Membaca Arah Suku Bunga KPR

Rabu, 08 Juli 2015 - 07:02 WIB
Membaca Arah Suku Bunga...
Membaca Arah Suku Bunga KPR
A A A
Setelah dinanti sekian lama, akhirnya Bank Indonesia (BI) meluncurkan pelonggaran loan to value (LTV) dari 70% menjadi 80% untuk kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor (KKB) pada 24 Juni 2015.

Terkait dengan pelonggaran LTV tersebut, bagaimana arah suku bunga KPR? Dengan demikian, uang muka (down payment ) KPR dan KKB menjadi lebih rendah yang semula 30% menjadi 20% dari nilai barang (rumah atau kendaraan). Sebelumnya pada 15 Maret 2012, BI menerbitkan Surat Edaran Nomor 14/10/DPNP tentang LTV untuk KPR dan Uang Muka Kredit Kendaraan Bermotor bagi Bank Umum. Apakah kemudian suku bunga KPR akan cenderung menurun? Lantas, faktor apa saja yang patut dipertimbangkan? Pertama , suku bunga acuan.

Salah satu faktor kunci yang layak diamati adalah suku bunga acuan (BI Rate ). Makin rendah BI Rate , akan makin rendah suku bunga KPR. Saat ini BI Rate masih bertengger tinggi 7,5%. Coba bandingkan dengan bank-bank di negara ASEAN lainnya. Suku bunga acuan Indonesia masih lebih tinggi daripada Vietnam 6,5%, Filipina 4%, Malaysia 3,25%, Thailand 1,5% dan Singapura 0,22%.

Sayangnya, BI tetap mempertahankan BI Rate 7,5%. Salah satu alasannya karena ketidakpastian rencana kenaikan suku bunga acuan AS. Padahal, pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) pada 18 Juni 2015 menunda kenaikan suku bunga acuan hingga akhir 2015. Suku bunga acuan AS diprediksi naik dari 0,25% menjadi minimal 1-2%. Padahal, pemotongan BI Rate itu diharapkan sanggup mengurangi biaya dana (cost of fund ) perbankan yang lantas menipiskan suku bunga deposito.

Ujungnya, hal itu akan memangkas suku bunga kredit agar lebih terjangkau (affordable ) oleh sektor riil alias dunia usaha. Namun, pemotongan BI Rate itu kini tinggal harapan. Kedua , tingkat inflasi. Penipisan BI Rate masih tetap menjadi harapan lantaran inflasi terus melaju dari 6,79% per April 2015 menjadi 7,15% per Mei 2015 dan 7,26% per Juni 2015. Ditambah nilai tukar rupiah masih lunglai sehingga mencapai Rp13.300 terhadap dolar AS.

Apalagi inflasi akan menanjak lagi pada bulan Ramadan dan Lebaran karena konsumsi masyarakat cenderung naik signifikan. Ketiga , suku bunga dasar kredit (SBDK). Pada 8 Februari 2011, BI menerbitkan Surat Edaran nomor 13/5/DPNP perihal Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK). SE itu memiliki dua tujuan utama, pertama, meningkatkan transparansi mengenai karakteristik produk perbankan termasuk manfaat, biaya dan risikonya untuk memberikan kejelasan kepada nasabah.

Kedua, meningkatkan good corporate governance (GCG) dan mendorong persaingan yang sehat dalam industri perbankan melalui terciptanya disiplin pasar (market discipline ) yang lebih baik. Apa itu SBDK? SBDK merupakan suku bunga terendah yang digunakan sebagai dasar bagi bank dalam menentukan bunga kredit yang dikenakan kepada nasabah bank.

SBDK merupakan hasil perhitungan dari tiga komponen, yakni harga pokok dana untuk kredit, biaya overhead yang dikeluarkan bank dalam proses pemberian kredit dan marjin keuntungan (profit margin ) yang ditetapkan untuk aktivitas perkreditan. Namun, jangan lupa SBDK itu belum termasuk premi risiko (risk premium ) individual nasabah bank. Premi risiko mempresentasikan penilaian bank terhadap prospek pelunasan kredit oleh calon debitur yang antara lain mempertimbangkan kondisi keuangan debitur, jangka waktu kredit dan prospek usaha yang dibiayai.

SBDK belum tentu sama dengan suku bunga kredit yang dikenakan bank kepada debitur. Bagaimana SBDK untuk KPR? Data BI menunjukkan SBDK untuk KPR mulai menurun, terutama bank nasional papan atas. Tengok saja SBDK untuk KPR di BCA yang menipis 25 basis poin (bps) dari 10,50% per akhir Januari 2015 menjadi 10,25% per akhir Mei 2015.

Demikian pula SBDK untuk KPR di BNI menurun tipis dari 11.10% menjadi 11%, Bank CIMB Niaga dari 11,75% menjadi 11,50%, Bank Permata dari 12,50% menjadi 12,25%, BII menurun drastis dari 11,75% menjadi 10,75%, Bank UOB Indonesia dari 12,57% menjadi 12,29% dan Bank Bukopin dari 13,25% menjadi 13,03%.

Suku Bunga KPR Cenderung Menipis

Artinya, ketika SBDK untuk KPR mulai menipis, maka suku bunga KPR akan cenderung menipis pula. Apalagi penurunan SBDK untuk KPR itu dilakukan bank nasional papan atas yang menguasai pangsa pasar (market share ) terbesar.

Dengan bahasa lebih bening, bank nasional lainnya suka tak suka akan ikut menurunkannya. Mengapa? Karena jika tidak, bank lainnya akan makin kalah bersaing dengan bank nasional papan atas yang pasti memiliki modal perkasa. Ingat, modal perkasa merupakan salah satu elemen penting dalam industri keuangan seperti perbankan dan pembiayaan di mana pun di bumi ini untuk mampu bersaing dengan jitu.

Kecenderungan tersebut semakin mengental manakala kini otoritas semakin menyediakan aneka stimulus atau minimal insentif untuk melonggarkan likuiditas perbankan. Hal ini akan bermuara pada suburnya pertumbuhan kredit perbankan nasional.

Katakanlah, kebijakan bahwa kelak simpanan bukan hanya meliputi dana pihak ketiga (DPK). Namun, simpanan juga terdiri dari komponen lain, misalnya surat utang, medium term loan (MTN), dan kontak investasi kolektif efek beragun aset (KIK-EBA).

Paul Sutaryono
Pengamat Perbankan, Mantan Assistant Vice President BNI & Alumnus MM-UGM
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1010 seconds (0.1#10.140)