LPS Meyakini Rupiah Kembali Bangkit Akhir Tahun Ini
A
A
A
JAKARTA - Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Fauzi Ichsan mengemukakan, kondisi perekonomian saat ini belum ada yang perlu dikhawatirkan. Posisi rupiah berpotensi kembali menguat pada akhir tahun ini setelah ketidakpastian di Amerika Serikat (AS) selesai. Sehingga, aliran dana asing akan kembali masuk ke Indonesia pada awal tahun depan.
"Kami melihat kenaikan bisa di bulan Desember, atau semester pertama 2016. Para investor global yang telah menarik dana dari negara berkembang dan sekarang memarkir dana mereka di pasar uang dolar AS akan kembali," ujar Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Eksekutif Fauzi Ichsan usai peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-10, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Seminar dengan tema Managing Financial Turbulence di Jakarta, Selasa (22/9/2015).
Dia menyebutkan, pasar keuangan Indonesia masih cukup kompetitif dibanding negara lain. Suku bunga yang tinggi menjadikan Indonesia, dilirik sebagai salah satu negara yang menguntungkan.
Saat pasar keuangan kembali normal, para investor akan mencari negara dengan pengamanan aset yang menguntungkan seperti Indonesia. "Kalau kita lihat pasar uang dolar LIBOR itu di 0,3%, SUN US Treasury tenor 10 tahun itu imbal hasilnya 2,2-2,3%. Kita adalah salah satu dari negara yang memang menawarkan aset yang murah dan imbal hasil SBN tinggi," paparnya.
Fauzi meyakini, rupiah masih punya peluang menguat pada akhir tahun jika keadaan global normal. "Masih ada ruang buat rupiah untuk rebound ke arah Rp14.000, bahkan di bawah Rp14.000 jika keadaan global normal. Keadaannya sekarang tidak normal, masih banyak kepanikan pasar," jelasnya.
Dia menyebutkan, hingga kini belum ada indikasi perbankan gagal. Setidaknya belum ada indikasi OJK (Otoritas Jasa Keuangan) akan menyerahkan bank gagal. Sejauh ini kondisi perbankan Indonesia masih dalam batas wajar. Bank masih mampu menyerap angka kredit bermasalah atau +Non Performing Loan (NPL) dengan baik.
Per Juli 2015, NPL gross perbankan berada di kisaran 2,7%, masih jauh dari batas aman di level 5%. Di samping itu, posisi permodalan bank juga cukup terjaga. "Yang kami lihat adalah kemampuan bank untuk menyerap kenaikan NPL dan risiko bank tersebut untuk jatuh ke pengawasan khusus di OJK. Tentunya kalau OJK sudah tidak bisa lagi meminta pemilik bank untuk menyuntik modal segar atau mencari investor baru untuk membeli bank tersebut, akan diserahkan ke LPS," jelasnya.
Nantinya, lanjut Fauzi, LPS akan menentukan melalui berbagai proses apakah bank yang dalam pengawasan tersebut akan dimungkinkan untuk disuntik modal atau dilikuidasi. "LPS akan melakukan cost test kalau misalnya bank-nya non sistemik. Kita akan lihat mana yang lebih murah apakah likuidasi atau menyelamatkan," katanya.
LPS hingga Agustus 2015 telah membayar klaim simpanan nasabah sebesar Rp771,5 miliar (dari tahun 2005) untuk nasabah dari 65 bank yang telah dilikuidasi (1 bank umum dan 64 BPR), sedangkan aset LPS per 31 Agustus 2015 (unaudited) mencapai Rp60,77 triliun.
Adapun dalam seminar yang diselenggarakan LPS menghadirkan para pemimpin dan pengambil kebijakan yang terlibat langsung dalam menghadapi dinamika kondisi keuangan global tahun 2008. Mereka adalah tokoh politik, regulator, praktisi, dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya untuk berdiskusi mengenai turbulensi keuangan di Indonesia serta aspek-aspek kritis dalam penanganan gejolak dan ancaman turbulensi keuangan. Aspek-aspek tersebut melingkupi deteksi dan intervensi dini, kepemimpinan, akuntabilitas pasca krisis, dan mengelola situasi politik.
