Kenaikan Tarif Ojol Diundur, Momentum Jaring Aspirasi Publik

Kamis, 18 Agustus 2022 - 21:53 WIB
loading...
Kenaikan Tarif Ojol...
Penundaan kenaikan tarif ojol disebut sebagai kesempatan bagi pengambil kebijakan untuk menjaring aspirasi publik secara lebih luas. Foto/Ilustrasi
A A A
JAKARTA - Langkah Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menunda pemberlakuan tarif baru ojek online (ojol) yang seharusnya 15 Agustus 2022 menjadi 30 Agustus 2022 mendapat apresiasi dari berbagai pihak. Perpanjangan waktu tersebut dinilai dapat menjadi momentum guna menjaring lebih banyak masukan dari berbagai pihak.

"Penundaan pemberlakukan ini bagus walaupun tambahannya hanya 15 hari. Sehingga ada waktu lebih panjang, untuk menghitung lagi dampaknya, dan apakah ada solusi yang lebih baik. Jika memang harus naik, maka berapa besaran tarif yang sesuai. Jadi perpanjangan waktu ini bisa digunakan untuk mencari masukan dan tambahan data agar bisa mengambil kebijakan publik lebih tepat, kami sangat dukung untuk itu," kata Ekonom Universitas Airlangga (Unair) Rumayya Batubara, yang dikutip Jumat (18/8/2022).



Seperti diketahui, pada 14 Agustus 2022, Kemenhub mengeluarkan pemberitahuan bahwa pemberlakuan kenaikan tarif baru ojol yang tertuang dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 564 Tahun 2022 yang seharusnya berlaku efektif 10 hari pascaditetapkan pada 4 Agustus 2022, diundur menjadi 25 hari.

Rumayya menduga penundaan tersebut terkait kekhawatiran dampak kebijakan ini yang tidak sejalan dengan upaya pemulihan ekonomi. Sebab tarif ojol yang ditetapkan dalam Kepmenhub (KM) Nomor KP 564 Tahun 2022 itu terbilang tinggi, berkisar antara 30-50%.

Menurut Rumayya, dampak negatif kenaikan tarif sebesar itu pertama adalah dari sisi konsumen. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Research Institute of Socio- Economic Development (RISED), lebih dari 50% konsumen pengguna ojol adalah masyarakat menengah bawah. Konsumen memilih menggunakan ojol dikarenakan harganya yang terjangkau. Sehingga, jika tarif ojol terlalu tinggi, maka moda transportasi ini menjadi tidak terjangkau lagi oleh sebagian besar konsumen.

"Ketika tarif ojol naik di tahun 2019, sebanyak 75% konsumen menolak kenaikan tersebut. Persentase penolakan itu tergolong tinggi, meski kenaikan tarif pada saat itu tidak sebesar rencana di tahun ini. Tahun ini kami memang belum melakukan studi terbaru, tapi kemungkinan besar lebih dari 75% konsumen akan menolak, karena kenaikan tarifnya jauh lebih tinggi," kata Rumayya, yang juga Ketua Tim Peneliti RISED.

Dampak kedua menurutnya adalah dari sisi driver ojol. Rumayya mengatakan, niat baik pemerintah untuk menyejahterakan driver ojol melalui kenaikan tarif perlu diapresiasi. Namun menurutnya, kenaikan tarif tidak selalu berhubungan langsung dengan kesejahteraan driver.

Dia mencontohkan, ketika konsumen memilih moda transportasi lain saat tarif ojol tinggi, maka potensi pendapatan driver justru akan menurun. Hal itu dikarenakan karakter pengguna ojol yang sangat sensitif terhadap harga, sehingga ketika ada perubahan harga mereka akan mencari alternatif moda transportasi lain, atau bahkan mengurangi mobilitasnya. "Misalkan jika sebelumnya bisa mendapatkan 10 penumpang, dengan adanya kenaikan ini penumpangnya turun jadi 7 atau bahkan hanya 5. Perlu di ingat, jumlah driver tetap sama, tapi penumpang berkurang," tuturnya.



Dampak ketiga, lanjutnya, adalah dari sisi ekonomi. Ketika konsumen memilih menggunakan kendaraan pribadi akan meningkatkan kemacetan di kota-kota besar dan biaya pemerintah untuk BBM menjadi lebih mahal. Dampak lainnya, terjadi peningkatan biaya transportasi untuk mengirimkan barang. "Sektor lain akan terpukul. Ada dampak turunan, karena transportasi ini menghubungkan antarsektor, bukan hanya mengantarkan orang, tapi juga barang," paparnya.

Secara keseluruhan, kata Rumayya, kenaikan tarif ojol yang tinggi akan menekan daya beli masyarakat dan turut menaikkan inflasi. Terlebih saat ini pemerintah tengah berupaya untuk menekan inflasi melalui program subsidi di berbagai sektor. "Kita lihat saat ini inflasi sedang tinggi. Bahkan untuk inflasi pangan tertinggi sejak tahun 2015. Jika inflasi tinggi, maka daya beli konsumen tergerus," tandasnya.

Ancaman inflasi tinggi memang tengah menjadi perhatian. Ketua MPR Bambang Soesatyo belum lama ini mengatakan bahwa pada beberapa bulan ke depan potensi inflasi tinggi terbuka lebar. Misalnya saja di September 2022, inflasi berpotensi mencapai 10-12%. "Pada September 2022 diprediksi akan menghadapi ancaman hiper-inflasi, dengan angka inflasi pada kisaran 10-12%. Sementara untuk inflasi Agustus diprediksi akan berada pada kisaran 5-6%," ujar Bambang dalam pidatonya pada Sidang Tahunan MPR, Selasa (16/8) lalu.
(fai)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1439 seconds (0.1#10.140)