Perpanjangan Kontrak Freeport Berpotensi Langgar Konstitusi
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah pakar menilai rencana perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia berpotensi melanggar konstitusi manakala tidak sesuai masa yang telah ditetapkan UU diajukan dalam masa dua tahun sebelum masa kontrak berakhir 2021.
"Terdapat pasal dalam UU kalau pejabat membuat kebijakan tidak sesuai UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara maka bisa dipidanakan," kata Pakar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, Jakarta, Rabu (8/7/2015).
Dia mengimbau kepada pemerintah agar hati-hati dalam mengambil keputusan terkait rencana perpanjangan kontrak Freeport dengan merubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Dikhawatirkan perubahan kontrak menjadi izin mempunyai maksud-maksud lain atau benar-benar sesuai aturan yang berlaku.
"Saya khawatir Freeport butuh waktu lebih lama dari yang ditentukan yaitu 2021. Padahal waktu yang harus diajukan dua tahun sebelumnya 2019. Perlu dicatat saat itu masa pemerintahan Joko Widodo sudah tidak dapat mengambil keputusan strategis," terang dia.
Pihaknya mendesak pemerintah membentuk tim khusus/tim transisi terdiri dari para pakar baik dari sisi hukum dan pertambangan agar sesuai dengan aturan yang berlaku atau tidak melanggar konstitusi.
Di samping itu pemerintah juga harus melibatkan masyarakat dalam memutuskan status Freeport tidak bisa dilakukan sepihak karena ini negara demokrasi bukan lagi di zaman orde baru.
"Kalau di zaman orede baru semaunya sendiri silakan. Sekarang zamannya demokrasi keinginan masyarakat harus diperhatikan. Maka itu perlu disiapkan tim, agar berjalan mulus," ujar dia.
Sementara, pengamat pertambangan dari Pusat Kajian Sumber Daya Alam Indonesia Budi Santoso meminta pemerintah hati-hati dalam memutuskan masalah perpanjangan kontrak Freeport.
Saat ini pada dasarnya merupakan momen penting untuk menunjukan kemampuan anak bangsa mengelola sumber daya alam-nya sendiri.
"Ini masalah percaya diri bangsa, kasus Freeport menjadi momen penting untuk bangsa menunjukan kemampuan. Alasan financial dan teknologi sebagai trigger pemerintah merubah kontrak menjadi IUPK bisa disanggah. Itu kalau zaman dulu alasan financial bisa dipakai kalau sekarang memalukan bangsa sendiri," jelasnya.
Pemerintah disarankan membentuk badan usaha yang menangani masalah transisi, manajemen maupun pendanaan untuk mengambil alih Freeport. Menurutnya dalam jangka lima tahun sudah cukup untuk mengambil alih Freeport.
Dia mengatakan jangan sampai UU yang dibuat hanya untuk mengakomodir kepentingan Freeport. pasalnya saat ini banyak kebijakan dibuat berdasarkan benchmark tambang-tambang besar seperti Freeport dan Newmont.
"Akibatnya beban fiscal besar tambang kecil dikorbankan sehingga tidak ekonomis. Jangan sampai ini terulang. Kontrak Karya itu kecelakaan. Kalau kecelakaan jangan sampai terulang," ungkapnya.
Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya W Yudha menganggap UU No/2009 sudah sesuai keinginan rakyat yaitu meningkatkan hilirisasi nasional. Namun, pihaknya menyadari semangat UU tersebut dibenturkan dengan peraturan pemerintah untuk kepentingan tertentu sehingga tidak lagi sesuai dengan semangat konstitusi.
"UU yang sudah dibentuk tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Kita sudah darurat hukum minerba. Makin banyak aturan dari pemerintah sendiri memberikan dispensai maupun relaksasi kelompok usaha tertentu sehingga tidak pemerintah tidak konsisten menerapkan UU," jelasnya.
Maka, jika pemerintah berencana memperpanjang kontrak Freeport dengan menbubah menjadi IUPK harus diikuti pembenahan hukum agar tidak bertentantangan dengan UU. Rencananya dalam waktu dekat DPR akan memanggil sejumlah pakar untuk mengkaji rencana tersebut.
"Kami akan meminta pakar hukum untuk mengkaji kembali. Setelah itu akami akan minta pemerintah keluarkan perpu setaraf UU. Tapi tetap harus ada reasonnya," kata dia.
Satya menganggap masalah Freeport tidak dapat dipandang hanya dari aspek ekonomi dengan investasi tapi juga harus memperhatikan aspek hukum. Sehingga keduanya dapat berjalan selaras, jangan sampai aspek ekonomi mengesamping hukum yang berlaku sehingga muncul dispensasi-dispensasi menabrak aturan yang berlaku.
