Mahkamah Konstitusi Tegaskan OJK Konstitusional
A
A
A
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sesuai dengan konstitusi meskipun tidak diperintahkan oleh UUD 1945.
MK menyatakan, meski tidak diperintahkan oleh UUD 1945, tidak serta merta pembentukan OJK inkonstitusional. Sebab, pembentukan OJK atas perintah UU yang dibentuk oleh lembaga berwenang dalam hal ini Bank Indonesia (BI).
”Pembentukan OJK sebagai lembaga yang independen merupakan perintah dari Pasal 34 UU BI yang menyatakan bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan jasa keuangan yang independen dan dibentuk dengan undang-undang,” ungkap Wakil Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan uji materi UU OJK di Ruang Sidang MK, Jakarta, kemarin.
Lagipula, persoalan pengaturan dan pengawasan di bidang perekonomian dan sektor keuangan merupakan kebijakan hukum terbuka (legal open policy) pembuat undangundang (UU). Pengaturan dan pengawasan yang bersifat macroprudential maupun microprudential ditujukan untuk menjaga kestabilan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, MK pun menegaskan keberadaan OJK yang independen bukan berarti bersifat mutlak dan tidak terbatas.
Meski demikian, MK memandang harus ada batasan waktu penggunaan APBN sebagai sumber dana operasional. Sebab, pendanaan dari APBN dilakukan saat industri jasa keuangan belum dapat mendanai seluruh kegiatan operasionalnya secara mandiri. Sehingga, diperlukan batasan waktu penggunaan APBN. Itu menjadi kewenangan pembentuk UU untuk menilainya.
Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Rahmat Waluyanto menyatakan, putusan MK ini mengukuhkan bahwa seluruh kewenangan OJK yang diberikan melalui UU adalah konstitusional. Sebab, kewenangan yang diberikan pada OJK didasari atas kebutuhan dan kepentingan negara. Apalagi, MK hanya memperbaiki makna independensi kelembagaan OJK dengan menghapuskan frase ”campur tangan orang lain” yang sebenarnya tidak mengubah kewenangan maupun tugas pokok pada OJK.
”Hal-hal yang berkaitan dengan tugas pokok OJK tadi disebutkan semuanya disetujui, semua dikukuhkan dalam UU OJK. Jadi, kewenangan lalu cakupan bidangnya pun itu bagian dari apa yang disebut legal open policy yang dipunyai para pembentuk UU,” ungkap Rahmat.
Ke depan, ungkapnya, dirinya meyakini kerja OJK akan semakin baik dan akan tetap melakukan komunikasi serta koordinasi dengan pemerintah maupun BI.
Nurul adriyana/ hafid fuad
MK menyatakan, meski tidak diperintahkan oleh UUD 1945, tidak serta merta pembentukan OJK inkonstitusional. Sebab, pembentukan OJK atas perintah UU yang dibentuk oleh lembaga berwenang dalam hal ini Bank Indonesia (BI).
”Pembentukan OJK sebagai lembaga yang independen merupakan perintah dari Pasal 34 UU BI yang menyatakan bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan jasa keuangan yang independen dan dibentuk dengan undang-undang,” ungkap Wakil Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan uji materi UU OJK di Ruang Sidang MK, Jakarta, kemarin.
Lagipula, persoalan pengaturan dan pengawasan di bidang perekonomian dan sektor keuangan merupakan kebijakan hukum terbuka (legal open policy) pembuat undangundang (UU). Pengaturan dan pengawasan yang bersifat macroprudential maupun microprudential ditujukan untuk menjaga kestabilan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, MK pun menegaskan keberadaan OJK yang independen bukan berarti bersifat mutlak dan tidak terbatas.
Meski demikian, MK memandang harus ada batasan waktu penggunaan APBN sebagai sumber dana operasional. Sebab, pendanaan dari APBN dilakukan saat industri jasa keuangan belum dapat mendanai seluruh kegiatan operasionalnya secara mandiri. Sehingga, diperlukan batasan waktu penggunaan APBN. Itu menjadi kewenangan pembentuk UU untuk menilainya.
Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Rahmat Waluyanto menyatakan, putusan MK ini mengukuhkan bahwa seluruh kewenangan OJK yang diberikan melalui UU adalah konstitusional. Sebab, kewenangan yang diberikan pada OJK didasari atas kebutuhan dan kepentingan negara. Apalagi, MK hanya memperbaiki makna independensi kelembagaan OJK dengan menghapuskan frase ”campur tangan orang lain” yang sebenarnya tidak mengubah kewenangan maupun tugas pokok pada OJK.
”Hal-hal yang berkaitan dengan tugas pokok OJK tadi disebutkan semuanya disetujui, semua dikukuhkan dalam UU OJK. Jadi, kewenangan lalu cakupan bidangnya pun itu bagian dari apa yang disebut legal open policy yang dipunyai para pembentuk UU,” ungkap Rahmat.
Ke depan, ungkapnya, dirinya meyakini kerja OJK akan semakin baik dan akan tetap melakukan komunikasi serta koordinasi dengan pemerintah maupun BI.
Nurul adriyana/ hafid fuad
(ars)