Membentuk dan Membangun Budaya Perusahaan
A
A
A
Disadari atau tidak, dengan berjalannya waktu, ada kebiasaankebiasaan dan norma-norma yang terbentuk melalui interaksi di lingkungan perusahaan.
Bahkan, tidak jarang ada beberapa hal yang disakralkan; baik yang ditabukan atau sebaliknya diharuskan untuk dijalankan atau dijalani seperti ritual walau bukan bersifat mistik atau berbau klenik. Kebiasaan-kebiasaan itu ikut mempengaruhi pemikiran, pandangan, perilaku dan cara kerja karyawan dalam keseharian di kantor. Tentu saja ada yang baik, ada yang buruk.
Seperti itulah budaya perusahaan. Budaya perusahaan memang terbentuk pada umumnya secara alamiah bahkan tidak disadari sebelumnya. Namun, bukan berarti tidak dapat dikotak-katik, justru sebaiknya harus dibentuk dan diarahkan sejak awal agar tercipta budaya perusahaan yang baikdanpasdenganjenisusaha. Performa yang tinggi merupakan hasil kombinasi dari organisasi yang terdiri atas orang-orang yang baik, berkomitmen, dan budaya perusahaan yang baik dan positif.
Peran dan perilaku pendiri atau generasi pionir perusahaan ikut dan sangat kuat berpengaruh terhadap budaya perusahaan apalagi pada masa awal-awal terbentuknya perusahaan. Pasalnya pada saat itu belum terbentuk norma-norma dan prinsipprinsip umum selain perintah dan keinginan pendiri yang harus diikuti.
Anthony Tjan, CEO & Managing Partner yang juga pendiri perusahaan permodalan Cue Ball, juga Vice- Chairman perusahaan konsultan Parthenon, serta coauthor dari buku Heart, Smarts, Guts, and Luck yang menjadi New York Times bestseller (HBR Press, 2012) melakukan pengamatan dan merekomendasikan cara dan tahapan dalam membentuk dan mengembangkan budaya perusahaan yang sehat, baik dan positif.
Pertama, mulailah dengan maksud dan tujuan. Mendirikan perusahaan tidak sematamata mencari uang, memperoleh keuntungan dengan menjual barang atau jasa layanan. Pemikiran seperti itu sangat sempit, memikir sesaat untuk jangka pendek, sangat transaksional. Sedangkan, perusahaan seharusnya memikirkan jauh ke depan kalau bisa menembus beberapa generasi.
Kedua, menetapkan dan mendefinisikan nilai-nilai tinggi perusahaan, standar dan bahasa yang dipakai yang menunjuk kepada tujuan jangka panjang dan lingkup yang luas. Jangan berbicara abstrak namun berbicara hal-hal yang konkret dengan parameter dan ukuran yang jelas sehingga tidak terjadi mis interpretasi.
Ketiga, teladan dari para pemimpin. Sebelum mendorong semua lapisan untuk berperilaku selaras dan mencerminkan apa yang tertuang dalam visi dan misi serta nilainilai perusahaan, maka yang dilakukan manajemen pertama adalah harus berperilaku merefleksikan apa yang menjadi visi dan misi perusahaan. Dengan demikian karyawan mudah mengerti dan mau menerapkan dan melaksanakan apa yang diteladani oleh para pemimpin mereka.
Keempat, jadikan karyawan yang berada di lapangan agar berhubungan dengan pihak luar sebagai duta-duta perusahaan bukan sekadar karyawan. Sebagaimana layaknya duta besar yang mewakili negara, demikianlah dilakukan oleh orang-orang di lapangan terhadap dunia luar, agar mereka yang berhubungan dengan perusahaan melihat nilai-nilai dan standar tinggi perusahaan melalui mereka.
Kelima, berjalan dalam ketulusan, kejujuran dan kebenaran. Banyak orang yang berpikir dan cenderung mempercayainya bahwa bisnis yang dilakukan dengan jujur, tulus dan benar tidak akan berhasil dan akan membuat bangkrut. Memang bisnis harus dilakukan dengan cerdik dan cermat, tapi bukan berarti licik. Pada hakikatnya semua orang senang dan menyukai perusahaan yang transparan dan jujur, mereka tidak takut dibodohi dan ditipu, oleh karena itulah ada good governance (tata kelola berdasarkan transparansi dan kejujuran).
Keenam, bentuklah karakter yang baik dan kuat pada diri setiap karyawan selain keterampilan dan keahlian mereka. Hal ini yang banyak diabaikan oleh banyak perusahaan yang semata-mata menekankan pada kepandaian, keterampilan dankeahliankaryawan. Sementara, karakter mereka yang kurang baik pada akhirnya menggerogoti serta menghambat kemajuan perusahaan.
