Dikelola untuk Dikembalikan ke Masyarakat

Rabu, 29 Juli 2015 - 19:00 WIB
Dikelola untuk Dikembalikan ke Masyarakat
Dikelola untuk Dikembalikan ke Masyarakat
A A A
UPAYA pemerintah melindungi dan membantu rakyat melalui program jaminan sosial ternyata belum sepenuhnya dipahami dan ditanggapi positif masyarakat luas. Setelah Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) di bidang Kesehatan, kini persoalan juga muncul dengan BPJS Ketenagakerjaan (TK). Padahal, program ini digadang-gadang sebagai wadah untuk memberikan perlindungan sosial bagi para pekerja.

Entah dari kurangnya sosialisasi hingga penatalaksanaan di lapangan, ternyata persoalan cukup berdampak terhadap pelayanan yang dirasakan masyarakat. Misalnya saja, kebijakan baru-baru ini terkait BPJS TK, seperti Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pelaksanaan Program Jaminan Hari Tua (JHT).

Pro dan kontra pun muncul setelah adanya perubahan, yakni jika dana JHT pekerja masih aktif, si pekerja bisa mencairkan JHT tersebut sebanyak 10% untuk penggunaan persiapan hari tua dan 30% untuk perumahan. Sisa dananya baru bisa dicairkan setelah mencapai usia 56 tahun.

Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Elvyn G Masassya menilai peraturan tersebut sudah disesuaikan dengan undang-undang yang berlaku. “PP Nomor 46 tentang Pelaksanaan Program JHT yang isinya turunan dari UU Nomor 40, di UU tersebut, disebutkan bahwa JHT adalah program jaminan sosial yang peruntukannya adalah untuk membantu para pekerja yang sudah tidak produktif lagi,” jelas pria kelahiran Medan, 48 tahun silam ini.

Secara khusus, kepada Fikri Kurniawan, Faorick Pakpahan, dan pewarta foto Dimas Rachmadan dari SINDO Weekly, Elvyn membeberkan perihal tentang program BPJS TK dan peran lembaga terhadap perlindungan tenaga kerja melalui program jaminan sosial.

Bagaimana cerita rapat perumusan dan pembuatan Peraturan Pemerintah terkait JHT pada 1 Juli lalu yang berujung polemik?

Sebenarnya, PP itu merupakan turunan dari undang-undang, yaitu UU tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang lahir pada 2004 dalam UU Nomor 40 Tahun 2004. UU itu lahir sebelum BPJS ini ada. Kemudian pada 2011, lahir UU Nomor 24 yang menyebutkan harus ada badan penyelenggaraan jaminan sosial. Ketika UU Nomor 24 itu lahir, BPJS pun belum ada. Di dalam UU Nomor 24 itu, disebutkan bahwa PT Jamsostek bertransformasi menjadi BPJS TK dan beroperasi penuh pada 1 Juli 2015. Sementara, Askes menjadi BPJS Kesehatan dan beroperasi pada 1 Januari 2014.

Untuk beroperasi penuh, BPJS TK tentu harus dilengkapi dengan perangkat-perangkat peraturan. Ada empat program yang dijalankan. Itu sesuai dengan mandat UU Nomor 24 dan amanah UU Nomor 40. Keempatnya adalah JHT, Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), dan Jaminan Pensiun (JP). Lalu, lahirlah peraturan-peraturan pemerintah. Salah satunya adalah PP Nomor 46 tentang Pelaksanaan Program JHT yang isinya turunan dari UU Nomor 40. Di UU tersebut, disebutkan bahwa JHT adalah program jaminan sosial yang peruntukannya adalah untuk membantu para pekerja yang sudah tidak produktif lagi. Artinya, kalau dia bekerja terus hingga usia 56 tahun, di usia itu dia diperbolehkan mengambil JHT tadi.

Selain memasuki masa pensiun, dalam kondisi apa lagi JHT bisa diambil?

Selain karena memasuki usia pensiun, dalam UU itu dikatakan bahwa program JHT ini bisa diambil dananya karena beberapa sebab. Pertama, memasuki usia pensiun, kedua meninggal dunia, serta ketiga karena cacat total dan tidak bisa bekerja lagi. Itulah alasan munculnya PP Nomor 46. Di dalam UU Nomor 40 juga disebutkan, bagi pekerja yang masih aktif, dia bisa mencairkan JHT tersebut sebanyak 10% untuk penggunaan persiapan hari tua, dan 30% untuk perumahan.

Di UU tersebut juga disebutkan hanya dapat diambil sebagian. Kata-kata “sebagian” itu kemudian diturunkan pada PP Nomor 46 menjadi persentase sebanyak 10% dan 30%. Ketika itu diimplementasikan pada 1 Juli 2015, kalangan pekerja merasa kaget karena sekarang menjadi sepuluh tahun. Padahal, tidak ada hubungannya. Sebab, sepuluh tahun itu bagi pekerja yang masih aktif. Dulunya malah tidak boleh.

