FTZ Batam Diprediksi Jadi Sentral Manufaktur ASEAN
A
A
A
BATAM - Status Free Trade Zone (FTZ) Batam diprediksi bisa menjadi kekuatan sentral manufaktur di ASEAN, dalam penerapan liberalisasi arus barang dan investasi dalam implementasi MEA 2015, jika mampu membuka peta perdagangan ekspor baru.
Kepala Seksi Impor, Subdit Impor, Ditjen Bea dan Cukai Kemenkeu RI Dwiyono Widodo mengungkapkan dalam kerangka kepabeanan yang berlaku dalam MEA 2015, status FTZ memiliki kelebihan insentif yang bisa menjadi incaran investor di luar ASEAN.
Kesepakatan hambatan tarif dalam kerangka MEA 2015 hanya sebatas penghapusan bea masuk barang hingga 0% bagi negara sesama ASEAN, serta negara non-ASEAN yang terlibat free trade agreement (FTA) dengan kawasan ini.
Selain itu juga diberlakukan pembatasan, wajib regional of origin (ROO) ASEAN dan penerapan 40% konten regional dalam pengolahan.
Sedangkan Batam dengan status FTZ justru sebaliknya. Pemasukan barang ke kawasan ini selain bebas bea masuk juga menerima insentif bebas PPN, PPnBM dan PPh pasal 22. Pemasukan barang juga tidak diperlakukan ketentutan pembatasan, tanpa wajib ROO, regional content dan bebas dari negara mana saja.
"Dari perspektif kepabeanan, Batam unggul. Tetapi harus tahu apa yang harus dilakukan, yakni dengan ekspor sebanyak-banyaknya karena bisa impor dari mana saja sehingga bisa produksi untuk siapa saja," ujarnya di Batam, Jumat (22/5/2015)
Menurutnya, dengan keunggulan itu wajar saja jika negara non-ASEAN dalam MEA nanti mencari lokasi basis produksi yang memberikan kemudahan arus barang untuk mengincar pasar di kawasan ini.
Lembaga pengelola FTZ BP Batam juga dinilai harus menyiapkan langkah untuk menambah industri yang berorientasi ekspor yang selama ini didominasi ke Singapura.
Sebagai gambaran peta perdagangan ekspor Batam di kawasan ASEAN masih didominasi Singapura di kisaran USD800 juta hingga pertengahan tahun lalu dan Malaysia USD93 juta. Sementara sisa tujuan ekspor yakni AS, Jepang, Australia, China, Korsel, Belanda, UAE dan Spanyol, sebagai 10 negara tujuan ekspor terbesar.
"Batam harus ingat bahwa saat MEA, kota ini bisa impor dari mana saja. Ekspor bukan hanya ke Singapura," imbuh dia.
Sementara itu, Direktur Komersial dan Pengembangan Usaha Pelindo II Saptono R Irianto mengungkapkan, kesiapan sektor pelabuhan di Batam juga harus menjadi perhatian melalui kesiapan menampung kapal ukuran besar, dengan pendalaman alur laut lebih dari 14 meter. BP Batam juga harus mewujudkan pelabuhan internasional.
Terlebih, saat ini pasar kargo dunia melintasi China dan Asia Tenggara hingga 70% atau sekitar 60 juta TEUs. Namun kendalanya saat ini adalah mahalnya biaya logistik dan lamanya waktu sandar kapal (dwelling time).
"Kalau pelabuhan di Batam tidak siap, kapal-kapal itu ke negara tetangga. Industri juga ke tetangga jadi tidak boleh lengah," pungkas Saptono.
Kepala Seksi Impor, Subdit Impor, Ditjen Bea dan Cukai Kemenkeu RI Dwiyono Widodo mengungkapkan dalam kerangka kepabeanan yang berlaku dalam MEA 2015, status FTZ memiliki kelebihan insentif yang bisa menjadi incaran investor di luar ASEAN.
Kesepakatan hambatan tarif dalam kerangka MEA 2015 hanya sebatas penghapusan bea masuk barang hingga 0% bagi negara sesama ASEAN, serta negara non-ASEAN yang terlibat free trade agreement (FTA) dengan kawasan ini.
Selain itu juga diberlakukan pembatasan, wajib regional of origin (ROO) ASEAN dan penerapan 40% konten regional dalam pengolahan.
Sedangkan Batam dengan status FTZ justru sebaliknya. Pemasukan barang ke kawasan ini selain bebas bea masuk juga menerima insentif bebas PPN, PPnBM dan PPh pasal 22. Pemasukan barang juga tidak diperlakukan ketentutan pembatasan, tanpa wajib ROO, regional content dan bebas dari negara mana saja.
"Dari perspektif kepabeanan, Batam unggul. Tetapi harus tahu apa yang harus dilakukan, yakni dengan ekspor sebanyak-banyaknya karena bisa impor dari mana saja sehingga bisa produksi untuk siapa saja," ujarnya di Batam, Jumat (22/5/2015)
Menurutnya, dengan keunggulan itu wajar saja jika negara non-ASEAN dalam MEA nanti mencari lokasi basis produksi yang memberikan kemudahan arus barang untuk mengincar pasar di kawasan ini.
Lembaga pengelola FTZ BP Batam juga dinilai harus menyiapkan langkah untuk menambah industri yang berorientasi ekspor yang selama ini didominasi ke Singapura.
Sebagai gambaran peta perdagangan ekspor Batam di kawasan ASEAN masih didominasi Singapura di kisaran USD800 juta hingga pertengahan tahun lalu dan Malaysia USD93 juta. Sementara sisa tujuan ekspor yakni AS, Jepang, Australia, China, Korsel, Belanda, UAE dan Spanyol, sebagai 10 negara tujuan ekspor terbesar.
"Batam harus ingat bahwa saat MEA, kota ini bisa impor dari mana saja. Ekspor bukan hanya ke Singapura," imbuh dia.
Sementara itu, Direktur Komersial dan Pengembangan Usaha Pelindo II Saptono R Irianto mengungkapkan, kesiapan sektor pelabuhan di Batam juga harus menjadi perhatian melalui kesiapan menampung kapal ukuran besar, dengan pendalaman alur laut lebih dari 14 meter. BP Batam juga harus mewujudkan pelabuhan internasional.
Terlebih, saat ini pasar kargo dunia melintasi China dan Asia Tenggara hingga 70% atau sekitar 60 juta TEUs. Namun kendalanya saat ini adalah mahalnya biaya logistik dan lamanya waktu sandar kapal (dwelling time).
"Kalau pelabuhan di Batam tidak siap, kapal-kapal itu ke negara tetangga. Industri juga ke tetangga jadi tidak boleh lengah," pungkas Saptono.
(izz)