Produk Hukum Cipta Kerja Tuai Pro-Kontra, Menaker Ida Buka Suara
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menteri Ketenegakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menanggapi ihwal produk hukum Cipta Kerja yang menuai pro-kontra serta ditentang sejumlah kalangan pengusaha maupun pekerja.
Sebagaimana diketahui, pemerintah telah menerbitkan Undang-undang Nomor (UU) nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang saat ini dinyatakan cacat formil oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Kemudian, terbitlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perppu Nomor 2/2022 tentang Cipta Kerja pada akhir tahun lalu.
Menaker menjelaskan alasan fundamental dari penerbitan dua produk hukum itu untuk mengakselerasi penciptaan lapangan kerja melalui instrumen kemudahan Invetasi dan perlindungan pekerja.
Produk hukum tersebut berimplikasi kepada pengusaha sebagai pemberi kerja maupun pekerja sebagai penerima kerja. Namun, keduanya menentang, baik UU Cipta Kerja ataupun Perppu Cipta Kerja.
Kalangan pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai kebijakan tersebut memberantas pengusaha. Paling tidak untuk dua substansi yaitu pengaturan alih daya atau outsourcing, dan upah minimum.
Apindo menilai outsourcing tidak perlu dibatasi jenis pekerjaannya, alasannya karena bica menciptakan lapangan kerja yang lebih luas.
Sedangkan buruh menolak usulan tersebut, sebab penggunaan tenaga kerja outsourcing harus dibatasi, seperti yang sudah diatur saat ini melalui Permenaker, yaitu lina jenis pekerjaan saja.
Alasannya, buruh menganggap outsourcing sama dengan perbudakan modern, jual beli budak yang terjadi di zaman jahiliah tidak jauh beda dengan outsourcing.
Namun, menurut Menaker, lahirnya UU tersebut merupakan sebuah komitmen pemerintah melakukan transformasi struktural sektor ketenegakerjaan melalui UU Cipta Kerja. Targetnya, bisa memanfaatkan bonus demografi dengan mendapatkan pekerjaan atau memulai usaha dengan mudah.
Sebagaimana diketahui, pemerintah telah menerbitkan Undang-undang Nomor (UU) nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang saat ini dinyatakan cacat formil oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Kemudian, terbitlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perppu Nomor 2/2022 tentang Cipta Kerja pada akhir tahun lalu.
Menaker menjelaskan alasan fundamental dari penerbitan dua produk hukum itu untuk mengakselerasi penciptaan lapangan kerja melalui instrumen kemudahan Invetasi dan perlindungan pekerja.
Produk hukum tersebut berimplikasi kepada pengusaha sebagai pemberi kerja maupun pekerja sebagai penerima kerja. Namun, keduanya menentang, baik UU Cipta Kerja ataupun Perppu Cipta Kerja.
Kalangan pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai kebijakan tersebut memberantas pengusaha. Paling tidak untuk dua substansi yaitu pengaturan alih daya atau outsourcing, dan upah minimum.
Apindo menilai outsourcing tidak perlu dibatasi jenis pekerjaannya, alasannya karena bica menciptakan lapangan kerja yang lebih luas.
Sedangkan buruh menolak usulan tersebut, sebab penggunaan tenaga kerja outsourcing harus dibatasi, seperti yang sudah diatur saat ini melalui Permenaker, yaitu lina jenis pekerjaan saja.
Alasannya, buruh menganggap outsourcing sama dengan perbudakan modern, jual beli budak yang terjadi di zaman jahiliah tidak jauh beda dengan outsourcing.
Namun, menurut Menaker, lahirnya UU tersebut merupakan sebuah komitmen pemerintah melakukan transformasi struktural sektor ketenegakerjaan melalui UU Cipta Kerja. Targetnya, bisa memanfaatkan bonus demografi dengan mendapatkan pekerjaan atau memulai usaha dengan mudah.