Penertiban Aktivitas Pertambangan Tanpa Izin Harus Tuntas
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemberantasan kegiatan pertambangan tanpa izin (peti) harus dilakukan secara tuntas dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat, pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan juga kepolisian. Hal itu penting untuk menegakkan peraturan, sekaligus juga untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor tambang.
"Penyelesaian masalah peti harus total football. Governance dari perusahaan, hubungan perusahaan dengan masyarakat sangat berhubungan dengan maraknya kegiatan ini karena akarnya adalah kesenjangan sosial," ungkap Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia, dalam webinar di Jakarta, Kamis (28/7/2022).
Menurut dia, peti seringkali marak terjadi ketika ada lonjakan harga komoditas. Pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan hal itu untuk mengeruk untung. Sementara, industri tambang legal, masyarakat dan pemerintah mengalami kerugian akibat ulah mereka.
Hendra mengingatkan, di saat harga batu bara beberapa bulan terakhir menanjak, kondisi itu dikhawatirkan akan memicu maraknya kegiatan peti. Karena itu, kegiatan ilegal tersebut perlu diselesaikan secara permanen. "Ini bukan hanya keinginan pemerintah, tapi pelaku usaha juga," tandasnya.
Inspektur Tambang Ahli Madya dan Ketua Kelompok Kerja Pertambangan Rakyat dan Pembinaan Aspek Teknik dan Lingkungan Direktorat Teknik dan Lingkungan Mineral Ditjen Minerba Kementerian ESDM Antonius Agung Setiawan menegaskan bahwa pemerintah tidak menutup mata terhadap merebaknya peti. Antonius mengatakan, peti utamanya disebabkan adanya keterbatasan lapangan kerja dan desakan ekonomi. "Pelaku peti umumnya merupakan masyarakat yang tidak memiliki akses untuk mendapatkan pekerjaan di bidang formal," kata dia.
Karena itu, kata dia, pemerintah juga berupaya berpihak pada rakyat dengan melakukan formalisasi supaya kegiatan pertambangan ini menjadi legal dalam rangka meningkatkan kemakmuran bangsa dan negara. Di sisi lain, tegas dia, upaya hukum juga dijalankan meski dasar hukumnya terbatas.
"Strategi pemerintah untuk menangani peti tentunya berlandaskan hukum pertambangan tanpa izin, yakni pasal tindak pidana di UU No. 3/2020 jo UU No. 4/2009 pasal 158, 160, 161. Tapi amunisi dari sisi regulasinya sangat kurang menurut saya," ujar dia.
Antonius menjelaskan, upaya penanganan PETI yang dilakukan Kementerian ESDM, antara lain dengan melakukan penataan wilayah pertambangan dan regulasi guna mendukung pertambangan berbasis rakyat, meningkatkan peran PPNS dalam pembinaan terhadap pertambangan berbasis rakyat, pendataan dan pemantauan kegiatan PETI oleh inspektur tambang, hingga upaya formalisasi menjadi wilayah pertambangan rakyat dan IPR.
Pemerintah juga melakukan pemutusan rantai pasok bahan baku dan mata rantai penjualan hasil peti melalui koordinasi bersama Polri dan pemda. Penguatan pengawasan oleh PPNS berkoordinasi dengan Polri, dan Gakkum KLHK.
Sementara itu, Kepala Unit 3/Subdit V Sumber Daya Alam Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri Komisaris (Polisi) Eko Susanda mengatakan, selagi aspek hukumnya jelas, pelibatan kepolisian dalam penindakan kegiatan tambang ilegal akan sangat mudah. "Namun jika aspek hukumnya masih abu-abu itu akan sangat berat. Kepolisian jadi ada keraguan juga kalau mau melakukan penegakan hukum pada peti,” tuturnya.
Eko menambahkan dari aspek penegakan hukum, Polri juga sangat terbatas sumber dayanya. Pasalnya, tidak hanya menangani perkara pertambangan saja, namun ada 55 perkara perundangan yang harus ditangani. “Kalau semua perkara pertambangan ini harus dihadapkan pada penegakan hukum saja, pasti resource-nya kurang. Tapi memang harus tetap ada penegakan hukum,” kata dia.
Pakar Hukum Pertambangan dari Universitas Tarumanegara Ahmad Redi menilai ada dua faktor yang menjadi penyebab munculnya peti, yakni faktor sosial dan hukum. Faktor sosial adalah di mana kegiatan sudah menjadi pekerjaan turunan karena dilakukan secara turun menurun oleh masyarakat setempat. Sementara secara hukum, peti muncul akibat ketidaktahuan masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang pertambangan.
Dia menekankan pentingnya mendorong pemberantasan peti secara terus menerus karena isu penyelesaiannya sangat penting untuk pertambangan nasional. “Satgas perlu dibentuk karena menjadi bentuk keseriusan negara sehingga bisa mendapatkan penerimaan negara dari penambangan legal," kata dia.
