Kadin: Sulit Terapkan Wajib Rupiah di Kepri
A
A
A
BATAM - Kadin menilai kebijakan kewajiban penggunaan mata uang rupiah yang mulai berlaku hari ini bisa menjadi salah satu penghambat ekonomi di Kepulauan Riau (Kepri) karena menyangkut hajat orang banyak. Aturan PBI No 17/2013 yang merupakan turunan dari UU No 7/2011 juga dinilai bisa mengkriminalisasi pengusaha.
Wakil Ketua Kadin Indonesia Bidang Industri Investasi dan Perdagangan, Johannes Kennedy memandang kebijakan tersebut terbit pada waktu yang tidak tepat di saat ekonomi Indonesia tengah melambat.
"Kebijakan itu menjadi penghambat ekonomi dan terbit di waktu yang sangat tidak tepat saat secara nasional ekonomi kita morat-marit. Pengusaha juga sudah pontang-panting agar ekonomi baik, tapi kalau begini target akan sulit tercapai. Kita patut khawatir karena menyangkut hajat orang banyak," ujarnya, Rabu (1/7/2015).
Dia meyakini kebijakan itu hanya menjadi pengerem ekonomi. Sementara yang dibutuhkan Indonesia saat ini adalah aturan dan stimulus yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi.
Lalu, yang menjadi kontradiktif adalah penggunaan mata uang asing justru diperbolehkan di perbatasan negara-negara lain saat ini. Hal itu untuk menunjang perjanjian lintas batas antar keduabelah negara.
Sedangkan Kepri selama ini sudah menjalankan perdagangan lintas batas yang memakai mata uang asing dalam border trade Malaysia dan Singapura. "Ini yang kami sayangkan. Pemberlakuannya tidak tepat dan mengkebiri hak perdagangan border trade," jelas Johannes.
Direktur Eksekutif Panbil Group ini juga memprediksi kebijakan ini akan mematikan perdagangan lokal yang kebanyakan barangnya dipasok dari luar negeri dengan kontrak bisnis dalam mata uang asing.
Kebijakan wajib rupiah dalam kontrak itu juga ditengarai membuat pengusaha makin rugi mengingat adanya selisih nilai jual dan beli dari nilai tukar rupiah dengan mata uang asing yang terpaut cukup jauh.
Kekhawatiran itu mengacu pada kontrak jual beli yang berdurasi. Pengusaha tidak serta merta menerima pembayaran dalam kurun waktu perubahan selisih kurs secepat-cepatnya sehingga terdapat risiko penurunan profit, bahkan pengembalian modal dalam masa tersebut.
"Siapa yang menanggung selisih kontrak? Pemerintah tidak jeli kalau ini diberlakukan. Ini aturan yang keliru dan harus direvisi," tegasnya.
Persoalan lain, adalah mengenai konsekuensi hukuman bagi pengusaha yang harus berhadapan dengan polisi akibat adanya sanksi pidana satu tahun kurungan dan denda Rp200 juta dalam UU No 7/2011 tentang Mata Uang. Sementara sanksi yang tercantum dalam PBI adalah denda 1% dari nilai transaksi hingga maksimal denda Rp1 miliar. Johannes menganggap situasi itu bisa membuat pengusaha dikriminalisasi.
Johannes juga menilai meski ada sosialisasi bahkan jika ada pemberian dispensasi mengenai aturan tersebut tidak akan menyelesaikan masalah. Dia meminta pemerintah merevisi aturan tersebut.
"Ini aturan yang keliru harus di revisi. Tidak tepat diberlakukan di Kepri, semangat dari pengusaha UU ini tidak berlaku di sini. Kalaupun ada dispensasi waktu tidak akan menyelesaikan masalah," tandasnya.
Baca juga:
Kemenhub: Pelabuhan Internasional Wajib Pakai Rupiah
INSA: Penggunaan Rupiah di Pelabuhan Sulit Dilakukan
Penggunaan Rupiah di Pelabuhan Disambut Pelaku Usaha
Wakil Ketua Kadin Indonesia Bidang Industri Investasi dan Perdagangan, Johannes Kennedy memandang kebijakan tersebut terbit pada waktu yang tidak tepat di saat ekonomi Indonesia tengah melambat.
"Kebijakan itu menjadi penghambat ekonomi dan terbit di waktu yang sangat tidak tepat saat secara nasional ekonomi kita morat-marit. Pengusaha juga sudah pontang-panting agar ekonomi baik, tapi kalau begini target akan sulit tercapai. Kita patut khawatir karena menyangkut hajat orang banyak," ujarnya, Rabu (1/7/2015).
Dia meyakini kebijakan itu hanya menjadi pengerem ekonomi. Sementara yang dibutuhkan Indonesia saat ini adalah aturan dan stimulus yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi.
Lalu, yang menjadi kontradiktif adalah penggunaan mata uang asing justru diperbolehkan di perbatasan negara-negara lain saat ini. Hal itu untuk menunjang perjanjian lintas batas antar keduabelah negara.
Sedangkan Kepri selama ini sudah menjalankan perdagangan lintas batas yang memakai mata uang asing dalam border trade Malaysia dan Singapura. "Ini yang kami sayangkan. Pemberlakuannya tidak tepat dan mengkebiri hak perdagangan border trade," jelas Johannes.
Direktur Eksekutif Panbil Group ini juga memprediksi kebijakan ini akan mematikan perdagangan lokal yang kebanyakan barangnya dipasok dari luar negeri dengan kontrak bisnis dalam mata uang asing.
Kebijakan wajib rupiah dalam kontrak itu juga ditengarai membuat pengusaha makin rugi mengingat adanya selisih nilai jual dan beli dari nilai tukar rupiah dengan mata uang asing yang terpaut cukup jauh.
Kekhawatiran itu mengacu pada kontrak jual beli yang berdurasi. Pengusaha tidak serta merta menerima pembayaran dalam kurun waktu perubahan selisih kurs secepat-cepatnya sehingga terdapat risiko penurunan profit, bahkan pengembalian modal dalam masa tersebut.
"Siapa yang menanggung selisih kontrak? Pemerintah tidak jeli kalau ini diberlakukan. Ini aturan yang keliru dan harus direvisi," tegasnya.
Persoalan lain, adalah mengenai konsekuensi hukuman bagi pengusaha yang harus berhadapan dengan polisi akibat adanya sanksi pidana satu tahun kurungan dan denda Rp200 juta dalam UU No 7/2011 tentang Mata Uang. Sementara sanksi yang tercantum dalam PBI adalah denda 1% dari nilai transaksi hingga maksimal denda Rp1 miliar. Johannes menganggap situasi itu bisa membuat pengusaha dikriminalisasi.
Johannes juga menilai meski ada sosialisasi bahkan jika ada pemberian dispensasi mengenai aturan tersebut tidak akan menyelesaikan masalah. Dia meminta pemerintah merevisi aturan tersebut.
"Ini aturan yang keliru harus di revisi. Tidak tepat diberlakukan di Kepri, semangat dari pengusaha UU ini tidak berlaku di sini. Kalaupun ada dispensasi waktu tidak akan menyelesaikan masalah," tandasnya.
Baca juga:
Kemenhub: Pelabuhan Internasional Wajib Pakai Rupiah
INSA: Penggunaan Rupiah di Pelabuhan Sulit Dilakukan
Penggunaan Rupiah di Pelabuhan Disambut Pelaku Usaha
(dmd)