Hadir sebagai pembicara utama Seminar adalah Wakil Presiden Republik Indonesia (2009-2014) Boediono, Menteri Keuangan Inggris (2007-2010) Alistair Darling, dan Chairman of Federal Deposit Insurance Corporation/FDIC (2006-2011) Sheila Bair.
Ketua Dewan Komisioner LPS C. Heru Budiargo, dalam sambutannya mengatakan LPS sangat menyadari pentingnya menangani turbulensi keuangan secara memadai. Saat ini kami telah memulai beberapa inisiatif untuk meningkatkan kontribusi LPS dalam rangka menjaga stabilitas keuangan, di ntaranya adalah peningkatkan kemampuan pengawasan, meningkatkan efektivitas penjamin simpanan dan memperluas pilihan resolusi.
"Kami juga telah berkoordinasi secara intens melalui Forum Komunikasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK), dan akan terus memperkuat kerja sama menuju terciptanya kebijakan yang sinergis dalam rangka penanganan turbulensi keuangan secara lebih baik," ujar Heru.
Chairman of Federal Deposit Insurance Corporation/FDIC Sheila Bair dalam presentasinya mengatakan kunci sukses sebuah lembaga penjaminan simpanan adalah terletak pada kewenangan dalam pemeriksaan bank secara langsung serta lebih bersikap konservatif dalam kebijakan terkait permodalan.
Sementara Menteri Keuangan Inggris Alistair Darling menyarankan untuk menjaga kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan melalui lender of the last resort dan skema penjaminan simpanan adalah sangat penting. Karena hal itu menunjukkan bahwa pemerintah mampu mengontrol secara penuh. "Selain itu, kolaborasi kebijakan fiskal dan moneter harus berjalan beriringan untuk menjaga stabilitas ekonomi," katanya.
Baca juga:
Boediono: Krisis Finansial Butuh Penanganan Cepat
Menkeu: Indonesia Krisis Ekonomi sejak Awal Kemerdekaan
"Kami melihat kenaikan bisa di bulan Desember, atau semester pertama 2016. Para investor global yang telah menarik dana dari negara berkembang dan sekarang memarkir dana mereka di pasar uang dolar AS akan kembali," ujar Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Eksekutif Fauzi Ichsan usai peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-10, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Seminar dengan tema Managing Financial Turbulence di Jakarta, Selasa (22/9/2015).
Dia menyebutkan, pasar keuangan Indonesia masih cukup kompetitif dibanding negara lain. Suku bunga yang tinggi menjadikan Indonesia, dilirik sebagai salah satu negara yang menguntungkan.
Saat pasar keuangan kembali normal, para investor akan mencari negara dengan pengamanan aset yang menguntungkan seperti Indonesia. "Kalau kita lihat pasar uang dolar LIBOR itu di 0,3%, SUN US Treasury tenor 10 tahun itu imbal hasilnya 2,2-2,3%. Kita adalah salah satu dari negara yang memang menawarkan aset yang murah dan imbal hasil SBN tinggi," paparnya.
Fauzi meyakini, rupiah masih punya peluang menguat pada akhir tahun jika keadaan global normal. "Masih ada ruang buat rupiah untuk rebound ke arah Rp14.000, bahkan di bawah Rp14.000 jika keadaan global normal. Keadaannya sekarang tidak normal, masih banyak kepanikan pasar," jelasnya.
Dia menyebutkan, hingga kini belum ada indikasi perbankan gagal. Setidaknya belum ada indikasi OJK (Otoritas Jasa Keuangan) akan menyerahkan bank gagal. Sejauh ini kondisi perbankan Indonesia masih dalam batas wajar. Bank masih mampu menyerap angka kredit bermasalah atau +Non Performing Loan (NPL) dengan baik.
