Menakar Efek Produksi Emas Dalam Negeri ke Perekonomian Nasional
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pengolahan dan pemurnian ( smelter ) yang sedang dibangun di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) JIIPE, Gresik, Jawa Timur diyakini akan memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
"Nilai tambah produksi emas itu memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian Indonesia di pusat dan daerah Papua," ujar Pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi.
Menurutnya, produksi emas yang sedemikian besar adalah buah dari keberhasilan pemerintah mengambil alih Freeport dari saham minoritas sekitar 9,4% menjadi saham mayoritas sebesar 51,2%.
"Produksi emas yang melimpah itu merupakan hasil divestasi 51%, yang salah satu syaratnya adalah smelterisasi di dalam negeri," ungkap Penulis buku Freeport Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi itu.
Dia menilai PT FI sebelumnya mengekspor konsentrat karena belum membangun smelter. "Sebelumnya, Indonesia hampir tidak dapat manfaat dari produksi emas PT FI lantaran smelterisasi konsentrat dilakukan di smelter luar negeri," tambahnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan, PT Freeport Indonesia akan memproduksi emas sebesar 1 ton per minggu dari pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) yang sedang dibangun di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) JIIPE, Gresik, Jawa Timur.
Dengan adanya investasi USD200 juta, untuk tahap awal PT FI bisa memproduksi 35 ton emas per tahun. Produksi emas yang besar di dalam negeri bisa membuat Indonesia segera membentuk bullion bank atau bank yang bisa menerima transaksi emas, selain mata uang biasa.
"Sehingga kalau ditangkap ini dengan bullion bank ini tidak perlu dikirim ke Singapura, karena kebanyakan sekarang dikirim ke Singapura, dari Singapura masuk lagi ke Indonesia. Sehingga hampir seluruh industri perhiasan itu adalah cost-nya hanya tolling fee karena tentu kaitannya dengan insentif fiskal dengan PPN," kata Ketua Umum Partai Golkar itu.
Proyek smelter senilai Rp42 triliun itu akan mengolah 1,7 juta ton konsentrat tembaga per tahun dan memproduksi 600 ribu ton katoda tembaga dan 35 ton emas per tahunnya.
Sementara itu, pengiriman bahan baku dari tambang PT.Freeport ke Smelter Gresik harus diawasi dengan benar. “Yang titik kritis adalah masalah pengawasan. Karena tambang di Papua, Smelter di Jawa Timur, maka pengawasan dalam hal pengiriman, memastikan bahwa tidak ada distorsi,” kata Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia M. Faisal, Rabu (20/7/2022).
Kemudian, jika pemerintah melarang ekspor barang mentah termasuk emas, ini juga harus diawasi dengan betul, jangan sampai ada kebocoran. Dalam aspek sosial, Faisal mengatakan, keberadaan baik itu tambang maupun smelter harus memperhatikan kesejahteraan masyarakat sekitar.
Dia memberikan contoh smelter di Sulawesi dan Maluku tidak diketahui sumbangsih mereka untuk pendapatan daerah maupun serapan tenaga kerjanya.
“Kalau di Sulawesi dan Maluku, ini sering kali Pemda tidak tahu banyak dengan tata niaga, dan seberapa jauh penerimaan untuk daerah itu tidak kelihatan atau belum jelas. Sebetulnya belum lagi seberapa banyak tenaga kerja yang direkrut yang domestik apalagi lokal. Itu menjadi isu dan masalah. Dan ini menjadi pelajaran untuk tidak terjadi di komoditas hilirisasi di komoditas lain,“ pungkas Faisal.
"Nilai tambah produksi emas itu memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian Indonesia di pusat dan daerah Papua," ujar Pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi.
Menurutnya, produksi emas yang sedemikian besar adalah buah dari keberhasilan pemerintah mengambil alih Freeport dari saham minoritas sekitar 9,4% menjadi saham mayoritas sebesar 51,2%.
"Produksi emas yang melimpah itu merupakan hasil divestasi 51%, yang salah satu syaratnya adalah smelterisasi di dalam negeri," ungkap Penulis buku Freeport Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi itu.
Dia menilai PT FI sebelumnya mengekspor konsentrat karena belum membangun smelter. "Sebelumnya, Indonesia hampir tidak dapat manfaat dari produksi emas PT FI lantaran smelterisasi konsentrat dilakukan di smelter luar negeri," tambahnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan, PT Freeport Indonesia akan memproduksi emas sebesar 1 ton per minggu dari pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) yang sedang dibangun di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) JIIPE, Gresik, Jawa Timur.
Dengan adanya investasi USD200 juta, untuk tahap awal PT FI bisa memproduksi 35 ton emas per tahun. Produksi emas yang besar di dalam negeri bisa membuat Indonesia segera membentuk bullion bank atau bank yang bisa menerima transaksi emas, selain mata uang biasa.
"Sehingga kalau ditangkap ini dengan bullion bank ini tidak perlu dikirim ke Singapura, karena kebanyakan sekarang dikirim ke Singapura, dari Singapura masuk lagi ke Indonesia. Sehingga hampir seluruh industri perhiasan itu adalah cost-nya hanya tolling fee karena tentu kaitannya dengan insentif fiskal dengan PPN," kata Ketua Umum Partai Golkar itu.
Proyek smelter senilai Rp42 triliun itu akan mengolah 1,7 juta ton konsentrat tembaga per tahun dan memproduksi 600 ribu ton katoda tembaga dan 35 ton emas per tahunnya.
Sementara itu, pengiriman bahan baku dari tambang PT.Freeport ke Smelter Gresik harus diawasi dengan benar. “Yang titik kritis adalah masalah pengawasan. Karena tambang di Papua, Smelter di Jawa Timur, maka pengawasan dalam hal pengiriman, memastikan bahwa tidak ada distorsi,” kata Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia M. Faisal, Rabu (20/7/2022).
Kemudian, jika pemerintah melarang ekspor barang mentah termasuk emas, ini juga harus diawasi dengan betul, jangan sampai ada kebocoran. Dalam aspek sosial, Faisal mengatakan, keberadaan baik itu tambang maupun smelter harus memperhatikan kesejahteraan masyarakat sekitar.
Dia memberikan contoh smelter di Sulawesi dan Maluku tidak diketahui sumbangsih mereka untuk pendapatan daerah maupun serapan tenaga kerjanya.
“Kalau di Sulawesi dan Maluku, ini sering kali Pemda tidak tahu banyak dengan tata niaga, dan seberapa jauh penerimaan untuk daerah itu tidak kelihatan atau belum jelas. Sebetulnya belum lagi seberapa banyak tenaga kerja yang direkrut yang domestik apalagi lokal. Itu menjadi isu dan masalah. Dan ini menjadi pelajaran untuk tidak terjadi di komoditas hilirisasi di komoditas lain,“ pungkas Faisal.
(akr)