Mengapa dulu saat bernama Jamsostek lebih mudah mengambilnya?

Sebelumnya, ketika masih Jamsostek, JHT bisa diambil karena beberapa sebab. Seperti tadi, karena meninggal dunia, pensiun, menjadi PNS/TNI/Polri, dan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya. Di situ kemudian ada penjelasan, bahwa kalau terkena PHK, boleh mengambil setelah masa kepesertaannya selama lima tahun. Ini pun dituangkan dalam PP Nomor 14 yang menyebutkan bahwa mereka yang terkena PHK bisa mengambil dananya kalau sudah menjadi peserta selama lima tahun ditambah masa tunggu satu bulan.

Jadi, antara UU Nomor 3 Tahun 1992 dan UU Nomor 40 Tahun 2004 memang ada perbedaan. Kalau pada UU Nomor 3 orang-orang terkena PHK diakomodasi, pada UU Nomor 40 tidak diakomodasi. Ini mengembalikan falsafah JHT, yakni untuk penjaminan hari tua.

Bagaimana respons BPJS TK terhadap keberatan para pekerja itu?

BPJS TK ini kan penyelenggara. Kami government agency. Kami adalah institusi yang dibentuk berdasarkan UU di bawah Presiden untuk melaksanakan program jaminan sosial. Sementara, regulasinya itu disiapkan oleh pemerintah. Jadi, kita tentu melaksanakan apapun sesuai dengan regulasi dan perundang-undangan yang berlaku.

Bagaimana pandangan BPJS TK sendiri mengenai regulasi JHT yang berbeda dengan regulasi era Jamsostek?
Falsafahnya memang berbeda. UU SJSN ini falsafahnya adalah mengembalikan hakikat program jaminan sosial. Jaminan sosial itu adalah program negara untuk memberikan perlindungan bagi para pekerja tatkala mereka menghadapi risiko-risiko. Saat mencapai usia tua atau ketika tidak produktif lagi, diberikanlah JHT. Jika terjadi musibah kecelakaan, JKK diberikan. Itulah hakikat dari UU SJSN.

Ketika UU Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek, itu masih asuransi sosial. Berbeda antara asuransi sosial dan jaminan sosial. Contohnya dulu, ketika masa Jamsostek, ada program Jaminan Kesehatan Kerja dan Jaminan Kematian. Kalau dalam setahun mereka mengiurkan dana dan ternyata dalam setahun itu tidak ada klaim, iuran itu menjadi milik pengelola, yakni PT Jamsostek. Setelah milik BPJS TK, ada klaim maupun tidak, iurannya tetap milik pekerja. Itu yang membedakan.

Bagaimana dengan pekerja-pekerja alih daya yang saat ini masih banyak jumlahnya?

Semua yang memiliki penghasilan apapun pekerjaannya bisa mendaftar ke BPJS TK, baik dia pekerja penerima upah maupun bukan—dalam hal ini adalah pekerja yang memiliki upah. Jadi, selama dia memiliki penghasilan, dia berhak mendaftarkan diri.

Bagaimana dengan pekerja mandiri?


Itu juga sudah bisa dimulai sejak 1 Juli. Hanya saja, mandatnya yang ada bagi pekerja penerima upah. Para pekerja mandiri itu bergantung pada kemampuannya. Ada skala usahanya. Jika dia memiliki usaha yang besar dan menengah, dia mandatory. Namun jika kecil, sifatnya masih sukarela.

Lalu, bagaimana jika ada seseorang yang menarik seluruh JHT miliknya, apakah orang tersebut masih terdaftar dalam BPJS?

Kalau sudah menarik seluruh dananya, otomatis dia sudah tidak menjadi peserta lagi. Namun, dia bisa mendaftar ulang jika dia bekerja lagi atau memiliki penghasilan lagi.

Jika seorang pekerja sebut saja gajinya Rp3 juta per bulan, nantinya akan menerima berapa?

Rp3 juta per bulan itu kan angka dasar. Kemudian, dia jadi peserta berapa tahun? Dari Rp3 juta itu, dia akan diambil 3%. Gaji Rp3 juta ini kan setiap tahun juga akan meningkat. Ambil inflasi misalnya, naik menjadi Rp3,3 juta dan seterusnya. Ini nanti dirata-ratakan. Pada tahun ke-16—karena minimal peserta itu 15 tahun—kalau dia sudah pensiun, dia bisa mendapatkan dana dari rata-rata upah tadi.

Rata-rata upahnya kan bukan Rp3 juta, tetapi naik terus. Katakanlah menjadi Rp10 juta, maka dia akan mendapatkan 40% dari Rp10 juta. Banyak orang keliru bahwa jika pendapatannya sekarang Rp3 juta, nanti akan mendapatkan tetap segitu.

