Milk Collection Point Sistem Digital Pertama di Indonesia Disambut Antusias
A
A
A
Menenteng wadah kaleng berisi susu sapi segar, ratusan peternak yang tergabung dalam Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan, Kamis siang (10/8), mengantre di lokasi penampungan susu atau milk collection point (MCP) yang baru diluncurkan oleh PT Frisian Flag Indonesia (FFI) di Los Cimaung, Pangalengan.
Los Cimaung di Pangalengan, Jawa Barat menjadi percontohan lokasi penampungan susu atau Milk Collection Point (MCP) dengan sistem digital pertama di Indonesia. Mereka hendak menyetor atau menjual susu sapi hasil perahannya. Berkat sistem digital, proses berlangsung cepat. Peternak tinggal menuang susu ke dalam wadah berpenyaring, lalu petugas menimbang dan mengambil sampel susu untuk diuji.
Peternak lalu menunjukkan kartu anggota KPBS yang memiliki barcode digital. Kartu dipindai, keluarlah kertas kecil berisi data-data seperti nama peternak, volume susu, tanggal. Sampel susu dilabeli dengan data ini. Hasil uji sampel susu nantinya ikut menentukan harga jualnya. Ketua KPBS Pangalengan Aun Gunawan mengatakan, sebelum ada program MCP peternak rata-rata menerima harga Rp4.300/kg susu segar. Setelah ada program ini, harga susu naik menjadi Rp4.700/kg.
”Ini angin segar bagi peternak di tengah harga susu dunia yang sedang turun tajam,” ujarnya. Peningkatan harga jual susu peternak erat kaitannya dengan kualitas susu. Salah satu indikator kualitas adalah jumlah kandungan bakteri dalam susu segar yang didapat dari uji Total Plate Count (TPC). Melalui program MCP, PT FFI secara intens membina dan melatih 189 peternak di Pangalengan dan menyediakan fasilitas seperti alat foremilk , filter , handuk, kaleng susu, dan keranjang.
Program ini berhasil meningkatkan kesadaran peternak untuk memproduksi susu dengan lebih bersih dan efisien sesuai prosedur standar operasional. Angka TPC yang ditargetkan 500.000 cfu/ml juga saat ini sudah stabil di 200.000 cfu/ml. MCP di Los Cimaung diluncurkan di bawah naungan FDOV Project Indonesia itu menelan biaya investasi sekitar Rp3 miliar. MCP mengadaptasi sistem barkot digital pertama di Indonesia.
Peternak sapi perah dalam program ini akan memiliki akses digital ke data mereka masing-masing, analisis TPC serta analisis komposisi susu setiap produk. Sistem ini diharapkan dapat meminimalisasi adanya kesalahan manusia dalam memasukkan data yang diberikan peternak sapi perah kepada staf MCP serta mengurangi limbah kertas.
Sistem ini juga mampu melacak kembali transaksi terdahulu dan memberikan kemudahan dalam metode pembayaran antara peternak dan MCP tersebut. Menurut Aun, pelaksanaan sistem barkot digital di lokasi penampungan susu atau MCP membantu masyarakat sekitar untuk menghemat biaya dan waktu serta mengefisienkan rantai pasokan. Selain itu, menginspirasi peternak agar belajar dari para ahli untuk mengelola bisnis dengan lebih baik. Ke depan KPBS akan mengembangkan MCP di tiga lokasi, di antaranya di Warnasari dan Cipanas.
”Kami targetkan tahun depan ketiganya sudah terpasang. Kami berharap semua lokasi penampungan susu bisa menjadi MCP sistem digital,” tandasnya. Aun menyebutkan, populasi sapi perah di Pangalengan sekitar 7.200 ekor dan produksi susu mencapai 81-82 ton per hari. Ketua Umum Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) Dedi Setiadi berharap program MCP diterapkan di seluruh koperasi di Indonesia.
”Program ini bisa menjadi model kalau pemerintah Indonesia akan mengembangkan susu berkualitas tinggi,” jelasnya. Kementerian Pertanian (Kementan) menyatakan produksi susu dari peternakan lokal saat ini baru bisa memenuhi sekitar 20-25% dari total kebutuhan di Indonesia, sehingga untuk memenuhi kebutuhan industri berbasis susu pun praktis lebih banyak diimpor.