"Penyelesaian masalah peti harus total football. Governance dari perusahaan, hubungan perusahaan dengan masyarakat sangat berhubungan dengan maraknya kegiatan ini karena akarnya adalah kesenjangan sosial," ungkap Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia, dalam webinar di Jakarta, Kamis (28/7/2022).
Menurut dia, peti seringkali marak terjadi ketika ada lonjakan harga komoditas. Pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan hal itu untuk mengeruk untung. Sementara, industri tambang legal, masyarakat dan pemerintah mengalami kerugian akibat ulah mereka.
Hendra mengingatkan, di saat harga batu bara beberapa bulan terakhir menanjak, kondisi itu dikhawatirkan akan memicu maraknya kegiatan peti. Karena itu, kegiatan ilegal tersebut perlu diselesaikan secara permanen. "Ini bukan hanya keinginan pemerintah, tapi pelaku usaha juga," tandasnya.
Inspektur Tambang Ahli Madya dan Ketua Kelompok Kerja Pertambangan Rakyat dan Pembinaan Aspek Teknik dan Lingkungan Direktorat Teknik dan Lingkungan Mineral Ditjen Minerba Kementerian ESDM Antonius Agung Setiawan menegaskan bahwa pemerintah tidak menutup mata terhadap merebaknya peti. Antonius mengatakan, peti utamanya disebabkan adanya keterbatasan lapangan kerja dan desakan ekonomi. "Pelaku peti umumnya merupakan masyarakat yang tidak memiliki akses untuk mendapatkan pekerjaan di bidang formal," kata dia.
Karena itu, kata dia, pemerintah juga berupaya berpihak pada rakyat dengan melakukan formalisasi supaya kegiatan pertambangan ini menjadi legal dalam rangka meningkatkan kemakmuran bangsa dan negara. Di sisi lain, tegas dia, upaya hukum juga dijalankan meski dasar hukumnya terbatas.
"Strategi pemerintah untuk menangani peti tentunya berlandaskan hukum pertambangan tanpa izin, yakni pasal tindak pidana di UU No. 3/2020 jo UU No. 4/2009 pasal 158, 160, 161. Tapi amunisi dari sisi regulasinya sangat kurang menurut saya," ujar dia.
Antonius menjelaskan, upaya penanganan PETI yang dilakukan Kementerian ESDM, antara lain dengan melakukan penataan wilayah pertambangan dan regulasi guna mendukung pertambangan berbasis rakyat, meningkatkan peran PPNS dalam pembinaan terhadap pertambangan berbasis rakyat, pendataan dan pemantauan kegiatan PETI oleh inspektur tambang, hingga upaya formalisasi menjadi wilayah pertambangan rakyat dan IPR.
Pemerintah juga melakukan pemutusan rantai pasok bahan baku dan mata rantai penjualan hasil peti melalui koordinasi bersama Polri dan pemda. Penguatan pengawasan oleh PPNS berkoordinasi dengan Polri, dan Gakkum KLHK.
Sementara itu, Kepala Unit 3/Subdit V Sumber Daya Alam Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri Komisaris (Polisi) Eko Susanda mengatakan, selagi aspek hukumnya jelas, pelibatan kepolisian dalam penindakan kegiatan tambang ilegal akan sangat mudah. "Namun jika aspek hukumnya masih abu-abu itu akan sangat berat. Kepolisian jadi ada keraguan juga kalau mau melakukan penegakan hukum pada peti,” tuturnya.
Eko menambahkan dari aspek penegakan hukum, Polri juga sangat terbatas sumber dayanya. Pasalnya, tidak hanya menangani perkara pertambangan saja, namun ada 55 perkara perundangan yang harus ditangani. “Kalau semua perkara pertambangan ini harus dihadapkan pada penegakan hukum saja, pasti resource-nya kurang. Tapi memang harus tetap ada penegakan hukum,” kata dia.
Pakar Hukum Pertambangan dari Universitas Tarumanegara Ahmad Redi menilai ada dua faktor yang menjadi penyebab munculnya peti, yakni faktor sosial dan hukum. Faktor sosial adalah di mana kegiatan sudah menjadi pekerjaan turunan karena dilakukan secara turun menurun oleh masyarakat setempat. Sementara secara hukum, peti muncul akibat ketidaktahuan masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang pertambangan.
Dia menekankan pentingnya mendorong pemberantasan peti secara terus menerus karena isu penyelesaiannya sangat penting untuk pertambangan nasional. “Satgas perlu dibentuk karena menjadi bentuk keseriusan negara sehingga bisa mendapatkan penerimaan negara dari penambangan legal," kata dia.
(fai)