Utang Pemerintah Tembus Rp7.123,62 Triliun, Ekonom: Titik Kritis

Rabu, 03 Agustus 2022 - 08:39 WIB
loading...
Utang Pemerintah Tembus Rp7.123,62 Triliun, Ekonom: Titik Kritis
Posisi utang pemerintah tercatat kembali naik mencapai Rp7.123,62 triliun hingga akhir Juni 2022. Ekonom memperingatkan, soal titik kritis dimana beban bunga utang semakin mahal. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Posisi utang pemerintah tercatat kembali naik mencapai Rp7.123,62 triliun di semester I atau hingga akhir Juni 2022. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, beban bunga utang yang mahal menjadi salah satu titik kritis dari kondisi utang nasional.

"Yang menjadi titik kritis dari kondisi utang adalah beban bunga utang yang mahal, kemampuan bayar utang tidak sebanding dengan kecepatan penerbitan utang baru, dan pemanfaatan dari utang masih terjebak pada belanja yang tidak produktif," kata Bhima kepada MNC Portal Indonesia, Rabu (3/8/2022).



Dalam dokumen APBN KITA edisi Juli 2022, pihak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menilai bahwa rasio utang terhadap PDB dalam batas aman, wajar, serta terkendali diiringi dengan diversifikasi portofolio yang optimal.

Adapun utang pemerintah didominasi oleh instrumen surat berharga negara (SBN) dengan porsi 88,46%. Hingga akhir Juni 2022, penerbitan SBN yang tercatat sebesar Rp6.301,88 triliun.

Menurut Bhima tidak hanya soal rasio utang dianggap masih aman di bawah level 60%, namun bunga utang pemerintah terutama SBN itu terbilang sangat mahal.

"Ada risiko ketika tingkat suku bunga meningkat secara signifikan, maka akan picu bunga utang naik lebih mahal," ujarnya.

"Sekarang SBN mendominasi sampai 88,2% dari total utang pemerintah, sementara investor menuntut imbal hasil SBN harus tinggi yakni 7,4% untuk tenor 10 tahun. Diperkirakan kondisi APBN dapat berisiko apabila harus menanggung pembayaran bunga utang lebih dari Rp410 triliun," sambung Bhima.

Kemudian, ia juga menyoroti soal kemampuan membayar utang. Katanya, hal itu bisa dicek Debt Service Rationya 39,2% dari data terakhir.

"Filipina dengan rating utang yang lebih baik yakni BBB+ dibanding Indonesia BBB hanya memiliki DSR 10,1%. Semakin tinggi DSR artinya kemampuan bayar utang dari penerimaan ekspor cenderung melemah," jelas Bhima.

Lebih lanjut ia menyebut, terkait pemanfaatan utang, porsi belanja pemerintah untuk belanja barang dan belanja pegawai masih tinggi sehingga dipersepsikan utang untuk hal yang kurang produktif. Sementara pembiayaan utang untuk infrastruktur pun menuai masalah.

"Infrastruktur masif dibangun tapi biaya logistik turunnya kecil sekali, masih 23,5% dari PDB. Konten impor besi baja, mesin dalam proyek infrastruktur juga jadi beban terhadap transaksi berjalan. Inilah yang disebut utang tidak dilakukan secara terukur," urainya.

Oleh sebab itu, Bhima menyarankan, sebaiknya pemerintah menunda dahulu belanja infrastruktur khususnya infrastruktur yang mengalami cost overun, konten impornya tinggi dan kurang berdampak pada penurunan biaya logistik.



Kemudian beberapa infrastruktur mega-proyek terpaksa harus dikorbankan agar ruang fiskal bisa lebih lega.

"Pemerintah juga bisa merevisi lagi rencana pemberian PMN ke BUMN tahun 2023, tidak semua BUMN harus dikucurkan pendanaan, terlebih setoran dividennya kecil," tutur Bhima.

Saran berikutnya, yakini cara penarikan utang melalui SBN sebaiknya diredam, dan lebih memperbesar porsi pinjaman bilateral dan multilateral atau berbasis pada proyek sehingga beban bunga bisa di kurangi.

Dalam forum G20, lanjutnya, pemerintah bisa mendorong debt relief bagi negara berkembang termasuk Indonesia agar mendapat pengurangan beban pokok utang terutama terhadap utang China, baik utang pemerintah maupun utang BUMN.

Menurut Direktur Celios itu, sah-sah saja Indonesia meminta keringanan utang, karena sebelumnya utang juga digunakan untuk pendanaan selama pandemi. "Pemerintah perlu burden sharing atau membagi beban dengan para kreditur," pungkasnya.

(akr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1427 seconds (0.1#10.140)