Gairah Multifinance Menggarap Properti
A
A
A
Sungguh, perusahaan pembiayaan (multifinance) berkembang pesat. Kini multifinance mulai melirik pembiayaan properti. Bagaimana prospek multifinance dalam menggarap properti? Bagaimana kinerja multifinance?
Menurut Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia (SEKI), pertumbuhan pembiayaan didominasi pembiayaan kartu kredit yang mengorbit 680% dari Rp5 miliar per April 2014 menjadi Rp39 miliar per April 2015. Kemudian menyusul kinerja anjak piutang (factoring) yang melesat 17,23% dari Rp8,24 triliun menjadi Rp9,66 triliun.
Kinerja gemerincing itu disusul pembiayaan konsumen yang naik 7,01% dari Rp230,82 triliun menjadi Rp246,99 triliun. Sementara, pembiayaan guna usaha (leasing) merosot 2% dari Rp114,25 triliun menjadi Rp111,96 triliun pada periode yang sama. Inilah rapor multifinance hingga April 2015. Apakah pertumbuhan ekonomi nasional yang “hanya” 4,71% per kuartal I/2015 jauh dari target 5,7% pada 2015 berdampak pada multifinance?
Ternyata perlambatan ekonomi nasional itu telah menampar keras produsen motor (mobil dan sepeda motor). Data Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia menunjukkan produksi sepeda motor Suzuki terjun bebas 77,70% dari 103.263 unit per April 2014 menjadi 23.029 unit per April 2015. Begitu pula Yamaha anjlok 25,15% dari 875.100 unit menjadi 654.986 unit, Honda menurun 11,73% dari 1.677.087 unit per April 2014 menjadi 1.480.323 unit per April 2015.
Sebaliknya, TVS masih mampu mendongkrak produksi sepeda motor 26,40% dari 4.049 unit menjadi 5.118 unit, sedangkan Kawasaki naik 7,94% dari 40.262 unit menjadi 43.458 unit. Sementara itu, tren penjualan mobil tampak merosot dari 106.052 unit menjadi 81.600 unit pada periode yang sama.
Bahkan, para produsen sepeda motor mulai “menginjak rem” dengan mengurangi produksi. Efeknya, jam kerja para pekerja juga dipangkas (Harian Kontan, 27 Mei 2015). Untunglah, Bank Indonesia (BI) segera melonggarkan aturan loan to value (LTV) untuk kredit pemilikan rumah (KPR), termasuk kredit pemilikan apartemen (KPA), dan kredit kendaraan bermotor (KKB). Sangat diharapkan pelonggaran LTV akan mendongkrak kinerja multifinance agar lebih baik.
Aneka Pertimbangan
Kini beberapa multifinance mulai menggarap properti sebagai bisnis baru yang diprediksi akan cemerlang dua tiga bulan mendatang setelah pelonggaran LTV terbit pada awal Juni 2015. Lantas, bagaimana prospek multifinance dalam menggarap properti? Faktor apa saja yang layak dipertimbangkan supaya panen raya?
Pertama, properti merupakan peluang bisnis baru. Properti bagi multifinance merupakan ladang rezeki yang subur. Mengapa? Itu karena belum banyak pemain. Sebut saja MNC Finance, Finansia Multifinance, Ciptadana Multifinance, Indomobil Multifinance, dan Buana Finance. Ini prospek bisnis yang menjanjikan.
Multifinance tersebut masih membiayai properti, terutama KPR dengan tenor pendek maksimal lima tahun. Hal itu dapat dimaklumi mengingat makin panjang tenor, makin tinggi pula potensi risiko yang bakal dihadapi. Langkah itu masuk akal lantaran multifinance belum memiliki pengalaman cukup panjang dalam bisnis properti yang sebagian besar bertenor lebih dari lima tahun.
Selama ini KPR memiliki tenor berkisar 10-20 tahun. Kondisi ini mencerminkan daya beli (purchasing power) konsumen (baca: masyarakat) yang belum kuat. Apalagi inflasi terus menanjak dari 6,79% per April 2015 menjadi 7,15% per Mei 2015. Saat ini makin banyak peluang bisnis yang ditawarkan regulator.
Tengok saja Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Peraturan POJK Nomor 29/POJK.05/2014 telah memperluas lini bisnis multifinance. Perluasan tersebut meliputi pembiayaan investasi, modal kerja, multiguna dan infrastruktur. Bahkan, multifinance ditantang untuk sanggup membiayai proyek infrastruktur dengan syarat memiliki modal lebih dari Rp1 triliun.
Jangan lupa proyek infrastruktur memiliki tenor minimal lima tahun ke atas sehingga berpotensi risiko tinggi. Kedua, mengerek modal. Untuk mampu menghadapi berbagai tantangan tersebut, multifinance wajib mengerek modal. Modal merupakan elemen penting dan mendesak bagi multifinance untuk menghadapi persaingan yang makin sengit. Lebih dari itu, modal merupakan tameng untuk mampu menepis aneka potensi risiko kredit, operasional, pasar, dan likuiditas.
Oleh karena itu, multifinance dapat menawarkan saham perdana (initial public offering/IPO), menerbitkan obligasi subordinasi (subdebt), atau dana segar (fresh fund) dari pemegang saham pengendali. Selama ini modal multifinance bersumber dari bank dan bukan bank serta obligasi.
Pada prinsipnya tambahan modal itu bukan hanya untuk ekspansi bisnis, juga untuk memenuhi persyaratan modal minimum multifinance Rp100 miliar. Meskipun pemenuhan persyaratan itu dapat dilakukan secara bertahap hingga 2019, semestinya hal itu sudah masuk pada rencana bisnis multifinance setiap tahun.