DR Eliezer H Hardjo PhD, CM
Ketua Dewan Juri Rekor Bisnis (ReBi) & The Institute of Certified Professional Managers (ICPM)
Bahkan, tidak jarang ada beberapa hal yang disakralkan; baik yang ditabukan atau sebaliknya diharuskan untuk dijalankan atau dijalani seperti ritual walau bukan bersifat mistik atau berbau klenik. Kebiasaan-kebiasaan itu ikut mempengaruhi pemikiran, pandangan, perilaku dan cara kerja karyawan dalam keseharian di kantor. Tentu saja ada yang baik, ada yang buruk.
Seperti itulah budaya perusahaan. Budaya perusahaan memang terbentuk pada umumnya secara alamiah bahkan tidak disadari sebelumnya. Namun, bukan berarti tidak dapat dikotak-katik, justru sebaiknya harus dibentuk dan diarahkan sejak awal agar tercipta budaya perusahaan yang baikdanpasdenganjenisusaha. Performa yang tinggi merupakan hasil kombinasi dari organisasi yang terdiri atas orang-orang yang baik, berkomitmen, dan budaya perusahaan yang baik dan positif.
Peran dan perilaku pendiri atau generasi pionir perusahaan ikut dan sangat kuat berpengaruh terhadap budaya perusahaan apalagi pada masa awal-awal terbentuknya perusahaan. Pasalnya pada saat itu belum terbentuk norma-norma dan prinsipprinsip umum selain perintah dan keinginan pendiri yang harus diikuti.
Anthony Tjan, CEO & Managing Partner yang juga pendiri perusahaan permodalan Cue Ball, juga Vice- Chairman perusahaan konsultan Parthenon, serta coauthor dari buku Heart, Smarts, Guts, and Luck yang menjadi New York Times bestseller (HBR Press, 2012) melakukan pengamatan dan merekomendasikan cara dan tahapan dalam membentuk dan mengembangkan budaya perusahaan yang sehat, baik dan positif.
Pertama, mulailah dengan maksud dan tujuan. Mendirikan perusahaan tidak sematamata mencari uang, memperoleh keuntungan dengan menjual barang atau jasa layanan. Pemikiran seperti itu sangat sempit, memikir sesaat untuk jangka pendek, sangat transaksional. Sedangkan, perusahaan seharusnya memikirkan jauh ke depan kalau bisa menembus beberapa generasi.
Kedua, menetapkan dan mendefinisikan nilai-nilai tinggi perusahaan, standar dan bahasa yang dipakai yang menunjuk kepada tujuan jangka panjang dan lingkup yang luas. Jangan berbicara abstrak namun berbicara hal-hal yang konkret dengan parameter dan ukuran yang jelas sehingga tidak terjadi mis interpretasi.
Ketiga, teladan dari para pemimpin. Sebelum mendorong semua lapisan untuk berperilaku selaras dan mencerminkan apa yang tertuang dalam visi dan misi serta nilainilai perusahaan, maka yang dilakukan manajemen pertama adalah harus berperilaku merefleksikan apa yang menjadi visi dan misi perusahaan. Dengan demikian karyawan mudah mengerti dan mau menerapkan dan melaksanakan apa yang diteladani oleh para pemimpin mereka.
Keempat, jadikan karyawan yang berada di lapangan agar berhubungan dengan pihak luar sebagai duta-duta perusahaan bukan sekadar karyawan. Sebagaimana layaknya duta besar yang mewakili negara, demikianlah dilakukan oleh orang-orang di lapangan terhadap dunia luar, agar mereka yang berhubungan dengan perusahaan melihat nilai-nilai dan standar tinggi perusahaan melalui mereka.
Kelima, berjalan dalam ketulusan, kejujuran dan kebenaran. Banyak orang yang berpikir dan cenderung mempercayainya bahwa bisnis yang dilakukan dengan jujur, tulus dan benar tidak akan berhasil dan akan membuat bangkrut. Memang bisnis harus dilakukan dengan cerdik dan cermat, tapi bukan berarti licik. Pada hakikatnya semua orang senang dan menyukai perusahaan yang transparan dan jujur, mereka tidak takut dibodohi dan ditipu, oleh karena itulah ada good governance (tata kelola berdasarkan transparansi dan kejujuran).
Keenam, bentuklah karakter yang baik dan kuat pada diri setiap karyawan selain keterampilan dan keahlian mereka. Hal ini yang banyak diabaikan oleh banyak perusahaan yang semata-mata menekankan pada kepandaian, keterampilan dankeahliankaryawan. Sementara, karakter mereka yang kurang baik pada akhirnya menggerogoti serta menghambat kemajuan perusahaan.
DR Eliezer H Hardjo PhD, CM
Ketua Dewan Juri Rekor Bisnis (ReBi) & The Institute of Certified Professional Managers (ICPM)
(ftr)