Kesejahteraan Petani Terus Menurun
A
A
A
JAKARTA - Tingkat kesejahteraan petani secara nasional terus menurun. Hal tersebut ditandai dengan semakin rendahnya nilai tukar petani (NTP) dalam tiga bulan terakhir.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, meski masih di atas angka 100, NTP pada Mei 2015 yang berada di level 100,02 menurun 0,12% secara bulanan (month to month) dibanding April 2015 yakni 100,14. Sementara, NTP Maret 2015 sebesar 101,53. ”Penurunan NTP dikarenakan kenaikan indeks harga hasil produksi pertanian lebih kecil dibandingkan kenaikan indeks harga barang dan jasa yang dikonsumsi,” kata Kepala BPS Suryamin di Jakarta kemarin.
Suryamin menyebutkan, secara umum penurunan NTP terjadi di tiga subsektor pertanian, yaitu tanaman pangan (turun 0,67%), peternakan (turun 0,11%), dan perikanan (turun 0,12%). Dua subsektor lainnya mengalami peningkatan yaitu hortikultura (naik 0,40%) dan tanaman perkebunan rakyat (naik 0,21%).
Suryamin memaparkan, sektor tanaman pangan yang mengalami penurunan terbesar disebabkan turunnya indeks harga yang diterima petani untuk tanaman padi sebesar 0,22%. Sementara, tanaman palawija naik sebesar 0,12%. ”Tapi, indeks harga yang harus dibayar petani sebesar 0,55%,” ucap dia.
Berdasarkan sebaran wilayah, sebanyak 17 provinsi mengalami penurunan NTP, sementara 15 provinsi mengalami kenaikan NTP, sedangkan satu provinsi relatif stabil. Penurunan NTP tertinggi terjadi di Provinsi Riau sebesar 1,24%. Kenaikan NTP tertinggi terjadi di provinsi Nusa Tenggara Barat sebesar 1,22%.
Adapun, satusatunya provinsi yang NTP-nya stabil adalah Bali. Pakar pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa mengatakan, terus menurunnya tingkat kesejahteraan petani disebabkan oleh orientasi kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada petani, terutama petani tanaman pangan.
”Banyak program yang hanya dikhususkan untuk peningkatan produksi tetapi tidak dibuat untuk meningkatkan kesejahteraan petani,” katanya. Andreas mencontohkan kebijakan penerapan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah di bawah tingkat inflasi. Menurut dia, kebijakan tersebut hanya membuat petani menderita. ”Begitu juga dengan kebijakan pemberian traktor dan perbaikan irigasi,” ucap dia.
Menurut Andreas, pemerintah selama ini menerapkan kebijakan yang bersifat top-down dan seolah-olah mengetahui kebutuhan petani. Dia pun pesimistis kebijakan peningkatan produksi pangan akan berhasil apabila tidak dibarengi kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
”Kalau pemerintah terus melakukan hal-hal yang sama, saya pastikan gagal. Kalau petani sejahtera, otomatis produksi akan meningkat, petani bersemangat, dan anak-anak muda tertarik untuk masuk dalam sektor pertanian,” jelasnya.
Kebijakan peningkatan kesejahteraan petani yang Andreas maksudkan adalah kebijakan perlindungan harga di level usaha tani dan pengalihan subsidi pertanian, seperti pupuk dan benih dalam bentuk transfer uang tunai langsung ke petani.
Rahmat fiansyah
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, meski masih di atas angka 100, NTP pada Mei 2015 yang berada di level 100,02 menurun 0,12% secara bulanan (month to month) dibanding April 2015 yakni 100,14. Sementara, NTP Maret 2015 sebesar 101,53. ”Penurunan NTP dikarenakan kenaikan indeks harga hasil produksi pertanian lebih kecil dibandingkan kenaikan indeks harga barang dan jasa yang dikonsumsi,” kata Kepala BPS Suryamin di Jakarta kemarin.
Suryamin menyebutkan, secara umum penurunan NTP terjadi di tiga subsektor pertanian, yaitu tanaman pangan (turun 0,67%), peternakan (turun 0,11%), dan perikanan (turun 0,12%). Dua subsektor lainnya mengalami peningkatan yaitu hortikultura (naik 0,40%) dan tanaman perkebunan rakyat (naik 0,21%).
Suryamin memaparkan, sektor tanaman pangan yang mengalami penurunan terbesar disebabkan turunnya indeks harga yang diterima petani untuk tanaman padi sebesar 0,22%. Sementara, tanaman palawija naik sebesar 0,12%. ”Tapi, indeks harga yang harus dibayar petani sebesar 0,55%,” ucap dia.
Berdasarkan sebaran wilayah, sebanyak 17 provinsi mengalami penurunan NTP, sementara 15 provinsi mengalami kenaikan NTP, sedangkan satu provinsi relatif stabil. Penurunan NTP tertinggi terjadi di Provinsi Riau sebesar 1,24%. Kenaikan NTP tertinggi terjadi di provinsi Nusa Tenggara Barat sebesar 1,22%.
Adapun, satusatunya provinsi yang NTP-nya stabil adalah Bali. Pakar pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa mengatakan, terus menurunnya tingkat kesejahteraan petani disebabkan oleh orientasi kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada petani, terutama petani tanaman pangan.
”Banyak program yang hanya dikhususkan untuk peningkatan produksi tetapi tidak dibuat untuk meningkatkan kesejahteraan petani,” katanya. Andreas mencontohkan kebijakan penerapan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah di bawah tingkat inflasi. Menurut dia, kebijakan tersebut hanya membuat petani menderita. ”Begitu juga dengan kebijakan pemberian traktor dan perbaikan irigasi,” ucap dia.
Menurut Andreas, pemerintah selama ini menerapkan kebijakan yang bersifat top-down dan seolah-olah mengetahui kebutuhan petani. Dia pun pesimistis kebijakan peningkatan produksi pangan akan berhasil apabila tidak dibarengi kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
”Kalau pemerintah terus melakukan hal-hal yang sama, saya pastikan gagal. Kalau petani sejahtera, otomatis produksi akan meningkat, petani bersemangat, dan anak-anak muda tertarik untuk masuk dalam sektor pertanian,” jelasnya.
Kebijakan peningkatan kesejahteraan petani yang Andreas maksudkan adalah kebijakan perlindungan harga di level usaha tani dan pengalihan subsidi pertanian, seperti pupuk dan benih dalam bentuk transfer uang tunai langsung ke petani.
Rahmat fiansyah
(ftr)