Menggunakan Topi Konsumen: Innovation vs Invention

Kamis, 25 Juni 2015 - 10:14 WIB
Menggunakan Topi Konsumen:...
Menggunakan Topi Konsumen: Innovation vs Invention
A A A
Saya ditegur keras di media sosial oleh pengelola sebuah kota setelah memposting foto yang menampilkan foto bersama anak saya yang duduk di sebuah batu.

Menurut pengelola tersebut, batu itu bukanlah tempat duduk. Waktu saya membela diri bahwa tidak ada penjelasan bahwa batu itu tidak boleh diduduki, saya malah diomeli. Katanya, lebih baik tidak membantu promosi kota tersebut daripada ”ngeyel ” dan tidak ”menurut aturan” mereka. Wah !

Daripada berdebat di media sosial, lebih baik saya akhiri saja kasusnya. Ini energi negatif yang harus dihindari. Sebagai seorang ethnographer , kasus ini memberikan saya pelajaran tentang pengelolaan media sosial yang keliru, yang harus diceritakan di kelas-kelas marketing dan komunikasi.

Menjadi bahan ilustrasi untuk do’s dan dont’s dalam pengelolaan layanan masyarakat dan pengelolaan media sosialnya. Pengelola media sosial sebuah kota seharusnya belajar consumer behavior dan psikologi konsumen. Gaya-gaya otoritatif sudah tidak laku untuk pengelolaan media sosial.

Yang dibutuhkan saat ini adalah seorang pengelola media sosial yang mengerti bagaimana menjadi Crowd Leader. Mengelola Crowd- nya dengan baik. Gaya otoriter harus diganti dengan gaya one-of-us. Sudah waktunya meninggalkan gaya brand yang merupakan Center of the World . Kita harus paham bahwa saat ini di era crowd sourcing , brand harus mengubah dirinya menjadi ‘Center of the Crowd’ .

Pemahaman needs dari audiens menjadi sangat kritikal. Crowd yang dikelola dengan baik bisa menghasilkan konten yang kontinu, riil dan membumi, serta sangat kontekstual. Sebagai Crowd Leader , pengelola media sosial justru harus bisa encourage bagaimana agar partisipasi aktif selalu mengalir dan media sosial tidak kering hanya berisikan konten dari brand owner.

Merasa bahwa anak saya bukan satu-satunya yang duduk di batu, saya kemudian menelusuri semua foto-foto yang diambil sore hari tersebut di area yang sama. Dan, memang terbukti. Lebih dari lima orang yang duduk di batu di tempat yang berbeda. Jadi, apakah yang spontan duduk di batu yang patut dipersalahkan atau si pembuat disain eksterior tersebut yang perlu berpikir ulang terhadap disain batunya?

Invention vs Innovation

Pemahaman audiens memang bukan sesuatu yang sederhana. Danny, seorang fashion designer, mahasiswa Creative Marketing di kelas saya, bertanya ketika selesai kelas. Ia merasa berdiri di sebuah persimpangan. Saat ia belajar desain di S-1, ia dilatih bagaimana menjadi seorang kreatif yang benar-benar mengekspresikan karyanya secara total.

Sekarang, mendengarkan kuliah tentang pentingnya consumer insights dan menjadi customer-oriented seolah mengarahkan ia menjadi seorang fashion-designer yang berbeda dan bukan menjadi dirinya sendiri lagi. Saat ini ia sedang mengerjakan sebuah ide desain yang ia peroleh dari ”blusukan” di se-buah suku terasing dan merasa bahwa desain terbarunya nanti adalah ”sesuatu” sekali. Ia tidak mau didikte oleh audiensnya.

Konsep ”didikte” oleh audiens itu yang harus diredefinisi. Tidak ada audiens yang mendikte produsen. Audiens tanggap terhadap desain yang disukai dan meninggalkan desain yang ia tidak disukai. Memang, ini sebuah pilihan. Menjadi fashion designer yang desainnya disukai lalu dibeli, atau yang desainnya menjadi sebuah monumen di galeri dan hanya merupakan desain unik tetapi tidak ada yang berminat membelinya.

Selalu sulit untuk meyakinkan orang-orang di dunia seni dan kreatif karena seolah mereka dibatasi dan tidak dibe-rikan ”ruangan” yang cukup untuk karya-karyanya. Itu sebabnya, kita perlu mempelajari bedanya sebuah ”invention ” dengan ”innovation”. Invention adalah hasil karya seseorang yang murni dari ide dirinya, tanpa mempertimbangkan orang lain.

Sedangkan innovation bermakna sebuah temuan baru yang mempertimbangkan aspek komersialisasi dan kegunaan bagi audiensnya nanti. Invention muncul di awal abad ke-19, di mana masih belum banyak produk yang beredar. Produk apa pun yang dihasilkan akan mendapat sambutan karena belum banyak pilihan. Innovation berbeda dengan invention.

Pada saat konsumen mempunyai banyak pilihan di zaman hiperkompetitif seperti sekarang ini, sangat riskan bagi seorang kreator yang hanya onesided memikirkan dari perspektif dirinya sendiri. Ia perlu memasukkan aspek komersialisasi dalam proses kreasinya.

Seorang fashion designer boleh saja tetap insist tentang sebuah desain yang menurutnya supercool , tetapi jika orang lain tidak mempunyai apresiasi atau pandangan yang sama, desainnya akan berujung menjadi sebuah masterpiece yang dikurung dalam sebuah kotak kaca saja.

Produk fashion yang inovatif tentu saja mempertimbangkan aspek kekinian dan kebaruan desainnya, mempunyai ide yang segar dan breakthrough , tetapi tetap menggunakan ‘consumer’ head saat proses penyelesaian karyanya.

Menggabungkan ego dari seorang desainer dan pemahaman audiens memang bukan sesuatu yang sederhana, ka-renanya tidak semua orang bisa menembus batas, membuat karya yang memenuhi kaidah ‘cool’, tetapi juga diminati dan digunakan.

Bekerja sama dengan seorang ethnographer merupakan cara tercepat untuk memahami apresiasi consumer behavior. Insights tentang consumer/ audiens bisa digali secara lebih mendalam dan multidimensi.

Nasihat saya untuk pengelola kota, silakan datang dan lihat sendiri bagaimana batu tersebut di-display di tempat yang sangat memungkinkan untuk diduduki. Para desainer dan arsitek harus memahami kultur budaya, lalu mengadopsinya, bukan memeranginya.

Amalia E Maulana PHD
Brand Consultant & Ethnographer ETNOMARK Consulting www.amaliamaulana.com @etnoamalia
(ftr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5753 seconds (0.1#10.140)