Rupiah Makin Kritis, Ini Komentar Chatib Basri
A
A
A
JAKARTA - Rupiah dan kondisi mata uang negara Asia Tenggara hari ini mengalami kondisi kritis. Bahkan rupiah tembus Rp14.000/USD. (Baca: Rupiah Dibuka Tembus Rp14.000/USD).
Banyak sentimen dan spekulasi yang membuat rupiah semakin melemah di tengah keperkasaan mata uang negara Paman Sam dan keoknya yuan China. Salah satunya karena kemungkinan terjadinya currency war (perang mata uang).
Kondisi ini semakin diperparah karena kondisi domestik Indonesia juga tidak terlalu stabil. Ini dilihat dari jebloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di level 4.230 pagi ini.
"Ini dia yang sekarang terjadi, ketidakpastian pasar keuangan global yang dipicu oleh ketidakpastian akibat kemungkinan terjadinya currency war. Kondisi ini, didukung juga dengan kenaikan bunga di Amerika Serikat dan telah membuat stock market dan mata uang di Asia Tenggara jatuh," ujar Senior Fellow Harvard Kennedy School Chatib Basri kepada Sindonews di Jakarta, Senin (24/8/2015).
Sebelumnya, kata Chatib, kondisi rupiah saat ini diakibatkan juga oleh kebijakan pemerintah China yang sengaja melemahkan mata uang negeri pandanya tersebut. Maka, tidak butuh waktu berlarut-larut bagi China untuk menempatkan negara dengan status negara berkembang, berada dalam kondisi depresiasi. Termasuk seperti yang terjadi di Indonesia.
Saat ini, lanjut dia, dengan situasi eksternal yang tidak menunjukkan kepastian ini, Indonesia sepertinya harus memberikan prioritas tersendiri untuk domestiknya agar bisa keluar dari kondisi ini, minimal mengangkat rupiah ke angka apresiasi.
"Ini situasi eksternalnya memang tidak pasti. Jadi tampaknya Indonesia harus memberi prioritas pada stabilisasi makro dan sumber pertumbuhan domestik. Misalnya dengan melakukan keep buying strategi seperti yang dilakukan 2013," terangnya.
Keep buying strategy yang dimaksud mantan Menteri Keuangan era SBY ini adalah dengan memperkuat belanja dalam negeri. Jika masyarakat Indonesia masih bisa mengeluarkan uangnya untuk belanja, maka itu membuktikan jika perekonomian Indonesia masih berjalan.
Namun, Chatib mengingatkan bahwa pemerintah harus berhati-hati dengan mekanisme keep buying strategy ini. Pasalnya, jangan sampai strategi ini menyentuh kalangan masyarakat kelas atas.
"Keep buying strategy harus untuk masyarakat berpenghasilan rendah, karena kalau yang Kaya dikasih uang lebih, mereka pasti lebih baik meng-keep. Beda dengan orang berpenghasilan rendah, dikasih uang, pasti langsung belanja. Karena pendapat mereka sehari-hari kan kurang ya. Jadi kalau keep buying ini dipakai sama yang kaya, ya sama saja enggak gerak," pungkasnya.
Banyak sentimen dan spekulasi yang membuat rupiah semakin melemah di tengah keperkasaan mata uang negara Paman Sam dan keoknya yuan China. Salah satunya karena kemungkinan terjadinya currency war (perang mata uang).
Kondisi ini semakin diperparah karena kondisi domestik Indonesia juga tidak terlalu stabil. Ini dilihat dari jebloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di level 4.230 pagi ini.
"Ini dia yang sekarang terjadi, ketidakpastian pasar keuangan global yang dipicu oleh ketidakpastian akibat kemungkinan terjadinya currency war. Kondisi ini, didukung juga dengan kenaikan bunga di Amerika Serikat dan telah membuat stock market dan mata uang di Asia Tenggara jatuh," ujar Senior Fellow Harvard Kennedy School Chatib Basri kepada Sindonews di Jakarta, Senin (24/8/2015).
Sebelumnya, kata Chatib, kondisi rupiah saat ini diakibatkan juga oleh kebijakan pemerintah China yang sengaja melemahkan mata uang negeri pandanya tersebut. Maka, tidak butuh waktu berlarut-larut bagi China untuk menempatkan negara dengan status negara berkembang, berada dalam kondisi depresiasi. Termasuk seperti yang terjadi di Indonesia.
Saat ini, lanjut dia, dengan situasi eksternal yang tidak menunjukkan kepastian ini, Indonesia sepertinya harus memberikan prioritas tersendiri untuk domestiknya agar bisa keluar dari kondisi ini, minimal mengangkat rupiah ke angka apresiasi.
"Ini situasi eksternalnya memang tidak pasti. Jadi tampaknya Indonesia harus memberi prioritas pada stabilisasi makro dan sumber pertumbuhan domestik. Misalnya dengan melakukan keep buying strategi seperti yang dilakukan 2013," terangnya.
Keep buying strategy yang dimaksud mantan Menteri Keuangan era SBY ini adalah dengan memperkuat belanja dalam negeri. Jika masyarakat Indonesia masih bisa mengeluarkan uangnya untuk belanja, maka itu membuktikan jika perekonomian Indonesia masih berjalan.
Namun, Chatib mengingatkan bahwa pemerintah harus berhati-hati dengan mekanisme keep buying strategy ini. Pasalnya, jangan sampai strategi ini menyentuh kalangan masyarakat kelas atas.
"Keep buying strategy harus untuk masyarakat berpenghasilan rendah, karena kalau yang Kaya dikasih uang lebih, mereka pasti lebih baik meng-keep. Beda dengan orang berpenghasilan rendah, dikasih uang, pasti langsung belanja. Karena pendapat mereka sehari-hari kan kurang ya. Jadi kalau keep buying ini dipakai sama yang kaya, ya sama saja enggak gerak," pungkasnya.
(izz)