Suaplah Daku, Kau Kutangkap

Senin, 11 April 2016 - 06:01 WIB
Suaplah Daku, Kau Kutangkap
Suaplah Daku, Kau Kutangkap
A A A
Kejarlah Daku Kau Kutangkap ” merupakan salah satu film komedi Indonesia yang paling berhasil sepanjang sejarah.

Deddy Mizwar dan Lidya Kandouw berakting apik sebagai Ramadan dan Mona di film yang mendapat penghargaan skenario terbaik Festival Film Indonesia 1986 tersebut. Seakan tak mau kalah dari film tersebut, baru-baru ini kasus dengan aktor utama Direktur Utama PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN) Ariesman Widjaja dan anggota DPRD DKI Jakarta M Sanusi menghebohkan masyarakat.

Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ariesman Widjaja ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap kepada Sanusi yang menjabat Ketua Komisi D. Diduga, uang suap diberikan terkait pembahasan raperda tentang rencana zonasi zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil provinsi Jakarta tahun 2015-2035, dan raperda tentang rencana tata ruang kawasan strategis kawasan pantai Jakarta Utara. Korupsi masih menjadi masalah besar di Indonesia.

Ambil contoh, menurut Corruption Perceptions Index (CPI) 2015 yang dilansir Transparency International, tingkat korupsi Indonesia sangat tinggi. CPI telah dipublikasikan setiap tahun sejak 1995. Negara-negara diperingkat berdasarkan penilaian para pakar dan survei opini tentang tingkat korupsi. CPI mendefinisikan korupsi sebagai ”penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi” (misuse of public power for private benefit).

Saat ini, CPI memeringkat 177 negara berdasarkan skala nilai 100 (sangat bersih) hingga 0 (sangat korup). Pada CPI 2015 (lihat Tabel), Indonesia menduduki peringkat 88, kalah dari Singapura (peringkat 8), Malaysia (54), dan Thailand (76). Nilai Indonesia adalah 36, sangat tidak sebanding dengan Singapura. Celakanya, nilai CPI Indonesia selama beberapa tahun terakhir seperti gerakan tari poco-poco yang maju dan mundur. Tahun 2012 hingga 2015 nilai Indonesia hanya tumbuh dari 32 menjadi 36.

Berita baiknya, jika dibanding tahun 2005, tingkat korupsi Indonesia saat ini sudah jauh lebih baik. Saat itu Indonesia berada di peringkat 137, satu kelompok dengan negara Afrika seperti Etiopia, Liberia dan Kamerun. Kualitas tata kelola di sektor publik (public governance) berkorelasi dengan kualitas tata kelola di sektor korporasi (corporate governance). Ingat pepatah popular It takes two to tango?

Menari tango tidak bisa sendirian, perlu pasangan. Jika ada penerima uang suap, pasti ada pemberi uang suap. Apabila pejabat pemerintah atau institusi publik tidak bersih, sulit bagi perusahaan untuk menjalankan bisnis dengan cara bersih. Misalnya, TeliaSonera, sebuah perusahaan yang 37% sahamnya dimiliki pemerintah Swedia yang menduduki peringkat ke-3 di PCI-2015.

Peringkat bagus ternyata bukan jaminan. TeliaSonera diduga terlibat suap jutaan dolar AS saat berbisnis di Uzbekistan yang peringkat 153 di PCI-2015. Sebagian pelaku bisnis bersikap pragmatis. Mereka tak segan menyuap untuk memperoleh cuan besar. Menurut Transparency International, perusahaan multinasional di separuh negara anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) diduga melakukan suap saat berbisnis di negara yang peringkat korupsinya relatif buruk.

Kembali ke kasus APLM. Reputasi APLN sebagai perusahaan yang baik tercoreng. Pelanggaran yang dilakukan APLN adalah mengabaikan asas responsibilitas (good citizenship). Padahal, sebagai perusahaan yang terdaftar di bursa sudah seharusnya mematuhi hukum. APLN ini sebenarnya perusahaan yang memiliki reputasi cukup baik. Pelaku pasar segera menganalisis dampak negatif aksi KPK ini terhadap nilai saham APLN.

Sejak direktur utamanya ditetapkan sebagai tersangka, harga saham APLN sudah terjun 14% dari Rp300 menjadi Rp263. Artinya, APLN tidak hanya sedang dihukum oleh sistem peradilan tetapi tengah dihukum oleh investor yang kehilangan kepercayaan. Padahal secara kinerja finansial, APLN termasuk perusahaan yang bagus dengan pendapatan tahun lalu mencapai Rp5,9 triliun. Kasus ini menjadi pembelajaran bagi setiap emiten yang melantai di bursa bahwa prinsip-prinsip good corporate governance harus teguh ditegakkan agar kepercayaan masyarakat, terutama investor, terus terjaga.

Bisnis yang dijalankan dengan prinsip-prinsip tata kelola yang buruk hanya menunggu waktu untuk ambruk. Kita berharap aksi KPK ini bisa menjadi wake up call bagi pelaku bisnis bahwa hal-hal selama ini dianggap ”normal” seperti menyuap dalam berbisnis adalah sebuah pelanggaran hukum yang bisa membahayakan kelanggengan korporasi.

Lukas Setia Atmaja
Financial Expert - Prasetiya Mulya Business School
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0811 seconds (0.1#10.140)