Perbandingan IHSG 2015 dengan 2008
A
A
A
JAKARTA - Analis Reliance Securities Lanjar Nafi mengatakan, kondisi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada 2015 meskipun terjadi koreksi cukup dalam, namun masih lebih baik dari 2008.
Dia menjelaskan, koreksi IHSG pada tujuh tahun silam jauh lebih tajam dibandingkan dengan tahun ini. Hal itu karena terpengaruh oleh sentimen negatif dari luar negeri, yaitu krisis ekonomi Amerika Serikat (AS).
"Pada 2008, level tertinggi dalam setahun, yaitu 2.838,48 di bulan Januari, terendahnya sampai level 1.089,34 di bulan Oktober," ujarnya di Jakarta, Kamis (3/9/2015).
Sementara pada tahun ini, posisi tertinggi IHSG berada pada level 5.524 di bulan April. Sedangkan terendah pada level 4.111 di bulan Agustus lalu.
Dia menambahkan, memang pada saat Joko Widodo (Jokowi) baru dilantik sebagai presiden, kondisi pasar saham Tanah Air mengalami euforia, sehingga IHSG terus menghijau.
"Setelah euforia selesai, market justru koreksi karena menilai kebijakan Jokowi terlalu agresif dan targetnya terlalu tinggi," katanya.
Salah satu contoh kebijakan yang agresif adalah mencabut subsidi bahan bakar minyak (BBM) di saat harga minyak dunia sedang turun. Hal itu menyebabkan investor menjadi bimbang, meskipun di mata mereka, Jokowi sosok yang merakyat dan berpihak kepada pasar.
"BBM subsidi dicabut, lalu harga gas dan semen dimurahin. Kebijakannya terlalu cepat kalau dilihat oleh investor," pungkas Lanjar.
(Baca: IHSG Krisis jika Berada di Bawah 4.000)
Dia menjelaskan, koreksi IHSG pada tujuh tahun silam jauh lebih tajam dibandingkan dengan tahun ini. Hal itu karena terpengaruh oleh sentimen negatif dari luar negeri, yaitu krisis ekonomi Amerika Serikat (AS).
"Pada 2008, level tertinggi dalam setahun, yaitu 2.838,48 di bulan Januari, terendahnya sampai level 1.089,34 di bulan Oktober," ujarnya di Jakarta, Kamis (3/9/2015).
Sementara pada tahun ini, posisi tertinggi IHSG berada pada level 5.524 di bulan April. Sedangkan terendah pada level 4.111 di bulan Agustus lalu.
Dia menambahkan, memang pada saat Joko Widodo (Jokowi) baru dilantik sebagai presiden, kondisi pasar saham Tanah Air mengalami euforia, sehingga IHSG terus menghijau.
"Setelah euforia selesai, market justru koreksi karena menilai kebijakan Jokowi terlalu agresif dan targetnya terlalu tinggi," katanya.
Salah satu contoh kebijakan yang agresif adalah mencabut subsidi bahan bakar minyak (BBM) di saat harga minyak dunia sedang turun. Hal itu menyebabkan investor menjadi bimbang, meskipun di mata mereka, Jokowi sosok yang merakyat dan berpihak kepada pasar.
"BBM subsidi dicabut, lalu harga gas dan semen dimurahin. Kebijakannya terlalu cepat kalau dilihat oleh investor," pungkas Lanjar.
(Baca: IHSG Krisis jika Berada di Bawah 4.000)
(rna)