Beberkan Perhitungan Harga BBM, Mantan Menteri ESDM Gunakan Perumpamaan Rendang

Minggu, 02 Oktober 2022 - 13:01 WIB
loading...
Beberkan Perhitungan Harga BBM, Mantan Menteri ESDM Gunakan Perumpamaan Rendang
Perhitungan harga BBM ditentukan biaya pengolahan dan juga permintaan. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - PT Pertamina (Persero) telah menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi. Mulai 1 Oktober 2022, bensin dengan kualitas oktan 92 atau Pertamax turun menjadi Rp13.900 per liter dari sebelumnya Rp14.500 per liter khususnya di DKI Jakarta.



Menurut Arcandra Tahar, mantan menteri ESDM, ada dua faktor yang menjadi dasar perhitungan harga Pertamax, Pertalite, atau yang lainnya, salah satunya adalah refinery margin. Secara sederhana, refinery margin adalah ongkos untuk mengubah minyak mentah menjadi BBM (Pertalite, Pertamax, diesel dll).

"Refinery margin adalah selisih antara harga BBM yang dihasilkan kilang dengan harga minyak mentah," kata Arcandra yang juga komisaris PGN itu, dikutip dari Instagramnya, Minggu (2/10/2022).

Menurut data yang yang diperolehnya, dalam lima tahun terakhir refinery margin berada dalam kisaran di bawah USD10/barel atau sekitar Rp950 per liter (kurs Rp15.000 dan 1 barel 158 liter). Namun, pada bulan Mei, Juni dan Juli tahun 2022 ini, refinery margin di Singapura bisa mencapai USD30/barel (Rp2.850 per liter). Sementara refinery margin di Eropa dan Amerika Serikat jauh lebih tinggi lagi.

Arcandra melanjutkan, dengan perhitungan yang sederhana, jika harga minyak mentah USD70/barel maka harga BBM yang dihasilkan dengan refinery margin USD30/barel menjadi USD100/barel (sekitar Rp9.500 per liter). Sementara jika menggunakan asumsi refinery margin dalam lima tahun terakhir, maka harga BBM hanya USD80/barel (Rp7.600 per liter).

"Artinya di tahun 2022 ini harga BBM menjadi semakin mahal akibat naiknya refinery margin di berbagai kilang di dunia," tambahnya.

Kenapa lonjakan refinery margin sebanyak 300% ini bisa terjadi? Bukankah biaya untuk mengolah minyak mentah menjadi BBM hampir sama? Arcandra menjelaskan, harga minyak mentah mengikuti harga acuan (index) seperti Brent dan West Texas Intermediate (WTI). Banyak faktor yang memengaruhi harga index ini seperti supply, demand, perang dan lain-lain.

Di sisi lain, harga BBM ditentukan oleh jenis BBM apa yang dibutuhkan pada waktu tertentu. Misalnya, pada saat musim panas banyak orang yang traveling menggunakan mobil yang berbahan bakar Ron 92, yang harganya pada saat itu bisa lebih mahal dibandingkan diesel.

"Jadi pergerakan harga Ron 92 (Pertamax) tidak mengikuti pergerakan harga minyak mentah dunia," paparnya.

Arcandra kemudian membandingkan produksi BBM layaknya restoran padang yang membuat rendang. Bahan baku utama rendang adalah daging sapi atau kerbau. Harga sapi misalnya ditentukan oleh supply demand pada waktu tertentu.

"Pada saat hari raya Idul Adha, kebutuhan sapi akan meningkat sehingga harganya akan naik. Tapi apakah ongkos untuk membuat rendang akan naik pada saat itu? Belum tentu," katanya.

Perbedaan antara harga jual rendang dengan harga daging sapi dinamakan dengan dapur margin (seperti refinery margin). Dapur margin ini bisa jadi ditentukan oleh banyaknya permintaan rendang pada saat tertentu.

Misalnya acara wisuda yang memerlukan 10 ton rendang. Daging sapi tersedia tapi rendangnya tidak cukup. Maka dapur margin untuk membuat rendang menjadi naik untuk memenuhi kebutuhan wisuda.

"Bisa dibayangkan, kalau dalam lima tahun terakhir dapur margin untuk membuat rendang (BBM) misalnya hanya Rp100 ribu/kg sekarang menjadi Rp300 ribu/kg. Ditambah lagi kalau pada saat yang bersamaan harga daging sapi (minyak mentah) juga ikut naik. Konsumen yang membutuhkan rendang (BBM) tentunya akan semakin terbebani," kata Arcandra.

Arcandra melanjutkan analoginya, kalau ada acara yang anggarannya terbatas dan harus menyediakan menu rendang (BMM) setiap saat, maka membeli rendang (BBM) yang siap santap mungkin akan mahal. Agar fluktuasi harga rendang (BBM) lebih terjamin, salah satu solusi yang tepat adalah membuat dapur (kilang) sendiri yang tidak saja bisa membuat rendang, tapi juga bisa membuat masakan padang yang lain.

"Tentunya butuh investasi dan kesabaran agar bisa membuat dapur (kilang) yang memberikan margin yang baik," jelasnya.

Menurut Arcandra, dalam konteks pemenuhan BBM, dengan refinery margin yang sangat tinggi pada tahun ini dan bisa jadi tahun-tahun yang akan datang, strategi yang teliti, cermat dan cerdas sangat dibutuhkan dalam masa transisi menuju net-zero emisi tahun 2050 atau 2060.



"Membuat 'restoran padang' (refinery/kilang) sendiri yang memungkinan produksi 'rendang' (BBM) menjadi lebih efisien perlu untuk dipikirkan, direncanakan dan segera diwujudkan. Realitasnya dunia masih memerlukan energi fosil paling tidak hingga 30 tahun lagi. Namun demikian pengembangan energi terbarukan juga jangan sampai terabaikan," pungkas Arcandra.

(uka)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2358 seconds (0.1#10.140)