Melirik Kesiapan BTN dalam Program Sejuta Rumah

Rabu, 22 Juli 2015 - 10:08 WIB
Melirik Kesiapan BTN dalam Program Sejuta Rumah
Melirik Kesiapan BTN dalam Program Sejuta Rumah
A A A
Pemerintah telah meluncurkan Program Sejuta Rumah pada 29 April lalu. Bagaimana kesiapan BTN sebagai bank pemerintah dengan bisnis inti (core business) kredit perumahan dalam mewujudkan program itu?

Program itu meliputi 603.516 unit rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan gaji (penghasilan) Rp4 juta untuk rumah sejahtera tapak dan Rp7 juta untuk rumah sejahtera susun. Sisanya 396.484 unit rumah akan dibangun untuk non- MBR (komersial). Dengan bahasa lebih bening, sebagian besar (60%) Program Sejuta Rumah itu diperuntukkan bagi nasabah MBR.

Apakah program hanya tugas BTN? Tentu saja tidak. Artinya, bank nasional lainnya ikut aktif mendukung program tersebut. Data menunjukkan bahwa BTN menetapkan target pemberian kredit untuk 431.000 unit rumah hingga akhir 2015. Sejak program itu meluncur hingga Juni 2015, BTN telah mengucurkan kredit pemilikan rumah (KPR) untuk 50.000 unit rumah.

Keseriusan BTN dalam mewujudkan program itu tercermin pada revisi target pertumbuhan kredit. Tengok saja beberapa bank nasional merevisi target pertumbuhan kredit rata-rata menjadi maksimal 15%. Bank Mandiri dari 15%- 17% menjadi 13%-14%, BCA tetap 12%, BRI dari 15%-17% menjadi 13%-15% atau 14%-16%, BNI dari 15%-17% menjadi 14%-15%, Bank Permata tetap 10%, Bank Danamon dari 10%-12% menjadi di bawah 10%, BII dari 15%-17% menjadi 11%-13%.

Namun, BTN tetap mempertahankan target 15%-17% (Harian Kontan, 22 Juni 2015). Bahkan, target pertumbuhan khusus KPR sebesar 20% pada 2015. Wow! Lantas, faktor kunci keberhasilan (key success factors) apa saja yang harus dipenuhi BTN dalam mewujudkan program itu? Pertama, menambah modal. Dalam bisnis perbankan, modal merupakan salah satu elemen penting dan mendesak untuk mampu melakukan ekspansi kredit.

Apalagi BTN wajib melakukan kucuran kredit besar-besaran untuk mewujudkan mimpi indah itu. Modal pun sebagai benteng terakhir untuk sanggup menangkis aneka potensi risiko kredit, pasar, operasional dan likuiditas. Oleh karena itu, BTN harus menambah modal. Pada 10 Juni 2015 BTN telah menerbitkan Obligasi Berkelanjutan II Tahap I pada 2015 sebesar Rp3 triliun.

Hal ini bertujuan memenuhi kebutuhan pendanaan dan memperkokoh struktur permodalan. Hebatnya, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan telah siap menyerap 40% atau sekitar Rp1,2 triliun dari obligasi tersebut. Rencana berikutnya adalah menerbitkan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK-EBA) sebesar Rp1,5 triliun dan EBA Surat Partisipasi (SP) sebesar Rp1,5 triliun.

Aksi korporasi itu bertujuan dapat meraih dana segar (fresh fund) Rp3 triliun. Rencana itu sejalan dengan pelonggaran likuiditas oleh Bank Indonesia (BI) bahwa simpanan bukan hanya dana pihak ketiga (DPK) yang meliputi giro, tabungan dan deposito, melainkan juga komponen lain seperti surat utang, medium term loan (MTN) dan KIK-EBA.

Dengan demikian, loan to funding ratio (LTF) untuk menggantikan loan to deposi ratio (LDR) yang berlaku efektif 1 Agustus 2015 akan semakin tinggi. Perubahan rasio itu bertujuan agar bank nasional semakin mampu untuk mengucurkan kredit dalam kondisi perlambatan ekonomi dewasa ini.

Kedua, menggandeng instansi pemerintah dan swasta. Untuk menangkap pasar potensial (captive market), sudah semestinya BTN dapat menjalin kerja sama dengan kementerian atau lembaga untuk menawarkan Program Sejuta Rumah. Bahkan, BTN dapat pula menjalin hubungan bisnis dengan instansi swasta dalam memberikan KPR.

Menekan NPL

Sungguh program kerja sama itu dapat menekan potensi risiko kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL). Kok bisa? Itu karena angsuran KPR dapat dipotong langsung dari gaji karyawan kementerian, lembaga atau instansi swasta. Meski sudah ada ”BI checking” untuk mengetahui kewajiban nasabah, BTN tetap wajib memegang prinsip kehatian-hatian tinggi (prudential banking), terutama dalam menyeleksi dokumen sebagai persyaratan KPR.

Kewaspadaan itu bertujuan mengurangi NPL gross yang cukup tinggi 4,78% per Maret 2015 naik dari 4,74% per Maret 2014 mendekati ambang batas 5%. Sementara itu, NPL net mencapai 3,47% per Maret 2015 menipis dari 3,57% per Maret 2014. Hal ini menjadi tantangan serius bagi BTN untuk sanggup menekan NPL itu sedemikian rendah. Mengingat NPL tinggi akan menggerus modal. Ketiga, membutuhkan dukungan pengembang (developer).

Selain itu, pengembang amat diharapkan untuk mendukung megaprogram itu. Keempat, pemerintah memberikan insentif. Pemerintah akan meluncurkan berbagai insentif untuk menunjang terwujudnya Program Sejuta Rumah, misalnya pengurangan biaya pengurusan izin mendirikan rumah (IMB) menjadi 5%. Pemerintah juga akan memotong habis biaya bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) menjadi 5%.

Rencana insentif lainnya berupa kenaikan batas atas pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk rumah murah. Pemerintah akan menaikkan bebas PPN dari Rp144 juta menjadi Rp300 juta. Sudah sepatutnya pemerintah pun dapat memberikan insentif kepada bank nasional yang menggarap KPR bagi MBR berupa pengurangan 1%-2 % giro wajib minimum (GWM) dalam rupiah.

Hal itu bertujuan mendorong bank nasional selain BTN agar lebih rajin. Keempat, BI hendaknya mendorong agar suku bunga dasar kredit (SBDK) berjalan efektif. Selayaknya SBDK menjadi salah satu instrumen bagi BI untuk mengendalikan atau tegasnya untuk menurunkan suku bunga kredit, termasuk KPR. Selama ini SBDK belum menjadi instrumen yang efektif.

PAUL SUTARYONO
Pengamat Perbankan,
Mantan Assistant Vice President BNI &
Alumnus MM-UGM
(bbg)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.6702 seconds (0.1#10.140)