Perdebatan yang Memancing Emosi

Senin, 22 Juni 2015 - 10:48 WIB
Perdebatan yang Memancing Emosi
Perdebatan yang Memancing Emosi
A A A
Suatu ketika, di sebuah pasar di perbatasan desa menuju kerajaan, terjadi perdebatan antara dua orang pemuda. Mereka tampak berargumen serius.

Adu mulut mereka semakin lama semakin panas. ”Sudah kubilang, anjing itu kakinya pasti empat!” seru pemuda yang pertama. ”Nggak! Yang aku lihat kemarin itu, anjing kakinya dua!” seru si pemuda kedua tak kalah galaknya. Mereka berdua terus mempertahankan pendapatnya satu sama lain. Hingga akhirnya, saking jengkel karena tak ada yang mengaku benar dan salah, mereka pun berkelahi.

Pasar itu pun heboh karena perkelahian itu berakibat rusaknya beberapa lapak pedagang di sana. Orang-orang pun mencoba melerai mereka. Tapi, meski sudah dipisahkan, mereka tetap adu mulut. Melihat perdebatan tak ada habisnya itu, mereka pun segera dibawa ke hakim kerajaan yang terkenal sangat adil dan bijaksana. Banyak keputusankeputusan sulit berhasil dipecahkan dengan jawaban yang memuaskan semua pihak.

Tetua desa yang membawa kedua pemuda itu berkata, ”Tuan Hakim, mohon berikan hukuman seadil-adilnya kepada mereka berdua yang telah berbuat onar di desa kami.” ”Sebelum aku bisa memutuskan perkara ini, sebenarnya, apa masalah yang mendasari pertengkaran kalian?” tanya hakim bijak. Pemuda pertama langsung menyahut,”Tuan hakim, pemuda ini mengatakan kalau anjing itu kakinya dua. Mana mungkin? Jelas dia mimpi di siang bolong.”

Pemuda kedua lantas menjawab, ”Saya berani sumpah, yang saya lihat itu anjing kakinya dua. Pasti dia yang salah, karena saya melihat dengan mata sendiri!” Sang hakim tampak termenung sejenak mendengar pertengkaran yang terkesan sepele itu. Namun, tak lama ia pun segera memberikan keputusannya.

”Sebagai hakim yang bertugas, maka aku memberikan keputusan berikut. Kamu pemuda yang menyebut anjing kakinya empat, aku putuskan hukuman penjara satu minggu. Lalu, kamu pemuda yang mengaku melihat anjing berkaki dua, aku nyatakan bebas.

Tapi, kamu harus mengganti biaya kerusakan yang kamu timbulkan di pasar.” Pemuda kedua bersorak kegirangan karena merasa dimenangkan sang hakim. ”Baiklah, aku akan mengganti semua kerusakan yang timbul akibat perdebatan kami tadi. Terima kasih, Pak Hakim,” sebutnya sembari berlalu.

Beberapa orang yang hadir mengikuti jalannya sidang tertegun mendengar keputusan tersebut. Namun, karena sang hakim memang dikenal bijaksana, mereka pun tak berani memprotes. Meski begitu, yang sangat tak bisa memahami keputusan itu adalah pemuda pertama.

Menurutnya, sang hakim sudah membuat kesalahan yang sangat besar. Karena itu, ia memutuskan untuk menggugat balik sang hakim. Malam hari, di penjara, ia dikunjungi oleh sang hakim. Kesempatan itu pun tak disiasiakannya. Kata-kata pedas segera dilontarkannya. ”Tak pantas lagi aku panggil engkau dengan panggilan tuan terhormat! Seorang tuan pasti punya kebijaksanaan yang tinggi. Tapi, mengapa engkau malah menjebloskanku yang tak bersalah ini ke penjara?” ujarnya penuh emosi.

Sang hakim menerima cacian itu dengan kepala dingin. Setelah sang pemuda lelah akibat kemarahannya, barulah sang hakim bicara. ”Anak muda, emosimulah yang membuat kamu masuk ke penjara ini. Semua orang juga tahu bahwa anjing itu berkaki empat. Tapi, mengapa kamu malah meladeni orang yang jelas-jelas salah karena kebodohannya? Apa yang kamu lakukan itu, berdebat sampai berkelahi, sangat memalukan.

Maka, aku menghukum kamu karena menghabiskan waktu yang berharga demi melayani orang yang tak seharusnya kamu ladeni.” ”Kedua, emosi kamu yang tak pada tempatnya itu bisa mencelakakan bukan hanya dirimu, tapi juga orang lain. Belajarlah selama seminggu ini di penjara ini, untuk merenungkan kesalahanmu.”

The Cup of Wisdom

Kadang kita acap menghabiskan waktu demi meladeni komentar-komentar yang sebenarnya tak perlu diperpanjang. Kita melihat sesuatu yang kurang berkenan, segera emosi meluap. Saat melihat sesuatu beda sedikit dengan yang kita yakini, sudah meradang ingin menyerang. Saat ada yang berlawanan, keburu ingin membungkam.

Padahal, jika mau berpikir lebih jernih, tak perlu menanggapi semua dengan emosi. Jika mau berjiwa lapang, banyak persoalan berawal dari perbedaan, justru melahirkan harmonisasi yang mencerahkan. Jika mau mengalah, tak bakal muncul masalah. Agar tidak berkepanjangan dan memancing emosi, ada baiknya kita mempertanyakan pada diri sendiri. Apakah topik yang sedang dibahas memang bermanfaat bagi kita?

Apakah yang sedang menjadi pembahasan memang hal yang punya dampak langsung bagi kita. Jika memang tidak, buka hati, lapangkan jiwa, segera beralih ke topik pembicaraan yang lebih membawa manfaat. Atau, segera beralih kepada kegiatan yang membawa kebaikan. Dengan begitu, waktu yang kita miliki benar-benar membawa keberkahan. Salam sukses, luar biasa!

Adrie Wongso
(ftr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7998 seconds (0.1#10.140)