Harga Minyak Dunia Stagnan Setelah Berfluktuasi
A
A
A
SINGAPURA - Harga minyak dunia sedikit bergerak atau stagnan di awal perdagangan Jumat di Asia setelah berfluktuasi selama sepekan di tengah penurunan tajam ekuitas China, yang kemudian rebound tajam akibat upaya pemerintah yang ekstrim.
Sementara itu, pedagang minyak sedang menunggu berita hasil negosiasi antara kekuatan utama dunia dan Iran, yang bisa menyebabkan peningkatan tajam arus minyak jika sanksi terhadap Teheran dicabut, meskipun pemerintah Amerika Serikat (AS) menyatakan tidak akan segera tercapai kesepakatan.
Minyak mentah berjangka AS untuk pengiriman bulan depan diperdagangkan di USD52,79/barel pada pukul 08.46 WIB, hampir tidak berubah atau stagnan dari penutupan terakhir, meskipun harga tetap lebih dari 7% di bawah Jumat lalu.
Minyak mentah Brent untuk pengiriman bulan depan turun 9 sen menjadi USD58,52/barel, sekitar 3% di bawah akhir pekan lalu.
Penggerak pasar terbesar pekan ini dipengaruhi gejolak pasar saham China, di mana pemerintah dipaksa untuk memulai langkah-langkah darurat untuk menghentikan penurunan nilai sahamnya sebesar 30% sejak Juni.
"Untuk menempatkan segala sesuatu sesuai perspektif, penurunan kapitalisasi pasar di pasar saham (China) saja sejak rekor pada bulan Juni setara dengan hampir 10 kali PDB Yunani. Sementara harga komoditas jatuh dengan cepat," tulis Goldman Sach seperti dilansir dari Reuters, Jumat (10/7/2015).
Analis mengatakan bahwa permintaan minyak China seharusnya tetap kuat tahun ini, meskipun masalah pasar saham dan ekonomi tumbuh pada kecepatan paling lambat dalam satu generasi.
"Pertumbuhan permintaan minyak tahun ini telah terputus dari realitas dasar pertumbuhan China," kata konsultan China Matters Michal Meidan dalam sebuah laporannya.
Menurut dia, kenaikan pesat pertumbuhan permintaan minyak China terutama untuk penyimpanan, sementara permintaan riil juga telah didukung oleh rendahnya harga minyak.
Sementara rendahnya harga minyak rendah menyakiti produsen minyak, sedangkan importir memperoleh keuntungan.
"Harga minyak lebih rendah memberikan keuntungan beragam, pertumbuhan yang kuat dan inflasi yang lebih rendah semua negara di (Asia), kecuali Malaysia," tulis Bank of America Merrill Lynch dalam sebuah laporannya.
Menurut Merril Lynch, Thailand, Korea, Singapura dan India adalah penerima manfaat terbesar dari rendahnya harga minyak karena mereka adalah importir bersih terbesar minyak.
Sementara itu, pedagang minyak sedang menunggu berita hasil negosiasi antara kekuatan utama dunia dan Iran, yang bisa menyebabkan peningkatan tajam arus minyak jika sanksi terhadap Teheran dicabut, meskipun pemerintah Amerika Serikat (AS) menyatakan tidak akan segera tercapai kesepakatan.
Minyak mentah berjangka AS untuk pengiriman bulan depan diperdagangkan di USD52,79/barel pada pukul 08.46 WIB, hampir tidak berubah atau stagnan dari penutupan terakhir, meskipun harga tetap lebih dari 7% di bawah Jumat lalu.
Minyak mentah Brent untuk pengiriman bulan depan turun 9 sen menjadi USD58,52/barel, sekitar 3% di bawah akhir pekan lalu.
Penggerak pasar terbesar pekan ini dipengaruhi gejolak pasar saham China, di mana pemerintah dipaksa untuk memulai langkah-langkah darurat untuk menghentikan penurunan nilai sahamnya sebesar 30% sejak Juni.
"Untuk menempatkan segala sesuatu sesuai perspektif, penurunan kapitalisasi pasar di pasar saham (China) saja sejak rekor pada bulan Juni setara dengan hampir 10 kali PDB Yunani. Sementara harga komoditas jatuh dengan cepat," tulis Goldman Sach seperti dilansir dari Reuters, Jumat (10/7/2015).
Analis mengatakan bahwa permintaan minyak China seharusnya tetap kuat tahun ini, meskipun masalah pasar saham dan ekonomi tumbuh pada kecepatan paling lambat dalam satu generasi.
"Pertumbuhan permintaan minyak tahun ini telah terputus dari realitas dasar pertumbuhan China," kata konsultan China Matters Michal Meidan dalam sebuah laporannya.
Menurut dia, kenaikan pesat pertumbuhan permintaan minyak China terutama untuk penyimpanan, sementara permintaan riil juga telah didukung oleh rendahnya harga minyak.
Sementara rendahnya harga minyak rendah menyakiti produsen minyak, sedangkan importir memperoleh keuntungan.
"Harga minyak lebih rendah memberikan keuntungan beragam, pertumbuhan yang kuat dan inflasi yang lebih rendah semua negara di (Asia), kecuali Malaysia," tulis Bank of America Merrill Lynch dalam sebuah laporannya.
Menurut Merril Lynch, Thailand, Korea, Singapura dan India adalah penerima manfaat terbesar dari rendahnya harga minyak karena mereka adalah importir bersih terbesar minyak.
(rna)