasan pembelian BBM bersubsidi, potensi terlampauinya kuota sangat besar. Berdasarkan kalkulasinya, untuk solar hingga akhir tahun nanti ada potensi kelebihan dari kuota 14,91 juta kiloliter (KL) sekitar 15% menjadi 17,2 juta KL. Sementara pertalite berpotensi kelebihan sekitar 24% dari alokasi 23,05 juta KL menjadi 28 juta KL. "Ini siapa yang harus menanggung selisih harga dan potensi kerugian? Badan usaha yang harus menanggung?" cetusnya.
Sementara, konsekuensi yang harus ditanggung oleh pemerintah apabila konsumsi BBM subsidi melebihi kuota cukup berat. Kelebihan ini otomatis akan menambah pengeluaran pada APBN, karena barang penugasan tersebut harus diberikan kompensasi.
Abra pun menyarankan agar pemerintah segera mengambil keputusan, apakah akan menambah kuota atau tegas dengan upaya pembatasan. Saat ini, kata dia, 'bola' penyaluran subsidi ada di tangan pemerintah. Harus ada kepastian apa upaya dalam menjaga stabilitas harga energi dan inflasi.
"Apakah all out menambah kuota BBM subsidi atau memang balanss, tetap memberikan subsidi kompensasi dibarengi pengendalian BBM subsidi," ujarnya. Abra menambahkan, agar subsidi BBM tepat sasaran, harus ada reformasi skema subsidi menjadi bersifat tertutup sehingga sasarannya langsung kepada individu atau rumah tangga.
Terpisah, pengamat ekonomi energi dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Yayan Satyakti mengatakan, apabila pemerintah masih menganggarkan subsidi, artinya pemerintah siap dengan beban APBN yang akan semakin besar. "Jika saya lihat, pemerintah dan DPR masih tetap akan mempertahankan subsidi BBM untuk menjaga konsumsi dan dan popularitas politik hingga pemerintah Jokowi berakhir," katanya.
Yayan menilai pemerintah sangat mementingkan stabilitas. Karena itu, kalau pun ekonomi terganggu, model subsidi ini menurutnya akan selalu dijaga oleh pemerintah. Akan tetapi, lanjut Yayan, kebijakan mempertahankan subsidi harus dikombinasikan dengan kebijakan moneter dari BI yang juga harus menjaga nilai tukar dan inflasi.
"Saya kira mempertahankan konsumsi (kontribusi konsumsi 50-55% dari PDB) saat ini lebih baik dari pada turun karena jika turun produktivitas akan turun," ujarnya.
Namun, imbuh Yayan, mengacu pada harga keekonomian Pertamax yang di kisaran Rp18.000-19.000 dan Pertalite di Rp16.000- 17.000 per liter, beban subsidi saat ini berat. Terlebih nilai tukar rupiah terhadap dolar AS saat ini mencapai Rp15.000.
(fai)