"Kami tidak ingin seperti itu. Kalau begitu artinya UU tidak ada artinya dan selalu dilanggar demi kepentingan ekonomi. Maka itu kita lihat alasan ekonominya tapi tetap menggunakan kerangka hukum yang berlaku," tutup Satya.
"Terdapat pasal dalam UU kalau pejabat membuat kebijakan tidak sesuai UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara maka bisa dipidanakan," kata Pakar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, Jakarta, Rabu (8/7/2015).
Dia mengimbau kepada pemerintah agar hati-hati dalam mengambil keputusan terkait rencana perpanjangan kontrak Freeport dengan merubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Dikhawatirkan perubahan kontrak menjadi izin mempunyai maksud-maksud lain atau benar-benar sesuai aturan yang berlaku.
"Saya khawatir Freeport butuh waktu lebih lama dari yang ditentukan yaitu 2021. Padahal waktu yang harus diajukan dua tahun sebelumnya 2019. Perlu dicatat saat itu masa pemerintahan Joko Widodo sudah tidak dapat mengambil keputusan strategis," terang dia.
Pihaknya mendesak pemerintah membentuk tim khusus/tim transisi terdiri dari para pakar baik dari sisi hukum dan pertambangan agar sesuai dengan aturan yang berlaku atau tidak melanggar konstitusi.
Di samping itu pemerintah juga harus melibatkan masyarakat dalam memutuskan status Freeport tidak bisa dilakukan sepihak karena ini negara demokrasi bukan lagi di zaman orde baru.
"Kalau di zaman orede baru semaunya sendiri silakan. Sekarang zamannya demokrasi keinginan masyarakat harus diperhatikan. Maka itu perlu disiapkan tim, agar berjalan mulus," ujar dia.
Sementara, pengamat pertambangan dari Pusat Kajian Sumber Daya Alam Indonesia Budi Santoso meminta pemerintah hati-hati dalam memutuskan masalah perpanjangan kontrak Freeport.
Saat ini pada dasarnya merupakan momen penting untuk menunjukan kemampuan anak bangsa mengelola sumber daya alam-nya sendiri.
"Ini masalah percaya diri bangsa, kasus Freeport menjadi momen penting untuk bangsa menunjukan kemampuan. Alasan financial dan teknologi sebagai trigger pemerintah merubah kontrak menjadi IUPK bisa disanggah. Itu kalau zaman dulu alasan financial bisa dipakai kalau sekarang memalukan bangsa sendiri," jelasnya.
Pemerintah disarankan membentuk badan usaha yang menangani masalah transisi, manajemen maupun pendanaan untuk mengambil alih Freeport. Menurutnya dalam jangka lima tahun sudah cukup untuk mengambil alih Freeport.
Dia mengatakan jangan sampai UU yang dibuat hanya untuk mengakomodir kepentingan Freeport. pasalnya saat ini banyak kebijakan dibuat berdasarkan benchmark tambang-tambang besar seperti Freeport dan Newmont.
"Akibatnya beban fiscal besar tambang kecil dikorbankan sehingga tidak ekonomis. Jangan sampai ini terulang. Kontrak Karya itu kecelakaan. Kalau kecelakaan jangan sampai terulang," ungkapnya.
Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya W Yudha menganggap UU No/2009 sudah sesuai keinginan rakyat yaitu meningkatkan hilirisasi nasional. Namun, pihaknya menyadari semangat UU tersebut dibenturkan dengan peraturan pemerintah untuk kepentingan tertentu sehingga tidak lagi sesuai dengan semangat konstitusi.
"UU yang sudah dibentuk tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Kita sudah darurat hukum minerba. Makin banyak aturan dari pemerintah sendiri memberikan dispensai maupun relaksasi kelompok usaha tertentu sehingga tidak pemerintah tidak konsisten menerapkan UU," jelasnya.
Maka, jika pemerintah berencana memperpanjang kontrak Freeport dengan menbubah menjadi IUPK harus diikuti pembenahan hukum agar tidak bertentantangan dengan UU. Rencananya dalam waktu dekat DPR akan memanggil sejumlah pakar untuk mengkaji rencana tersebut.
"Kami akan meminta pakar hukum untuk mengkaji kembali. Setelah itu akami akan minta pemerintah keluarkan perpu setaraf UU. Tapi tetap harus ada reasonnya," kata dia.
Satya menganggap masalah Freeport tidak dapat dipandang hanya dari aspek ekonomi dengan investasi tapi juga harus memperhatikan aspek hukum. Sehingga keduanya dapat berjalan selaras, jangan sampai aspek ekonomi mengesamping hukum yang berlaku sehingga muncul dispensasi-dispensasi menabrak aturan yang berlaku.
"Kami tidak ingin seperti itu. Kalau begitu artinya UU tidak ada artinya dan selalu dilanggar demi kepentingan ekonomi. Maka itu kita lihat alasan ekonominya tapi tetap menggunakan kerangka hukum yang berlaku," tutup Satya.
(izz)