Paul Sutaryono
Pengamat Perbankan, mantan Assistant Vice President BNI & alumnus MM-UGM
Menurut Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia (SEKI), pertumbuhan pembiayaan didominasi pembiayaan kartu kredit yang mengorbit 680% dari Rp5 miliar per April 2014 menjadi Rp39 miliar per April 2015. Kemudian menyusul kinerja anjak piutang (factoring) yang melesat 17,23% dari Rp8,24 triliun menjadi Rp9,66 triliun.
Kinerja gemerincing itu disusul pembiayaan konsumen yang naik 7,01% dari Rp230,82 triliun menjadi Rp246,99 triliun. Sementara, pembiayaan guna usaha (leasing) merosot 2% dari Rp114,25 triliun menjadi Rp111,96 triliun pada periode yang sama. Inilah rapor multifinance hingga April 2015. Apakah pertumbuhan ekonomi nasional yang “hanya” 4,71% per kuartal I/2015 jauh dari target 5,7% pada 2015 berdampak pada multifinance?
Ternyata perlambatan ekonomi nasional itu telah menampar keras produsen motor (mobil dan sepeda motor). Data Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia menunjukkan produksi sepeda motor Suzuki terjun bebas 77,70% dari 103.263 unit per April 2014 menjadi 23.029 unit per April 2015. Begitu pula Yamaha anjlok 25,15% dari 875.100 unit menjadi 654.986 unit, Honda menurun 11,73% dari 1.677.087 unit per April 2014 menjadi 1.480.323 unit per April 2015.
Sebaliknya, TVS masih mampu mendongkrak produksi sepeda motor 26,40% dari 4.049 unit menjadi 5.118 unit, sedangkan Kawasaki naik 7,94% dari 40.262 unit menjadi 43.458 unit. Sementara itu, tren penjualan mobil tampak merosot dari 106.052 unit menjadi 81.600 unit pada periode yang sama.
Bahkan, para produsen sepeda motor mulai “menginjak rem” dengan mengurangi produksi. Efeknya, jam kerja para pekerja juga dipangkas (Harian Kontan, 27 Mei 2015). Untunglah, Bank Indonesia (BI) segera melonggarkan aturan loan to value (LTV) untuk kredit pemilikan rumah (KPR), termasuk kredit pemilikan apartemen (KPA), dan kredit kendaraan bermotor (KKB). Sangat diharapkan pelonggaran LTV akan mendongkrak kinerja multifinance agar lebih baik.
Aneka Pertimbangan
Kini beberapa multifinance mulai menggarap properti sebagai bisnis baru yang diprediksi akan cemerlang dua tiga bulan mendatang setelah pelonggaran LTV terbit pada awal Juni 2015. Lantas, bagaimana prospek multifinance dalam menggarap properti? Faktor apa saja yang layak dipertimbangkan supaya panen raya?
Pertama, properti merupakan peluang bisnis baru. Properti bagi multifinance merupakan ladang rezeki yang subur. Mengapa? Itu karena belum banyak pemain. Sebut saja MNC Finance, Finansia Multifinance, Ciptadana Multifinance, Indomobil Multifinance, dan Buana Finance. Ini prospek bisnis yang menjanjikan.
Multifinance tersebut masih membiayai properti, terutama KPR dengan tenor pendek maksimal lima tahun. Hal itu dapat dimaklumi mengingat makin panjang tenor, makin tinggi pula potensi risiko yang bakal dihadapi. Langkah itu masuk akal lantaran multifinance belum memiliki pengalaman cukup panjang dalam bisnis properti yang sebagian besar bertenor lebih dari lima tahun.
Selama ini KPR memiliki tenor berkisar 10-20 tahun. Kondisi ini mencerminkan daya beli (purchasing power) konsumen (baca: masyarakat) yang belum kuat. Apalagi inflasi terus menanjak dari 6,79% per April 2015 menjadi 7,15% per Mei 2015. Saat ini makin banyak peluang bisnis yang ditawarkan regulator.
Tengok saja Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Peraturan POJK Nomor 29/POJK.05/2014 telah memperluas lini bisnis multifinance. Perluasan tersebut meliputi pembiayaan investasi, modal kerja, multiguna dan infrastruktur. Bahkan, multifinance ditantang untuk sanggup membiayai proyek infrastruktur dengan syarat memiliki modal lebih dari Rp1 triliun.
Jangan lupa proyek infrastruktur memiliki tenor minimal lima tahun ke atas sehingga berpotensi risiko tinggi. Kedua, mengerek modal. Untuk mampu menghadapi berbagai tantangan tersebut, multifinance wajib mengerek modal. Modal merupakan elemen penting dan mendesak bagi multifinance untuk menghadapi persaingan yang makin sengit. Lebih dari itu, modal merupakan tameng untuk mampu menepis aneka potensi risiko kredit, operasional, pasar, dan likuiditas.
Oleh karena itu, multifinance dapat menawarkan saham perdana (initial public offering/IPO), menerbitkan obligasi subordinasi (subdebt), atau dana segar (fresh fund) dari pemegang saham pengendali. Selama ini modal multifinance bersumber dari bank dan bukan bank serta obligasi.
Pada prinsipnya tambahan modal itu bukan hanya untuk ekspansi bisnis, juga untuk memenuhi persyaratan modal minimum multifinance Rp100 miliar. Meskipun pemenuhan persyaratan itu dapat dilakukan secara bertahap hingga 2019, semestinya hal itu sudah masuk pada rencana bisnis multifinance setiap tahun.
Paul Sutaryono
Pengamat Perbankan, mantan Assistant Vice President BNI & alumnus MM-UGM
(ftr)