Indonesia Diminta Waspadai Anjloknya Bursa China
A
A
A
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) meminta Indonesia untuk mewaspadai respon kebijakan fiskal pemerintah China akibat bursa saham China, yang anjlok hingga 30% dalam waktu satu bulan terakhir.
Indeks saham China bergerak seperti roller coaster dalam beberapa pekan terakhir dan menghapus nilai kapitalisasi pasar lebih dari USD3 triliun. Hal ini dipicu dari indeks saham Shanghai telah turun lebih dari 30% sejak mencapai puncaknya pada 12 Juni 2015.
Gubernur BI Agus Martowardojo menuturkan, sejatinya pertumbuhan bursa di Negeri Tirai Bambu tersebut dalam satu tahun terakhir cukup tinggi. Jika sampai bursa sahamnya terjun bebas hingga 30% dalam waktu satu bulan maka hal tersebut dapat dipahami dalam dunia pasar modal.
Dia mengungkapkan, respon kebijakan pemerintah China untuk mewajibkan investor menahan (hold) selama enam bulan sangat tidak bersahabat dengan pasar (market friendly). Tentunya, kebijakan tersebut akan mendatangkan respon lebih jauh lagi untuk dunia usaha dan pasar.
“Ketika hari ini kita mendapat berita akan ada kebijakan meminta investor wajib hold enam bulan, mungkin itu tidak terlalu market friendly. Akan mendatangkan respon lebih jauh lagi untuk dunia usaha dan pasar. Kondisi di China yang ada koreksi beberapa hari ini memang sangat perlu diwaspadai,” kata Agus di Jakarta, Kamis (9/7/2015).
Menurutnya, kebijakan yang diambil China untuk menahan investor melakukan transaksi selama enam bulan tentu mencerminkan kondisi di China. Sebab, mayoritas investor yang ada di negara tersebut adalah investor domestik.
“Dan investor di dalam negeri ada kekhawatiran dan itu akan pengaruhi dunia usahanya dan berpengaruh ke mitra kerja utama dari China,” imbuh dia.
Agus menambahkan, kondisi eksternal memang patut diwaspadai terutama yang terjadi belakangan ini di Yunani, China, dan Amerika Serikat (AS). Selain itu, harga komoditas yang terus melemah juga patut menjadi perhatian.
Kendati demikian, dia tetap optimistis bahwa saat ini Indonesia telah melakukan perbaikan jangka pendek yang konkret. Saat ini, yang perlu dipikirkan adalah agar kegiatan jangka menengah dan panjang untuk terus melakukan reformasi struktural dapat mendatangkan kenyaman bagi pelaku pasar.
“Kita hrus fokus agar kegiatan kita jangka menengah dan panjang itu terus melakukan reformasi struktural dan itu akan membangun confident,” pungkasnya.
Indeks saham China bergerak seperti roller coaster dalam beberapa pekan terakhir dan menghapus nilai kapitalisasi pasar lebih dari USD3 triliun. Hal ini dipicu dari indeks saham Shanghai telah turun lebih dari 30% sejak mencapai puncaknya pada 12 Juni 2015.
Gubernur BI Agus Martowardojo menuturkan, sejatinya pertumbuhan bursa di Negeri Tirai Bambu tersebut dalam satu tahun terakhir cukup tinggi. Jika sampai bursa sahamnya terjun bebas hingga 30% dalam waktu satu bulan maka hal tersebut dapat dipahami dalam dunia pasar modal.
Dia mengungkapkan, respon kebijakan pemerintah China untuk mewajibkan investor menahan (hold) selama enam bulan sangat tidak bersahabat dengan pasar (market friendly). Tentunya, kebijakan tersebut akan mendatangkan respon lebih jauh lagi untuk dunia usaha dan pasar.
“Ketika hari ini kita mendapat berita akan ada kebijakan meminta investor wajib hold enam bulan, mungkin itu tidak terlalu market friendly. Akan mendatangkan respon lebih jauh lagi untuk dunia usaha dan pasar. Kondisi di China yang ada koreksi beberapa hari ini memang sangat perlu diwaspadai,” kata Agus di Jakarta, Kamis (9/7/2015).
Menurutnya, kebijakan yang diambil China untuk menahan investor melakukan transaksi selama enam bulan tentu mencerminkan kondisi di China. Sebab, mayoritas investor yang ada di negara tersebut adalah investor domestik.
“Dan investor di dalam negeri ada kekhawatiran dan itu akan pengaruhi dunia usahanya dan berpengaruh ke mitra kerja utama dari China,” imbuh dia.
Agus menambahkan, kondisi eksternal memang patut diwaspadai terutama yang terjadi belakangan ini di Yunani, China, dan Amerika Serikat (AS). Selain itu, harga komoditas yang terus melemah juga patut menjadi perhatian.
Kendati demikian, dia tetap optimistis bahwa saat ini Indonesia telah melakukan perbaikan jangka pendek yang konkret. Saat ini, yang perlu dipikirkan adalah agar kegiatan jangka menengah dan panjang untuk terus melakukan reformasi struktural dapat mendatangkan kenyaman bagi pelaku pasar.
“Kita hrus fokus agar kegiatan kita jangka menengah dan panjang itu terus melakukan reformasi struktural dan itu akan membangun confident,” pungkasnya.
(rna)