Per Juli 2015, NPL gross perbankan berada di kisaran 2,7%, masih jauh dari batas aman di level 5%. Di samping itu, posisi permodalan bank juga cukup terjaga. "Yang kami lihat adalah kemampuan bank untuk menyerap kenaikan NPL dan risiko bank tersebut untuk jatuh ke pengawasan khusus di OJK. Tentunya kalau OJK sudah tidak bisa lagi meminta pemilik bank untuk menyuntik modal segar atau mencari investor baru untuk membeli bank tersebut, akan diserahkan ke LPS," jelasnya.
Nantinya, lanjut Fauzi, LPS akan menentukan melalui berbagai proses apakah bank yang dalam pengawasan tersebut akan dimungkinkan untuk disuntik modal atau dilikuidasi. "LPS akan melakukan cost test kalau misalnya bank-nya non sistemik. Kita akan lihat mana yang lebih murah apakah likuidasi atau menyelamatkan," katanya.
LPS hingga Agustus 2015 telah membayar klaim simpanan nasabah sebesar Rp771,5 miliar (dari tahun 2005) untuk nasabah dari 65 bank yang telah dilikuidasi (1 bank umum dan 64 BPR), sedangkan aset LPS per 31 Agustus 2015 (unaudited) mencapai Rp60,77 triliun.
Adapun dalam seminar yang diselenggarakan LPS menghadirkan para pemimpin dan pengambil kebijakan yang terlibat langsung dalam menghadapi dinamika kondisi keuangan global tahun 2008. Mereka adalah tokoh politik, regulator, praktisi, dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya untuk berdiskusi mengenai turbulensi keuangan di Indonesia serta aspek-aspek kritis dalam penanganan gejolak dan ancaman turbulensi keuangan. Aspek-aspek tersebut melingkupi deteksi dan intervensi dini, kepemimpinan, akuntabilitas pasca krisis, dan mengelola situasi politik.
Hadir sebagai pembicara utama Seminar adalah Wakil Presiden Republik Indonesia (2009-2014) Boediono, Menteri Keuangan Inggris (2007-2010) Alistair Darling, dan Chairman of Federal Deposit Insurance Corporation/FDIC (2006-2011) Sheila Bair.
Ketua Dewan Komisioner LPS C. Heru Budiargo, dalam sambutannya mengatakan LPS sangat menyadari pentingnya menangani turbulensi keuangan secara memadai. Saat ini kami telah memulai beberapa inisiatif untuk meningkatkan kontribusi LPS dalam rangka menjaga stabilitas keuangan, di ntaranya adalah peningkatkan kemampuan pengawasan, meningkatkan efektivitas penjamin simpanan dan memperluas pilihan resolusi.
"Kami juga telah berkoordinasi secara intens melalui Forum Komunikasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK), dan akan terus memperkuat kerja sama menuju terciptanya kebijakan yang sinergis dalam rangka penanganan turbulensi keuangan secara lebih baik," ujar Heru.
Chairman of Federal Deposit Insurance Corporation/FDIC Sheila Bair dalam presentasinya mengatakan kunci sukses sebuah lembaga penjaminan simpanan adalah terletak pada kewenangan dalam pemeriksaan bank secara langsung serta lebih bersikap konservatif dalam kebijakan terkait permodalan.
Sementara Menteri Keuangan Inggris Alistair Darling menyarankan untuk menjaga kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan melalui lender of the last resort dan skema penjaminan simpanan adalah sangat penting. Karena hal itu menunjukkan bahwa pemerintah mampu mengontrol secara penuh. "Selain itu, kolaborasi kebijakan fiskal dan moneter harus berjalan beriringan untuk menjaga stabilitas ekonomi," katanya.
Baca juga:
Boediono: Krisis Finansial Butuh Penanganan Cepat
Menkeu: Indonesia Krisis Ekonomi sejak Awal Kemerdekaan
(dmd)