UMKM dan Desa

Minggu, 09 Agustus 2015 - 10:02 WIB
UMKM dan Desa
UMKM dan Desa
A A A
Hari Rabu malam (5/8) lalu saya ketemu dan berhalalbihalal dengan para ”UMKM hero”, para tokoh pemimpin komunitas yang peduli memajukan UMKM Indonesia.

Mereka antara lain adalah Pak Budi Isman (pendiri Komunitas Smartpreneur), Pak Subiakto (pakar branding), Mas Badroni Yuzirman (pendiri Komunitas Tangan Di Atas), Mas Jaya Setiabudi (pendiri Young Entrepreneur Academy), Mas Emille Jayamata (Komunitas Organik Indonesia), dan lain-lain. Kami diundang oleh teman-teman Telkom DBS, divisi yang khusus membidangi sektor bisnis UMKM.

Di situ kami ngobrol ngalor-ngidul mengenai bagaimana memajukan UMKM Indonesia. Yang menarik dari forum itu, rupanya isi otak kami sama. Kami memang punya movement masing-masing yang berbeda untuk memajukan UMKM, namun rupanya memiliki spirit dan keresahan yang sama. Keresahan terbesar yang kami rasakan adalah makin mengkhawatirkannya dominasi kapitalisme global melalui kehadiran perusahaan-perusahaan global asing yang merasuk hingga ke urat nadi perekonomian negeri ini.

Praktis semua sektor industri (mulai dari pertambangan, telekomunikasi, perbankan, automotif, konsumer, elektronik, farmasi, ritel, hingga film dan musik) secara sistematis dan struktural dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing melalui kekuatan modal, teknologi, manajemen, dan SDM berkelas dunia.

Dalam forum tersebut teman-teman khawatir dengan tren terakhir, di mana jagat online shop kita secara agresif mulai dikuasai kekuatan modal asing. Para pendiri online shop lokal begitu bangga ketika start-up yang mereka rintis dibeli pemodal asing. Tentu saja, karena triliunan rupiah masuk ke pundi-pundi kekayaan mereka.

UMKM

Seperti teman-teman yang lain, dalam forum tersebut saya mengemukakan concern mengenai keresahan nasional ini. Saya bilang bahwa ”pertahanan terakhir” kemandirian ekonomi Indonesia ditentukan oleh dua hal, yaitu UMKM dan desa. Saya katakan di situ, kalau perusahaan- perusahaan global asing menguasai perusahaan-perusahaan besar lokal (jumlahnya tak sampai 5.000 biji), maka itu masih bisa diterima.

Namun kalau sampai seluruh perusahaan UMKM kita (jumlahnya ada sekitar 50 juta biji) dikuasai oleh kekuatan asing, itu baru terjadi ”kiamat” nasional. Kalau itu terjadi, maka so pasti benteng kemandirian ekonomi nasional betul-betul jebol. UMKM betul-betul menjadi senjata terakhir kemandirian ekonomi nasional karena kekuatan modal asing akan enggan mencaploknya. Ya, karena ukuran mereka kecil maka tentu saja tidak menarik untuk diakuisisi karena potensi ekonominya kecil.

Namun perlu diingat, kecil kalau jumlahnya banyak hingga jutaan dan mereka bersatu-padu bersinergi, maka mereka akan menjadi sebuah kekuatan yang maha besar. ”Smalls are the new big ” adalah ungkapan yang pas untuk menggambarkan kekuatan jutaan UMKM kita. Bicara kekuatan jutaan UMKM kita, serta-merta saya teringat dengan perang gerilya merebut kemerdekaan.

Keberhasilan para pejuang gerilya kita melawan Belanda terutama ditentukan oleh ”small power ” ini. Kenapa pejuang gerilya kita yang hanya bersenjata bambu runcing dan senapan sulit ditundukkan tentara Belanda yang memiliki senjata lengkap seperti meriam dan tank?

Tak lain karena pejuang kita ”kecil-kecil”, pergerakannya tak berpola seperti amuba, sulit dideteksi keberadaannya, dan begitu lincah melakukan penyerangan. Nah, saya gambarkan jutaan UMKM kita layaknya pejuang gerilyawan yang kecil-kecil banyak, superlincah, dan sulit dikooptasi dan dikendalikan oleh kekuatan korporasi global asing.

Desa

Lalu bagaimana dengan desa? Kenapa desa adalah kekuatan pamungkas kemandirian ekonomi nasional. Kalau ibu kota, provinsi, kota/kabupaten dikuasai oleh kekuatan korporasi global asing, maka itu masih bisa diterima. Namun kalau sampai terjadi desa mereka kuasai, maka pada saat itu juga akan terjadi ”kiamat” nasional. Negeri ini akan jatuh terpuruk oleh suatu bentuk penjajahan baru.

Penjajahan bukan oleh kekuatan senjata, namun oleh kekuatan modal dan kapitalisme yang menghisap. Untuk memberikan gambaran gampang, saya memberi contoh dominasi gerai-gerai waralaba makanan asing yang sepuluh tahun terakhir begitu agresif melakukan ekspansi pasar di seluruh penjuru Tanah Air. Ekspansi waralaba makanan asing ini begitu masif meminggirkan kulinerkuliner lokal yang menjadi kekayaan Indonesia.

Itu sebabnya, dalam berbagai kesempatan seminar publik saya sering curhat mengenai kekhawatiran bahwa pecel, rawon, rendang, atau gudeg makin tidak dikenal dan kian tak dikonsumsi oleh anak-cucu kita, kalah pamor oleh kuliner asing. Nah, kalau gerai-gerai waralaba makanan branded asing itu hanya menguasai ibu kota, provinsi, atau kabupaten/ kota, maka itu masih bisa ditolerir.

Namun kalau sampai mereka hadir hingga di tingkat desa, maka pada saat itu jebol pula tanggul kemandirian ekonomi nasional kita. Dengan tingkat laju ekspansi waralaba makanan asing seperti sekarang, tak tertutup kemungkinan jebolnya tanggul ini terjadi dalam waktu yang tak lama.

Sekarang saja ekspansi mereka sudah meluber hingga di tingkat kabupaten/ kota. Tinggal sejurus lagi mereka masuk kecamatan dan desa. Kalau dulu kita mengenal AMD singkatan ”ABRI Masuk Desa” maka nanti kita bakal mengenal ”Asing Masuk Desa”. Kalau itu terjadi, saya takut suatu saat akan ada ”Museum Kuliner Nusantara” di mana anak-cucu kita yang berkunjung takjub menyaksikan pecel, rawon, atau gudeg yang jadul dan langka ditemui.

Kalau betul UMKM dan desa menjadi pilar kemandirian ekonomi nasional, lalu apa agenda besar yang harus kita rintis dan kembangkan? Pekerjaan besarnya cuma satu, yaitu menciptakan wirausahawan UMKM di tingkat desa (grass root ) dalam jumlah besar, tak hanya ribuan tapi bahkan jutaan.

Wow ... sebuah mimpi dan pekerjaan besar. Namun seperti kata orang bijak, tak ada sesuatu yang tak mungkin jika kita punya niatan dan kerja keras. Yuk wujudkan!!!

Yuswohady
Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com @yuswohady
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3158 seconds (0.1#10.140)