Indonesia Darurat Pangan dan Energi
A
A
A
JAKARTA - Badan Intelijen Negara (BIN) mengungkapkan, Indonesia saat ini dalam keadaan darurat pangan dan energi. Bila tidak segera diantisipasi, hal itu bisa berdampak pada keamanan nasional.
Wakil Kepala BIN Mayjen TNI (Purn), Erfi Triassunu mengatakan, pangan dan energi merupakan bagian dari ketahanan sebuah negara. Namun, dari fakta, temuan dan analisis Dewan Analis Strategis (DAS) BIN ketahanan pangan dan energi Indonesia masih lemah. Atas dasar itu, BIN harus memiliki upaya deteksi dan cegah dini. Sekaligus prediksi apa yang harus dikerjakan secara bersama-sama.
"Kalau dikatakan dalam keadaan darurat, ya memang ada. Kita ketahui bersama kebutuhan pangan masih banyak impor. Dampak dari lemahnya ketahanan pangan akan berdampak pada keamanan," ujarnya, saat peluncuran buku Memperkuat Ketahanan Pangan Demi Masa Depan Indonesia serta Ketahanan Energi 2015-2025 Tantangan dan Harapan di Jakarta, Selasa (12/5/2015).
Erfi mengungkapkan, pihaknya telah memberikan data analisis intelijen kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Data tersebut kemudian ditindaklanjuti pemerintah dengan langkah-langkah konkret, seperti program menjadikan Papua, sebagai lumbung padi. Bila ini terwujud maka kebutuhan beras tidak perlu dari daerah lain.
"Kita selalu membuat analisis, mengumpulkan semua data temuan dan sudah kita laporkan ke Bapak Presiden. Itu rutin kami lakukan. Beliau sangat menerima masukan dari kami dan memberikan langkah konkret," terangnya.
Menurut Erfi, kelangkaan pangan dan energi dapat memicu orang untuk berbuat anarkhi dan BIN melalui timnya telah mengumpulkan fakta mengenai kemungkinan adanya gejolak. "Oh itu pasti kita temukan di lapangan. Biasanya orang yang lapar itu cepat emosi. Fakta, temuan itu kita berikan ke DAS BIN, mereka melakukan kajian bersama dengan stake holder lainnya," ujarnya.
Ketua DAS BIN Muhammad AS Hikam mengakui, Indonesia masih memiliki ketergantungan pangan dan energi. Untuk pangan misalnya, ketergantungan negara ini sangat luar biasa. Terbukti, bangsa ini masih impor kedelai dan jagung. Bahkan beras meskipun sudah panen raya.
"Ini menunjukan bahwa, swasembada kita memang masih banyak tantangan. Pemerintah saat ini sedang berusaha menggenjot swasembada pangan. Itu karena, masalah pangan juga menjadi salah satu bagian dari masalah keamanan nasional," ucapnya.
Begitu juga dengan energi, lanjut Hikam, ketersediaan energi di Indonesia hanya hitungan waktu antara 18-20 hari. Berbeda dengan negara-negara di Eropa dimana ketersediaan energi mencapai 90 hari bahkan lebih.
"Jepang ketersediaan energi sampai satu tahun, Singapura satu tahun. Indonesia hanya 18-20 hari. Makanya itu sangat berbahaya bagi keamanan negara. Itu pun lokasi cadangan kita tidak berada di Indonesia, tapi di wilayah singapura. Itu menunjukan pentingnya kita melakukan perbaikan di pengelolaan energi ini," paparnya.
Menurut Hikam, sudah saatnya pemerintah membangun kilang-kilang minyak, menggenjot produksi energi alternatif, selain minyak dan gas. "Jadi kondisi kita cukup memprihatinkan. Kita mendorong penggunaan energi baru dan terbarukan. Jadi, selama ini kita membuat kajian, saran dan solusi kepada pemerintah," tandasnya.
Wakil Kepala BIN Mayjen TNI (Purn), Erfi Triassunu mengatakan, pangan dan energi merupakan bagian dari ketahanan sebuah negara. Namun, dari fakta, temuan dan analisis Dewan Analis Strategis (DAS) BIN ketahanan pangan dan energi Indonesia masih lemah. Atas dasar itu, BIN harus memiliki upaya deteksi dan cegah dini. Sekaligus prediksi apa yang harus dikerjakan secara bersama-sama.
"Kalau dikatakan dalam keadaan darurat, ya memang ada. Kita ketahui bersama kebutuhan pangan masih banyak impor. Dampak dari lemahnya ketahanan pangan akan berdampak pada keamanan," ujarnya, saat peluncuran buku Memperkuat Ketahanan Pangan Demi Masa Depan Indonesia serta Ketahanan Energi 2015-2025 Tantangan dan Harapan di Jakarta, Selasa (12/5/2015).
Erfi mengungkapkan, pihaknya telah memberikan data analisis intelijen kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Data tersebut kemudian ditindaklanjuti pemerintah dengan langkah-langkah konkret, seperti program menjadikan Papua, sebagai lumbung padi. Bila ini terwujud maka kebutuhan beras tidak perlu dari daerah lain.
"Kita selalu membuat analisis, mengumpulkan semua data temuan dan sudah kita laporkan ke Bapak Presiden. Itu rutin kami lakukan. Beliau sangat menerima masukan dari kami dan memberikan langkah konkret," terangnya.
Menurut Erfi, kelangkaan pangan dan energi dapat memicu orang untuk berbuat anarkhi dan BIN melalui timnya telah mengumpulkan fakta mengenai kemungkinan adanya gejolak. "Oh itu pasti kita temukan di lapangan. Biasanya orang yang lapar itu cepat emosi. Fakta, temuan itu kita berikan ke DAS BIN, mereka melakukan kajian bersama dengan stake holder lainnya," ujarnya.
Ketua DAS BIN Muhammad AS Hikam mengakui, Indonesia masih memiliki ketergantungan pangan dan energi. Untuk pangan misalnya, ketergantungan negara ini sangat luar biasa. Terbukti, bangsa ini masih impor kedelai dan jagung. Bahkan beras meskipun sudah panen raya.
"Ini menunjukan bahwa, swasembada kita memang masih banyak tantangan. Pemerintah saat ini sedang berusaha menggenjot swasembada pangan. Itu karena, masalah pangan juga menjadi salah satu bagian dari masalah keamanan nasional," ucapnya.
Begitu juga dengan energi, lanjut Hikam, ketersediaan energi di Indonesia hanya hitungan waktu antara 18-20 hari. Berbeda dengan negara-negara di Eropa dimana ketersediaan energi mencapai 90 hari bahkan lebih.
"Jepang ketersediaan energi sampai satu tahun, Singapura satu tahun. Indonesia hanya 18-20 hari. Makanya itu sangat berbahaya bagi keamanan negara. Itu pun lokasi cadangan kita tidak berada di Indonesia, tapi di wilayah singapura. Itu menunjukan pentingnya kita melakukan perbaikan di pengelolaan energi ini," paparnya.
Menurut Hikam, sudah saatnya pemerintah membangun kilang-kilang minyak, menggenjot produksi energi alternatif, selain minyak dan gas. "Jadi kondisi kita cukup memprihatinkan. Kita mendorong penggunaan energi baru dan terbarukan. Jadi, selama ini kita membuat kajian, saran dan solusi kepada pemerintah," tandasnya.
(dmd)