Harga Cengkih Melonjak Rp124.000/Kg
A
A
A
MANADO - Petani cengkih di Manado, Sulawesi Utara (Sulut) bernafas lega karena dalam dua pekan terakhir harga komoditas ini merangkak naik hingga menyentuh Rp124.000 per kilogram (kg). Lonjakan harga cengkih ini disambut gembira para petani sejak jatuh di kisaran Rp85.000 per kg pada pekan kedua Agustus 2015 lalu.
Salah seorang Petani Cengkih di Minahasa Tenggara, Abraham Senduk menuturkan, penguatan harga cengkih di tingkat pedagang dapat membantu petani lebih giat memelihara perkebunan.
“Kami bersyukur hasil petani dihargai di atas Rp100.000 per kg. Artinya sudah dapat menutupi kerugian seperti membeli pompa air akibat kemarau panjang,” tuturnya, Selasa (21/10/2015).
Dia menuturkan, harga ini sebenarnya masih jauh dari besaran harga pembelian pada 2014 yang mencapai Rp145.000 per kg. Kemungkinan harga emas cokelat ini akan naik sebab produksi pada tahun ini tidak sebanyak hasil panen 2012 dan 2013. “Saya kira harganya akan naik lagi, karena tahun ini tidak ada penen raya,” jelasnya.
Sementara itu, petani cengkih lainnya Hans Wonok berharap, harga cengkih tidak akan jatuh lagi dibawah Rp100.000 per kg. Mengingat saat ini petani dipusingkan dengan upah buruh yang sudah naik ditambah dengan biaya perawatan saat musim panas.
“Kalau bisa pererintah bisa tahan di Rp100.000 per kg. Karena pengeluaran kami sudah banyak, hampir setiap saat kamin harus standby di kebun untuk menyiram pohon cengkih dan menjaga kebun dari kebakaran,” paparnya.
Dia juga mengatakan, walau harga cengkih mulai naik, tapi beberapa petani di masih enggan memetik sendiri hasilnya, dan lebih memilih sistem ijon. Pasalnya petani beralasan dengan dengan menjual biah yang masih dipohojn dapat terhindar dari risiko. “Memang susah mencari buruh, apalagi buruh lokal yang banyak maunya. Jadi banyak juga yang jual didepan,” ujarnya
Sementara itu, Regional Economic Development Institute (Redi) Sulut, Salmon Tarigan menilai, meskipun di Sulut tidak ada penen raya akan tetapi pemerintah dapat mengedukasi petani supaya dapat memanfaatkan turunan dari cengkih karena memiliki nilai ekonomis tinggi. “Jadi masih banyak petani yang membuang batang dan bunga cengkih padahal ini mempunyai nilai ekspor,” ujarnya.
Sebab, kata dia, batang dan bunga cengkih diminati Belanda, Singapora dan Jepang. Bahan baku ini dinilai untuk dijadikan minyak dan aroma terapi. Adapun luas perkebunan cengkih di Sulut sekitar 77.109 hektare dengan produksi pada 2012 mencapai 18.071 ton dan produksi 2013 hanya 9.347 ton.
Salah seorang Petani Cengkih di Minahasa Tenggara, Abraham Senduk menuturkan, penguatan harga cengkih di tingkat pedagang dapat membantu petani lebih giat memelihara perkebunan.
“Kami bersyukur hasil petani dihargai di atas Rp100.000 per kg. Artinya sudah dapat menutupi kerugian seperti membeli pompa air akibat kemarau panjang,” tuturnya, Selasa (21/10/2015).
Dia menuturkan, harga ini sebenarnya masih jauh dari besaran harga pembelian pada 2014 yang mencapai Rp145.000 per kg. Kemungkinan harga emas cokelat ini akan naik sebab produksi pada tahun ini tidak sebanyak hasil panen 2012 dan 2013. “Saya kira harganya akan naik lagi, karena tahun ini tidak ada penen raya,” jelasnya.
Sementara itu, petani cengkih lainnya Hans Wonok berharap, harga cengkih tidak akan jatuh lagi dibawah Rp100.000 per kg. Mengingat saat ini petani dipusingkan dengan upah buruh yang sudah naik ditambah dengan biaya perawatan saat musim panas.
“Kalau bisa pererintah bisa tahan di Rp100.000 per kg. Karena pengeluaran kami sudah banyak, hampir setiap saat kamin harus standby di kebun untuk menyiram pohon cengkih dan menjaga kebun dari kebakaran,” paparnya.
Dia juga mengatakan, walau harga cengkih mulai naik, tapi beberapa petani di masih enggan memetik sendiri hasilnya, dan lebih memilih sistem ijon. Pasalnya petani beralasan dengan dengan menjual biah yang masih dipohojn dapat terhindar dari risiko. “Memang susah mencari buruh, apalagi buruh lokal yang banyak maunya. Jadi banyak juga yang jual didepan,” ujarnya
Sementara itu, Regional Economic Development Institute (Redi) Sulut, Salmon Tarigan menilai, meskipun di Sulut tidak ada penen raya akan tetapi pemerintah dapat mengedukasi petani supaya dapat memanfaatkan turunan dari cengkih karena memiliki nilai ekonomis tinggi. “Jadi masih banyak petani yang membuang batang dan bunga cengkih padahal ini mempunyai nilai ekspor,” ujarnya.
Sebab, kata dia, batang dan bunga cengkih diminati Belanda, Singapora dan Jepang. Bahan baku ini dinilai untuk dijadikan minyak dan aroma terapi. Adapun luas perkebunan cengkih di Sulut sekitar 77.109 hektare dengan produksi pada 2012 mencapai 18.071 ton dan produksi 2013 hanya 9.347 ton.
(dmd)