Setiap perusahaan memiliki kebijakan tentang pensiunan pegawainya. Apakah setiap kebijakan itu akan digugurkan dan mengikuti BPJS TK?

Tidak. Program yang diselenggarakan BPJS TK ini adalah program pensiun dasar. Makanya iurannya 3%. Sementara di luar sana, ada program pensiun swasta. Entah itu DPLK atau DPPK, mereka tetap hidup. Misalnya, seseorang sudah ikut DPLK dan di BPJS TK pun wajib. Selama ini, orang itu membayar 10% untuk iuran pensiun. Tinggal dibagi saja 3% ke BPJS dan 7% ke sana. Jadi, keliru jika ini dikatakan bersaing dengan DPLK atau DPPK. Ini malah melengkapi.

Apa yang menjadi pedoman BPJS TK agar investasi yang dilakukan aman?

Kami berinvestasi sepenuhnya berdasarkan peraturan-peraturan. Dalam PP Nomor 99, disebutkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Setelah ada PP itu, kami juga memiliki pedoman pengelola investasi. Kita tidak bisa sembarang membeli. Proses investasi kita pun tidak diputuskan oleh satu orang, tetapi melalui analisis, portofolio, review, kemudian dieksekusi oleh pihak lain.

Bagaimana dengan proses auditnya?

Kami diperiksa oleh BPK, OJK, dan diawasi oleh DJSN. Setiap tahun pun laporan keuangan kita diaudit oleh independen. Lalu, kita lapor kepada Presiden. Untuk internal, ada satuan pengawas intern, kemudian ada juga dewan pengawas.

Bagaimana dengan proses transformasi tiga BUMN, yakni Jamsostek, Taspen, dan Asabri ke dalam BPJS TK?

Undang-undang mengatakan bahwa Taspen dan Asabri saat ini berjalan seperti biasa. Namun, paling lambat pada 2029, programnya harus dialihkan. Jadi, bukan institusinya, justru programnya yang dialihkan pada 2029. Itu amanat undang-undang. Jadi, kalau ada yang mengatakan Taspen dan Asabri mau merger dengan kita, itu miss leading. Amanat undang-undang itu mengharuskan programnya yang harus dialihkan ke BPJS TK paling lambat pada 2029.

Bagaimana dengan target jumlah kepesertaan BPJS TK?

Untuk tahun ini, kami targetkan 22 juta pekerja. Dana investasi kami targetkan Rp220 triliun. Dalam road map kami, sampai dengan akhir 2018, dana pengelolaan kita ditargetkan mencapai Rp500 triliun dengan target peserta sekitar 45 juta pekerja.

Kalau targetnya demikian, bukankah pekerja di Indonesia berjumlah hampir 100 juta?

Pekerja itu kan dibagi dua, yakni pekerja penerima upah dan bukan penerima upah. Target ini tentunya pekerja penerima upah. Sebab, sifatnya yang mandatory itu pekerja penerima upah. Pekerja bukan penerima upah, seperti pedagang kaki lima, tukang ojek, atau tidak bekerja di perusahaan itu bersifat sukarela. Namun, kami tetap menargetkan pekerja bukan penerima upah. Kalau road map Bappenas, disebutkan jumlahnya sekitar 5%.

Bagaimana dengan perusahaan yang tidak mau mendaftarkan pekerjanya?

Tahun ini kami sudah punya unit Pengawasan dan Pemeriksaan (Wasrik). Kami punya petugas pengawas 121 orang yang ditempatkan di setiap cabang yang mulai beroperasi pada Juli ini. Nantinya, mereka bisa datang ke setiap perusahaan untuk mengecek apa pekerjanya sudah menjadi peserta atau belum.

Bagaimana dengan perusahaan yang tidak jujur melaporkan gaji pekerjanya?

Ada sanksinya, yakni pencabutan pelayanan publik, seperti mencabut izin usaha, mencabut paspor dari direksi atau manajemen perusahaan, dan dikenakan denda. Kalau kemudian secara sengaja tidak mau mendaftarkan setelah diberikan surat imbauan, surat peringatan tetap saja dicuekin atau tidak kooperatif, bisa saja dikenakan sanksi pidana kurungan lima tahun penjara.

Ini semua melalui proses atau prosedurnya dan mulai tahun ini akan diterapkan setelah kita beroperasi penuh dengan kewenangannya. Saat mencapai usia tua atau ketika tidak produktif lagi, diberikanlah JHT. Jika terjadi musibah kecelakaan, JKK diberikan. Itulah hakikat dari UU SJSN.

Baca selengkapnya di SINDO Weekly No 21-22 Tahun 4, 2015, terbit Kamis 30 Juli 2015
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0156 seconds (0.1#10.140)