Tekanan Nilai Tukar Rupiah hingga Akhir Tahun Berat

Selasa, 22 September 2015 - 07:01 WIB
Tekanan Nilai Tukar...
Tekanan Nilai Tukar Rupiah hingga Akhir Tahun Berat
A A A
JAKARTA - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) hingga akhir tahun ini diprediksi masih akan mengalami tekanan berat di kisaran Rp14.500-Rp14.800 per USD. Pergerakan tersebut sangat dipengaruhi kondisi ekonomi global yang belum menunjukkan titik terang.

Direktur Eksekutif Mandiri Institute, Destry Damayanti mengemukakan, gerak rupiah masih akan tertekan hingga akhir 2015. Perbaikan tren ekonomi Indonesia masih akan tertunda seiring dengan langkah the Fed yang menahan kenaikan suku bunga acuannya (Fed fund rate).

Kondisi eksternal juga dipengaruhi kebijakan ekonomi China yang masih melambat, dan dijadikan the Fed sebagai alasan menahan kenaikan suku bunga. (Baca: Digempur USD, Rupiah Berakhir Terkapar)

"Kurs diprediksi di kisaran Rp14.500 hingga Rp14.800. Ada pertimbangan kami kalau China lakukan sedikit devaluasi sehingga kebutuhan dolar (USD) menimbulkan uncertainty," ujar Destry, dalam diskusi di Jakarta, Senin (21/9/2015).

Dia memprediksi Bank Sentral China atau People's Bank Of China (PBoC) akan kembali mendevaluasi mata uang yuan karena saat ini dinilai masih kuat dengan mata uang USD. Apabila pemerintah China kembali mendevaluasi yuan, maka akan kembali berdampak pada perekonomian global termasuk Indonesia.

Sentimen asing dan berbagai risiko membuat arah nilai tukar sulit diprediksi. Isu rencana kenaikan Fed fund rate bukanlah akhir dari cerita pelemahan rupiah. Isu ini telah menenggelamkan seluruh mata uang negara di dunia, terutama rupiah. (Baca: The Fed Tahan Suku Bunga Masih Berdampak ke Rupiah)

Destry menjelaskan, selain rencana kenaikan suku bunga AS, perekonomian China yang merupakan mitra dagang utama Indonesia juga tengah mengalami perlambatan. Harga komoditas yang menjadi andalan ekspor Indonesia terus merosot. Ini menekan ekspor Indonesia sehingga pasokan USD juga minim.

Faktor kebutuhan dollar dalam negeri juga diprediksi akan tinggi dalam tiga hingga empat bulan terakhir untuk membayar utang luar negeri yang jatuh tempo pada akhir tahun. Di sisi lain, kata Destry, para eksportir masih enggan menyimpan dananya di perbankan Indonesia.

"Ada masalah juga yang harus diselesaikan. Yaitu untuk mengkonversi surplus ekspor yang tercatat oleh BPS menjadi rupiah. Karena kebutuhan USD di pasar dalam negeri juga terus bertambah," terangnya.

Banyaknya ketidakpastian eksternal yang tak bisa dikontrol lebih baik, menurut Destry, harus dikejar dengan mengamankan ekonomi domestik khususnya government spending. Selain itu, juga pelemahan rupiah sangat dipengaruhi faktor supply dan demand. Pasokan dolar AS di dalam negeri minim sementara permintaan tinggi. Pembayaran utang dalam kurs dolar AS juga tinggi.

"Paket Kebijakan ekonomi juga belum dapat diandalkan karena banyak regulasi yang harus diselesaikan. Percepatan belanja pemerintah satu satunya yang dapat dicapai saat ini," katanya.

Meski terus terjadi perlambatan ekonomi namun kondisi perekonomian saat ini masih jauh dari krisis. Namun, pemerintah Indonesia perlu lebih kreatif untuk bisa menggenjot perekonomian domestik. Dibandingkan 2008, kondisi sekarang disebutnya lebih kompleks.

"Dulu likuiditas masih banyak, negara maju mengeluarkan stimulus, suku bunga rendah, booming komoditas. Sekarang kondisi beda, likuiditas kita tidak bisa berharap, siklus commodity sudah berubah, ditambah lagi China menukik. Jadi, dari sisi global kita tidak bisa berharap banyak," jelasnya.

Untuk itu, lanjut dia, strategi yang tepat adalah kebijakan yang diambil pemerintah harus tepat, jelas, dan 'quick win'. Kalau banyak kebijakan dampaknya ialah investor juga akan sulit untuk masuk dan kebanyakan menduga-duga. "Misalnya, mereka bilang siapa tahu kebijakan kedua akan lebih bagus dari yang pertama. Lalu, kebijakan ketiga jauh lebih baik dari sebelumnya. Kuncinya ada di pemerintah," ujarnya.

Salah satu kebijakan yang telah diambil pemerintah adalah menurunkan bunga KUR menjadi 12% dari 23%. Sayang, langkah tersebut harus didorong oleh daya beli masyarakat. Namun, faktanya tidak ada daya beli masyarakat. Sehingga, yang terpenting adalah bagaimana kepercayaan masyarakat muncul. "Kami menyarankan kita berikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk mendorong konsumsi," terangnya.

Selain itu, untuk mengantisipasi risiko global, pemerintah dan otoritas di sektor keuangan perlu segera membentuk UU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) agar payung hukum kebijakan di sektor keuangan bisa lebih jelas.

"Kontijensi sangat perlu tapi intinya ada UU JPSK dulu. Terus terang kalau sampai sektor keuangan kena akan sangat berbahaya karena sektor keuangan jadi urat nadi ekonomi kita," ujarnya. (Baca: Proyeksi Rupiah hingga Akhir Tahun versi Bank Mandiri)

Di tempat yang sama, ekonom senior Bank Mandiri Andry Asmoro menerangkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III 2015 diperkirakan berada di kisaran 4,8-4,9%. Persoalan utama jika mengandalkan belanja modal, pemerintah juga harus melihat daya beli masyarakat. "Ke depan, untuk menopang pertumbuhan, maka perlu menopang daya beli masyarakat yang berkaitan dengan konsumsi," jelasnya.

Tren pelemahan daya beli ini diperkuat Deputy of Head Equity Research Mandiri Sekuritas Tjandra Lienandjaja. Dia mengatakan, perlambatan ekonomi turut berdampak pada kinerja perbankan Indonesia. Pertumbuhan kredit tahun ini hanya bisa di kisaran 11-12%. "Tahun ini hanya 11-12%, tidak bisa lagi di-upgrade di 20%. Tahun 2016 juga diprediksi hanya 13-15%," ujar Chandra.

Dia mengungkapkan, dengan perlambatan ekonomi saat ini permintaan terhadap pinjaman perbankan akan menurun. Di samping itu, penempatan dana masyarakat di perbankan juga dinilai akan lebih rendah 1-2% dari pertumbuhan kredit. Kondisi ini membuat likuiditas di perbankan menjadi ketat. "Pertumbuhan deposito 1-2% lebih rendah dari kredit, LDR akan di angka kurang dari 90%," tandas Tjandra.
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0764 seconds (0.1#10.140)