Anggaran Daerah Besar Butuh Akuntabilitas dan Pengawasan
A
A
A
JAKARTA - Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016, pemerintah memutuskan menambah dana transfer daerah lebih besar dari belanja kementerian dan lembaga (K/L). Atas keputusan tersebut pemerintah harus fokus pada sikap pararel peningkatan akuntabilitas dan pengawasan dana transfer daerah.
"Saya kira persoalan, secara politik fiskal, itu benar ya menggeser belanja K/L ke transfer daerah. Karena eksternalitas dan prioritas itu sudah ada di daerah. Yang jadi persoalan, saya setuju soal akuntabilitas. Kan selama ini kualitas transfer daerah belum maksimal. Namun, saya khawatir kalau itu enggak dibarengi dengan sikap paralel peningkatan akuntabilitas dan pengawasan yang baik, malah itu akan jadi peluang besar untuk lakukan korupsi atau penyimpangan," ujar Pengamat Kebijakan Publik Yustinus Prastowo kepada Sindonews di Jakarta, Senin (17/8/2015)
Dia mengatakan, ini juga harus dibarengi dengan skema pengawasan dan akuntabilitas, sehingga jangan sampai uang itu cuma diberikan ke daerah dan tidak disalurkan apa-apa.
"Yang kedua, ini kan momentum juga untuk menciptakan skema insentif dan disinsentifnya, reward and punishment. Itu nanti pusat harus sudah membuat GPA, untuk penggunaan dana transfer itu. Daerah yang menggunakan dengan baik, berkualitas, harus dapat reward, kalau enggak, berarti tahun depan dia harus kena penalti, sehingga mereka harus konsisten menggunakan uang ini," katanya.
Dari berita sebelumnya, transfer ke daerah dan dana desa dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 pertama kalinya lebih besar dari belanja kementerian/lembaga.
Dana desa dalam RAPBN 2016 naik menjadi Rp47 triliun dari sebelumnya Rp20 triliun. Sementara transfer ke daerah naik menjadi Rp735,2 triliun dari sebelumnya Rp643,8 triliun.
“Dengan dana seperti itu, per desa rata-rata akan menerima Rp628,5 juta. Ini artinya pemerintah implementasikan disentralisasi fiskal,” ujar Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro di BKPM Jakarta, Jumat (14/8/2015).
Baca juga:
Siraman Dana Panas Daerah
Menkeu Bingung Pemda Endapkan Dana Rp273 T di Bank
"Saya kira persoalan, secara politik fiskal, itu benar ya menggeser belanja K/L ke transfer daerah. Karena eksternalitas dan prioritas itu sudah ada di daerah. Yang jadi persoalan, saya setuju soal akuntabilitas. Kan selama ini kualitas transfer daerah belum maksimal. Namun, saya khawatir kalau itu enggak dibarengi dengan sikap paralel peningkatan akuntabilitas dan pengawasan yang baik, malah itu akan jadi peluang besar untuk lakukan korupsi atau penyimpangan," ujar Pengamat Kebijakan Publik Yustinus Prastowo kepada Sindonews di Jakarta, Senin (17/8/2015)
Dia mengatakan, ini juga harus dibarengi dengan skema pengawasan dan akuntabilitas, sehingga jangan sampai uang itu cuma diberikan ke daerah dan tidak disalurkan apa-apa.
"Yang kedua, ini kan momentum juga untuk menciptakan skema insentif dan disinsentifnya, reward and punishment. Itu nanti pusat harus sudah membuat GPA, untuk penggunaan dana transfer itu. Daerah yang menggunakan dengan baik, berkualitas, harus dapat reward, kalau enggak, berarti tahun depan dia harus kena penalti, sehingga mereka harus konsisten menggunakan uang ini," katanya.
Dari berita sebelumnya, transfer ke daerah dan dana desa dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 pertama kalinya lebih besar dari belanja kementerian/lembaga.
Dana desa dalam RAPBN 2016 naik menjadi Rp47 triliun dari sebelumnya Rp20 triliun. Sementara transfer ke daerah naik menjadi Rp735,2 triliun dari sebelumnya Rp643,8 triliun.
“Dengan dana seperti itu, per desa rata-rata akan menerima Rp628,5 juta. Ini artinya pemerintah implementasikan disentralisasi fiskal,” ujar Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro di BKPM Jakarta, Jumat (14/8/2015).
Baca juga:
Siraman Dana Panas Daerah
Menkeu Bingung Pemda Endapkan Dana Rp273 T di Bank
(dmd)