Menkeu Teken Komitmen Pengendalian Gratifikasi
A
A
A
JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro melakukan penandatanganan komitmen pengendalian gratifikasi di lingkungan masyarakat maupun pemerintahan.
Hal ini dilakukan karena banyaknya kebiasaan masyarakat yang yang memberikan uang atau barang kepada aparat atau petugas.
Dia mengatakan, pada dasarnya gratifikasi merupakan bentuk rasa terima kasih pihak tertentu kepada aparat atau pejabat pemerintah, yang bisa memicu tindakan negatif.
"Ada kebiasaan di masyarakat berupa tanda terima kasih kepada aparat atau petugas baik barang atau uang, di mana jasa itu kewajiban. Pemberian kepada aparat inilah gratifikasi. Ini kebiasaan negatif dan memicu perilaku koruptif di kemudian hari. Inilah yang ingin kami cegah," kata dia di Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (24/6/2015).
Di Kementerian ESDM, dia menjelaskan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2011 melakukan survei pemahaman gratifikasi bahwa 31% masyarakat belum tahu kegiatan tersebut masuk dalam kegiatan korupsi.
"Maka perlu pemahaman partisipasi aktif dari masyarakat dan stakeholder. Upaya pengendalian gratifikasi hendak diberi perhatian yang sama," ujarnya.
Di sinilah, imbuh Bambang, peran aparatur negara yang harus tegas menolak atau melaporkan pemberian hadiah bila berhubungan dengan jabatan.
"Selain pelaporan itu, kita juga harus sosialisasi seluas-luasnya. Belum lama ini, presiden (Jokowi) pada acara pernikahan anaknya, beliau umumkan tidak boleh memberi hadiah. Ini teladan yang bisa kita tiru sebagai aparatur negara," tegasnya.
Dengan adanya kegiatan ini akan tercermin birokrasi yang baik dan pemerintahan yang bersih ke depannya.
"Birokrasi berbenah diri untuk ciptakan clean governance. Reformasi birokrasi menampakan hasil penyederhanaan dan perbaikan etika. Kini kita melangkah lebih dalam agar tubuh birokrasi bebas korupsi dari pengendalian gratifikasi ini," pungkas dia.
Hal ini dilakukan karena banyaknya kebiasaan masyarakat yang yang memberikan uang atau barang kepada aparat atau petugas.
Dia mengatakan, pada dasarnya gratifikasi merupakan bentuk rasa terima kasih pihak tertentu kepada aparat atau pejabat pemerintah, yang bisa memicu tindakan negatif.
"Ada kebiasaan di masyarakat berupa tanda terima kasih kepada aparat atau petugas baik barang atau uang, di mana jasa itu kewajiban. Pemberian kepada aparat inilah gratifikasi. Ini kebiasaan negatif dan memicu perilaku koruptif di kemudian hari. Inilah yang ingin kami cegah," kata dia di Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (24/6/2015).
Di Kementerian ESDM, dia menjelaskan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2011 melakukan survei pemahaman gratifikasi bahwa 31% masyarakat belum tahu kegiatan tersebut masuk dalam kegiatan korupsi.
"Maka perlu pemahaman partisipasi aktif dari masyarakat dan stakeholder. Upaya pengendalian gratifikasi hendak diberi perhatian yang sama," ujarnya.
Di sinilah, imbuh Bambang, peran aparatur negara yang harus tegas menolak atau melaporkan pemberian hadiah bila berhubungan dengan jabatan.
"Selain pelaporan itu, kita juga harus sosialisasi seluas-luasnya. Belum lama ini, presiden (Jokowi) pada acara pernikahan anaknya, beliau umumkan tidak boleh memberi hadiah. Ini teladan yang bisa kita tiru sebagai aparatur negara," tegasnya.
Dengan adanya kegiatan ini akan tercermin birokrasi yang baik dan pemerintahan yang bersih ke depannya.
"Birokrasi berbenah diri untuk ciptakan clean governance. Reformasi birokrasi menampakan hasil penyederhanaan dan perbaikan etika. Kini kita melangkah lebih dalam agar tubuh birokrasi bebas korupsi dari pengendalian gratifikasi ini," pungkas dia.
(rna)