Tingginya Harga Properti, Rendahnya Penghasilan Kita

Minggu, 12 Juli 2015 - 10:33 WIB
Tingginya Harga Properti, Rendahnya Penghasilan Kita
Tingginya Harga Properti, Rendahnya Penghasilan Kita
A A A
Kita semua menyambut gembira kenaikan penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Dengan tujuan meningkatkan daya beli masyarakat terutama kelas bawah, pekerja bujangan atau tidak kawin (TK) dengan penghasilan maksimal Rp3 juta per bulan kini tidak perlu membayar pajak penghasilan (PPh) lagi.

Melambatnya perekonomian kita memang telah membuat susah banyak orang. Seiring dengan turunnya harga batu bara dan komoditas andalan Indonesia lainnya sejak 2012, telah terjadi pengurangan dan pemutusan hubungan kerja (PHK) untuk industri-industri di atas. Tidak hanya industri pertambangan dan pertanian, kelesuan pasar juga melanda industri konstruksi dan automotif.

Hingga April lalu, volume penjualan semen turun 1% year on year (yoy). Penjualan sepeda motor bahkan anjlok 26% yoy. Dengan dua dari tiga indikator yang kerap digunakan Bank Indonesia untuk kondisi sektor riil mengecewakan seperti ini, kita realistisnya tidak bisa berharap terlalu banyak untuk perekonomian di tahun ini. Bukti lain, jika Anda saat ini memegang uang kas dan berniat membeli mobil dengan tunai maka tidak sulit mendapatkan diskon besar hingga 25% atau puluhan juta rupiah.

Industri Tertekan

Terakhir, industri properti yang selama ini berjaya pun terkena imbasnya. Setelah tahuntahun sebelumnya harga properti terus naik, tahun lalu kenaikan itu mulai terhenti. Tahun ini beberapa investor malah bersedia menjual rugi properti yang baru dibelinya satudua tahun terakhir.

Meskipun demikian, pembelinya belum tentu ada. Ini disebabkan harga belinya relatif sudah ketinggian dan pada saat yang sama daya beli kelas menengah juga terus merosot. Sulit disangkal harga properti terutama tanah, rumah, dan ruko di sebagian besar lokasi telah melesat beberapa kali lipat hanya dalam beberapa tahun.

Sementara gaji dan penghasilan kita hanya naik kurang dari 10% setiap tahunnya. Jangankan di Jakarta, di daerah penyangga seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi saja, kini harga rumah sudah di atas Rp500 juta untuk ukuran kecil, yaitu tanah di bawah 100 m2dan bangunan 30-50 m2.

Di perumahan yang agak mewah, sudah hampir tidak ada lagi rumah yang ditawarkan di bawah Rp1 miliar untuk ukuran yang sama. Tidak ada yang salah dengan harga setinggi itu jika penghasilan masyarakat kita juga besar. Kenyataannya, buruh kita hanya bergaji di bawah Rp3 juta per bulan. Gaji sarjana lulusan perguruan tinggi terkemuka masih sekitar Rp5 juta.

Begitu juga sebagian besar para pegawai negeri sipil (PNS) dan TNI/Polri yang berpenghasilan Rp5-10 juta. Hanya PNS dan TNI/Polri yang menjabat serta profesional yang bekerja sebagai manajer di perusahaan multinasional dan korporasi swasta besar yang dapat membawa pulang belasan hingga puluhan juta rupiah setiap bulan.

Properti Kemahalan

Dengan penghasilan Rp5 juta sebulan, hampir mustahil untuk seorang karyawan dapat membeli rumah tanpa subsidi pemerintah. Dengan kemampuan membayar angsuran rumah 30% dari penghasilannya atau Rp1,5 juta, Anda ingin tahu maksimum kredit bank yang bisa diperolehnya dan harga rumah yang dapat dibelinya dengan kredit itu?

Jika bunga kredit pemilikan rumah (KPR) adalah 12% p.a. dan periode angsuran diasumsikan 15 tahun atau 180 bulan, pegawai tadi hanya dapat mengambil KPR Rp125 juta. Dengan KPR sejumlah ini dan uang muka 20% dari harga properti, rumah yang dapat dibelinya maksimal Rp156,2 juta.

Jika ada bank yang bersedia memberikan tenor hingga 20 tahun, KPR naik menjadi Rp136,2 juta dan harga rumah menjadi Rp170,3 juta. Hampir pasti tidak ada rumah di Jabodetabek yang berharga serendah itu untuk ukuran paling mungil sekalipun yaitu tanah 60 m2dan bangunan 21 m2.

Jika gaji dan tenor saya ganti dengan Rp9 juta, Rp15 juta, Rp30 juta untuk tenor 10, 15, dan 20 tahun dan angsuran 1/3 (33,3%) dari gaji, kita akan mendapatkan tabel berikut ini untuk plafon kredit dan harga rumah yang dapat dibeli seseorang.

Daya Beli Rendah

Dari tabel di atas, terlihat rendahnya kemampuan masyarakat kita untuk membeli rumah atau apartemen. Mereka yang berpenghasilan Rp30 juta sebulan saja ternyata hanya mampu memiliki properti senilai Rp1,14 miliar dengan KPR sebesar Rp908,2 juta selama 20 tahun.

Padahal, jumlah mereka yang berpenghasilan sebesar ini di negeri ini, saya pikir, tidak lebih dari 5%. Anda boleh saja tidak setuju dengan saya soal asumsi bunga 12% dengan mengatakan bunga KPR bank saat ini adalah 10- 11%. Praktiknya, itu hanya bunga tetap bank, sekaligus bunga promosi selama 1-2 tahun pertama untuk menggaet calon investor properti.

Lepas dari periode bunga tetap, bunga ini akan dinaikkan menjadi 12- 14%. Saya mengalaminya sendiri ketika mengambil KPR konvensional berbunga rendah 7,49% pada tahun 2011. Setelah dua tahun, bunga itu dinaikkan menjadi 13% dan ke 13,5% lima bulan kemudian.

Saya pun langsung melunasinya. Kesimpulannya, gaji kita dalam nominal memang terlihat begitu besar yaitu jutaan rupiah. Namun dilihat dari daya belinya, khususnya untuk membeli properti, penghasilan itu sangatlah rendah.

Kemungkinan lain adalah harga properti yang sudah terlalu mahal atau kedua-duanya. Karena itu, di mata saya sudah sewajarnya harga rumah dan apartemen kelas menengah dan bawah turun. Harapan lainnya, gaji dinaikkan.

Budi Frensidy
Staf Pengajar FEUI dan Perencana Keuangan Independen, www.fund-and-fun.com @BudiFrensidy
(ftr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5314 seconds (0.1#10.140)