Menakar Efektivitas Program Sejuta Rumah

Rabu, 27 Mei 2015 - 09:57 WIB
Menakar Efektivitas...
Menakar Efektivitas Program Sejuta Rumah
A A A
Pada 29 April 2015, pemerintah meluncurkan program sejuta rumah di Ungaran, Jawa Tengah. Program tersebut merupakan harapan baru bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Apa saja yang patut dipertimbangkan untuk mewujudkan mimpi itu dengan mulus? Bagaimana tingkat penyaluran properti? Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia (SEKI) yang terbit pada Mei 2015 menunjukkan kredit perbankan ke sektor properti naik 16,69% dari Rp479,85 triliun per Maret 2014 menjadi Rp559,95 triliun per Maret 2015.

Total kredit Rp559,95 triliun itu meliputi kredit konstruksi Rp148,89 triliun (26,59%), kredit real estate Rp90,65 triliun (16,19%) serta KPR dan KPA (kredit pemilikan apartemen) Rp320,41 triliun (57,22%). Inilah perincian pertumbuhan: kredit konstruksi melejit 28,70% dari Rp115,69 triliun per Maret 2014 menjadi Rp148,89 triliun per Maret 2015. Kredit real estate melesat 14,18% dari Rp79,39 triliun menjadi Rp90,65 triliun. Sebaliknya, KPR dan KPA hanya merangkak naik 12,51% dari Rp284,78 triliun Rp320,41 triliun pada periode yang sama.

Madu dan Racun

Lagi-lagi apa saja yang wajib dipertimbangkan? Madu dan racun. Pertama , masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) berharap dapat mewujudkan mimpi untuk memiliki rumah yang layak huni. Untuk menggenjot KPR dengan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP), pemerintah menurunkan suku bunga dari 7,25% menjadi 5% dengan tenor kredit sampai 20 tahun.

KPR model FLPP itu dirancang khusus untuk MBR. Pemerintah juga menurunkan uang muka menjadi 1%. Bahkan pemerintah akan memperlonggar aturan loan to value (LTV) mengingat pertumbuhan KPR dan KPA yang lambat. Sebelumnya pada 15 Maret 2012, Bank Indonesia (BI) menerbitkan Surat Edaran Nomor 14/10/DPNP tentang LTV untuk KPR dan Uang Muka Kredit Kendaraan Bermotor bagi Bank Umum.

Pada saat bersamaan, terbit pula Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK/0.10/2012 pada 15 Maret 2012 tentang Uang Muka Pembiayaan Konsumen untuk Kendaraan Bermotor pada Perusahaan Pembiayaan. Aturan LTV yang efektif 15 Juni 2012 bagi multifinance (perusahaan pembiayaan) itu bertujuan melakukan mitigasi risiko pembiayaan dan meningkatkan prinsip kehati-hatian sehingga tak terjadi gelembung (bubble ).

Kedua , gairah sektor properti akan mendorong bisnis lainnya untuk ikut bergairah. Katakanlah bisnis semen, pasir, genteng, batu kali, batu bata, kayu (kusen pintu, daun pintu, kusen jendela, daun jendela), mebel, besi beton, pagar besi, teralis, paku, listrik, kabel, lampu dan cat. Meski demikian, ketiga , pemerintah perlu mencermati potensi risiko.

Pada 17 November 2014, pemerintah menaikkan harga BBM Rp2.000. Kebijakan itu mendorong inflasi dari 6,23% per November 2014 menjadi 8,36% per Desember 2014. Dan inflasi mulai lebih jinak 6,96% per Januari 2015 dan 6,29% per Februari 2015. Celakanya, inflasi naik lagi menjadi 6,38% dan 6,79% per Maret dan April 2015. Kenaikan inflasi itu telah menampar daya beli masyarakat.

Hal ini merupakan tamparan ganda yakni menekan pertumbuhan tabungan dan deposito dan mengerem pengambilan kredit seperti KPR. Bahkan nasabah (lama) KPR pun akan terbebani biaya kenaikan angsuran KPR. Ini terjadi ketika kenaikan suku bunga acuan BI Rate yang naik menjadi 7,75% per 18 November 2014 itu mendorong kenaikan suku bunga KPR.

Dengan bahasa lebih bening, inilah hambatan kunci bagi keberhasilan program sejuta rumah yang meliputi 603.516 unit rumah untuk MBR dan 396.484 unit rumah untuk non-MBR (komersial). Ditambah lagi, BI Rate tetap bertahan 7,5% per 19 Mei 2015. Keempat , lambatnya pengadaan tanah untuk pembangunan rumah. Ini merupakan masalah klasik yang terus terjadi hingga kini sehingga menghambat pembangunan rumah.

Hambatan yang sama juga terjadi pada proyek infrastruktur seperti pembangkit tenaga listrik, jalan tol, jalan kereta api, bandara, pelabuhan laut, irigasi dan jembatan. Oleh karena itu, pemerintah wajib menerapkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40/2014 efektif awal 2015 yang merupakan revisi Perpres Nomor 71 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum.

Jika belum berjalan optimal, pemerintah harus melakukan revitalisasi perpres itu agar berjalan efektif dan efisien. Hal itu penting dan mendesak saat ini untuk memperlancar program sejuta rumah sekaligus proyek infrastruktur yang terus didesak untuk lebih cepat terwujud. Terlebih percepatan pembangunan infrastruktur akan memberikan efek ganda (muliplier effect ) bagi investor global sehingga lebih tertarik untuk menanamkan modal di Indonesia.

Selain itu, infrastruktur yang baik akan mendorong kelancaran distribusi atau arus barang sehingga mampu menekan tingkat inflasi. Bank nasional dan perusahaan pembiayaan wajib mempertimbangkan potensi risiko yang tersimpan di dalamnya (inherent risks ). Apa bentuknya? Uang muka yang 1% itu memang akan menarik banyak peminat.

Tapi harap selalu ingat bahwa makin kecil uang muka akan makin tinggi uang angsuran. Hal tersebut akan memberatkan nasabah dalam membayar angsuran bulanan terlebih pada kondisi likuiditas ketat seperti saat ini. Pembayaran angsuran yang kurang lancar itu akan mendorong kenaikan rasio kredit bermasalah (non-performing loan /NPL) mengingat daya beli yang makin melemah.

Paul Sutaryono
Pengamat Perbankan dan Mantan Assistant Vice President BNI
(ftr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6127 seconds (0.1#10.140)