Indonesia Bisa Belajar Ini dari Yunani
A
A
A
JAKARTA - Indonesia hendaknya bisa mengambil pelajaran dari kasus Yunani yang tidak mampu membayar utang ke International Monetary Fund (IMF) sebesar 1,5 miliar Euro.
Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro mengatakan, pelajaran penting yang bisa diambil dari Indonesia adalah dengan menjaga fiskal sustainbility.
Menkeu menjelaskan, Yunani sebelum kondisinya sepertinya sekarang, negara tersebut menggampangkan beberapa hal yang berpengaruh besar terhadap kondisi ekonomi negaranya.
"Yunani itu seenaknya saja bikin defisit budget sebesar 8%. Kemudian mereka menutupnya pakai Utang Luar Negeri (ULN). Ujung-ujungnya, debt to GDP rasionya 50-70%," kata Bambang saat acara diskusi bersama di Kantor Direktorat Jenderal Pajak Jakarta, Kamis (2/7/2015)
Eropa, kata dia, gampang sekali mendapatkan utang dari luar negeri, sehingga mereka terkesan tidak serius dalam pengumpulan pajak dalam dan luar negeri negaranya.
"Mereka akhirnya enggak biasa narik pajak dari dalam dan proyek luar negeri. Makanya ketika surat utang mereka enggak prospektif, mereka jadi bingung nutupnya bagaimana. Karena enggak biasa narik pajak, ya akhirnya mereka jatuh," terangnya.
Jadi, kata dia fiskal sustainbility adalah hal penting. Kondisi Yunani sekarang sama seperti Indonesia pada 1998 yang mengalami krisis terparah waktu itu dengan pertumbuhan ekonomi yang minus -14%
"Pada 1990-1997 tumbuh 7% itu pertumbuhan yang the best sepanjang masa. Kemudian 1998 minus 14%. Just like that. Itu karena waktu itu, kita enggak bisa jaga stabilitas," pungkas Bambang.
Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro mengatakan, pelajaran penting yang bisa diambil dari Indonesia adalah dengan menjaga fiskal sustainbility.
Menkeu menjelaskan, Yunani sebelum kondisinya sepertinya sekarang, negara tersebut menggampangkan beberapa hal yang berpengaruh besar terhadap kondisi ekonomi negaranya.
"Yunani itu seenaknya saja bikin defisit budget sebesar 8%. Kemudian mereka menutupnya pakai Utang Luar Negeri (ULN). Ujung-ujungnya, debt to GDP rasionya 50-70%," kata Bambang saat acara diskusi bersama di Kantor Direktorat Jenderal Pajak Jakarta, Kamis (2/7/2015)
Eropa, kata dia, gampang sekali mendapatkan utang dari luar negeri, sehingga mereka terkesan tidak serius dalam pengumpulan pajak dalam dan luar negeri negaranya.
"Mereka akhirnya enggak biasa narik pajak dari dalam dan proyek luar negeri. Makanya ketika surat utang mereka enggak prospektif, mereka jadi bingung nutupnya bagaimana. Karena enggak biasa narik pajak, ya akhirnya mereka jatuh," terangnya.
Jadi, kata dia fiskal sustainbility adalah hal penting. Kondisi Yunani sekarang sama seperti Indonesia pada 1998 yang mengalami krisis terparah waktu itu dengan pertumbuhan ekonomi yang minus -14%
"Pada 1990-1997 tumbuh 7% itu pertumbuhan yang the best sepanjang masa. Kemudian 1998 minus 14%. Just like that. Itu karena waktu itu, kita enggak bisa jaga stabilitas," pungkas Bambang.
(izz)