Indah Susanti
Los Cimaung di Pangalengan, Jawa Barat menjadi percontohan lokasi penampungan susu atau Milk Collection Point (MCP) dengan sistem digital pertama di Indonesia. Mereka hendak menyetor atau menjual susu sapi hasil perahannya. Berkat sistem digital, proses berlangsung cepat. Peternak tinggal menuang susu ke dalam wadah berpenyaring, lalu petugas menimbang dan mengambil sampel susu untuk diuji.
Peternak lalu menunjukkan kartu anggota KPBS yang memiliki barcode digital. Kartu dipindai, keluarlah kertas kecil berisi data-data seperti nama peternak, volume susu, tanggal. Sampel susu dilabeli dengan data ini. Hasil uji sampel susu nantinya ikut menentukan harga jualnya. Ketua KPBS Pangalengan Aun Gunawan mengatakan, sebelum ada program MCP peternak rata-rata menerima harga Rp4.300/kg susu segar. Setelah ada program ini, harga susu naik menjadi Rp4.700/kg.
”Ini angin segar bagi peternak di tengah harga susu dunia yang sedang turun tajam,” ujarnya. Peningkatan harga jual susu peternak erat kaitannya dengan kualitas susu. Salah satu indikator kualitas adalah jumlah kandungan bakteri dalam susu segar yang didapat dari uji Total Plate Count (TPC). Melalui program MCP, PT FFI secara intens membina dan melatih 189 peternak di Pangalengan dan menyediakan fasilitas seperti alat foremilk , filter , handuk, kaleng susu, dan keranjang.
Program ini berhasil meningkatkan kesadaran peternak untuk memproduksi susu dengan lebih bersih dan efisien sesuai prosedur standar operasional. Angka TPC yang ditargetkan 500.000 cfu/ml juga saat ini sudah stabil di 200.000 cfu/ml. MCP di Los Cimaung diluncurkan di bawah naungan FDOV Project Indonesia itu menelan biaya investasi sekitar Rp3 miliar. MCP mengadaptasi sistem barkot digital pertama di Indonesia.
Peternak sapi perah dalam program ini akan memiliki akses digital ke data mereka masing-masing, analisis TPC serta analisis komposisi susu setiap produk. Sistem ini diharapkan dapat meminimalisasi adanya kesalahan manusia dalam memasukkan data yang diberikan peternak sapi perah kepada staf MCP serta mengurangi limbah kertas.
Sistem ini juga mampu melacak kembali transaksi terdahulu dan memberikan kemudahan dalam metode pembayaran antara peternak dan MCP tersebut. Menurut Aun, pelaksanaan sistem barkot digital di lokasi penampungan susu atau MCP membantu masyarakat sekitar untuk menghemat biaya dan waktu serta mengefisienkan rantai pasokan. Selain itu, menginspirasi peternak agar belajar dari para ahli untuk mengelola bisnis dengan lebih baik. Ke depan KPBS akan mengembangkan MCP di tiga lokasi, di antaranya di Warnasari dan Cipanas.
”Kami targetkan tahun depan ketiganya sudah terpasang. Kami berharap semua lokasi penampungan susu bisa menjadi MCP sistem digital,” tandasnya. Aun menyebutkan, populasi sapi perah di Pangalengan sekitar 7.200 ekor dan produksi susu mencapai 81-82 ton per hari. Ketua Umum Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) Dedi Setiadi berharap program MCP diterapkan di seluruh koperasi di Indonesia.
”Program ini bisa menjadi model kalau pemerintah Indonesia akan mengembangkan susu berkualitas tinggi,” jelasnya. Kementerian Pertanian (Kementan) menyatakan produksi susu dari peternakan lokal saat ini baru bisa memenuhi sekitar 20-25% dari total kebutuhan di Indonesia, sehingga untuk memenuhi kebutuhan industri berbasis susu pun praktis lebih banyak diimpor.
Indah Susanti
(ars)