DPR Apresiasi Pertamina Dapat Jatah 70% Blok Mahakam
A
A
A
JAKARTA - Keputusan pemerintah untuk memberikan 70% pengelolaan Blok Mahakam kepada Pertamina mendapat tanggapan positif dari DPR. Langkah tersebut dianggap tepat dan sesuai komitmen pemerintah.
Anggota Komisi VII DPR RI Syaikhul Islam Ali mengapresiasi keputusan pemerintah tersebut. Menurutnya, pemerintah menunjukkan komitmen serius untuk mengambi-lalih dan mengelola blok migas yang habis kontrak kerjanya.
"Saya apresiasi keputusan pemerintah itu. Angka 70% harus dilihat positif karena yang terpenting Pertamina sebagai National Oil Company (NOC) pegang mayoritas," katanya, Rabu (24/6/2015).
Wakil Sekretaris FPKB itu menambahkan, pemerintah hendaknya tidak hanya mengambil-alih pengelolaan Blok Mahakam. Tapi blok-blok dan wilayah pertambangan lainnya yang akan habis kontraknya dikelola negara melalui BUMN.
"Tidak hanya Blok Mahakam yang kita take over, blok migas dan kontrak kerja pertambangan lainnya yang akan habis kontraknya harus dikelola negara. Nanti BUMN yang ditugasi langsung dalam operasionalnya," ujar dia.
Sementara, Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio mengatakan, kebijakan pemerintah ini sudah selayaknya disambut baik oleh Pertamina. Untuk itu BUMN migas tersebut harus memiliki persiapan matang dari segala aspek jika nantinya ingin menguasai 100% pengelolaan Blok Mahakam.
"Saya sebenarnya setuju saja nasionalisasi migas atau tambang apapun. Tapi tidak harus dipaksa, karena ini terkait hubungan multilateral," kata Agus.
Agus menyarankan agar Pertamina mempersiapkan segala sesuatu untuk mencaplok Blok Mahakam dalam kurun waktu tiga tahun ini. Mulai dari sumber daya manusia, kilang pengolahan gas, sampai pasar penjualan gas tersebut.
Blok Mahakam merupakan salah satu ladang gas terbesar di Indonesia. Pada akhir maka kontrak 2017 diperkirakan masih menyisakan cadangan 2P minyak sebesar 131 juta barel dan cadangan 2P gas sebanyak 3,8 triliun kaki kubik (TCF). Dari jumlah itu diperkirakan sisa cadangan terbukti (P1) gas kurang dari 2 TCF.
"Enggak mudah menangani produksi gas sebesar itu. Buat PT Total E&P Indonesie menguntungkan, tapi belum tentu diambilalih Pertamina menguntungkan kalau mereka enggak siap dengan segala sesuatunya. Jangan sampai pendapatan negara malah turun," tegas Agus.
Persiapan yang dibutuhkan Pertamina dalam mengakuisisi Blok Mahakam, antara lain SDM, kekuatan pendanaan karena praktis akan menjadi beban perusahaan pelat merah tersebut, dan kilang gas yang sanggup mengolah produksi gas.
Paling penting mencari jaringan penjualan. Sebab Pertamina harus memastikan pasar Total E&P Indonesie mau membeli produksi gas Pertamina dari Blok Mahakam. Gas yang sudah dieksplorasi harus segera dijual.
"Pastikan pasar Total masih mau beli gas kita, ini enggak mudah karena harus dibicarakan lagi karena terkait fee dan mekanisme lain. Jangan sampai kayak gas dari Tangguh, sudah dibawa kapal ke mana-mana tapi Amerika Serikat enggak mau beli karena sudah ada shale gas," jelas dia.
Anggota Komisi VII DPR RI Syaikhul Islam Ali mengapresiasi keputusan pemerintah tersebut. Menurutnya, pemerintah menunjukkan komitmen serius untuk mengambi-lalih dan mengelola blok migas yang habis kontrak kerjanya.
"Saya apresiasi keputusan pemerintah itu. Angka 70% harus dilihat positif karena yang terpenting Pertamina sebagai National Oil Company (NOC) pegang mayoritas," katanya, Rabu (24/6/2015).
Wakil Sekretaris FPKB itu menambahkan, pemerintah hendaknya tidak hanya mengambil-alih pengelolaan Blok Mahakam. Tapi blok-blok dan wilayah pertambangan lainnya yang akan habis kontraknya dikelola negara melalui BUMN.
"Tidak hanya Blok Mahakam yang kita take over, blok migas dan kontrak kerja pertambangan lainnya yang akan habis kontraknya harus dikelola negara. Nanti BUMN yang ditugasi langsung dalam operasionalnya," ujar dia.
Sementara, Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio mengatakan, kebijakan pemerintah ini sudah selayaknya disambut baik oleh Pertamina. Untuk itu BUMN migas tersebut harus memiliki persiapan matang dari segala aspek jika nantinya ingin menguasai 100% pengelolaan Blok Mahakam.
"Saya sebenarnya setuju saja nasionalisasi migas atau tambang apapun. Tapi tidak harus dipaksa, karena ini terkait hubungan multilateral," kata Agus.
Agus menyarankan agar Pertamina mempersiapkan segala sesuatu untuk mencaplok Blok Mahakam dalam kurun waktu tiga tahun ini. Mulai dari sumber daya manusia, kilang pengolahan gas, sampai pasar penjualan gas tersebut.
Blok Mahakam merupakan salah satu ladang gas terbesar di Indonesia. Pada akhir maka kontrak 2017 diperkirakan masih menyisakan cadangan 2P minyak sebesar 131 juta barel dan cadangan 2P gas sebanyak 3,8 triliun kaki kubik (TCF). Dari jumlah itu diperkirakan sisa cadangan terbukti (P1) gas kurang dari 2 TCF.
"Enggak mudah menangani produksi gas sebesar itu. Buat PT Total E&P Indonesie menguntungkan, tapi belum tentu diambilalih Pertamina menguntungkan kalau mereka enggak siap dengan segala sesuatunya. Jangan sampai pendapatan negara malah turun," tegas Agus.
Persiapan yang dibutuhkan Pertamina dalam mengakuisisi Blok Mahakam, antara lain SDM, kekuatan pendanaan karena praktis akan menjadi beban perusahaan pelat merah tersebut, dan kilang gas yang sanggup mengolah produksi gas.
Paling penting mencari jaringan penjualan. Sebab Pertamina harus memastikan pasar Total E&P Indonesie mau membeli produksi gas Pertamina dari Blok Mahakam. Gas yang sudah dieksplorasi harus segera dijual.
"Pastikan pasar Total masih mau beli gas kita, ini enggak mudah karena harus dibicarakan lagi karena terkait fee dan mekanisme lain. Jangan sampai kayak gas dari Tangguh, sudah dibawa kapal ke mana-mana tapi Amerika Serikat enggak mau beli karena sudah ada shale gas," jelas dia.
(izz)